Batu Gantung-Parapat (Sumut)


Parapat atau Prapat adalah sebuah kota kecil yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Indonesia. Kota kecil yang terletak di tepi Danau Toba ini merupakan tujuan wisata yang ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Kota ini memiliki keindahan alam yang sangat mempesona dan didukung oleh akses jalan transportasi yang bagus, sehingga mudah untuk dijangkau.
Kota ini sering digunakan sebagai tempat singgah oleh para wisatawan yang melintas di Jalan Raya Lintas Sumatera (Jalinsum) bagian barat yang menghubungkan Kota Medan dengan Kota Padang. Selain sebagai objek wisata yang eksotis, Parapat juga merupakan sebuah kota yang melegenda di kalangan masyarakat di Sumatera Utara. Dahulu, kota kecil ini merupakan sebuah pekan yang terletak di tepi Danau Toba. Setelah terjadi suatu peristiwa yang sangat mengerikan, tempat itu oleh masyarakat diberi nama Parapat atau Prapat.
Dalam peristiwa itu, muncul sebuah batu yang menyerupai manusia yang berada di tepi Danau Toba. Menurut masyarakat setempat, batu itu merupakan penjelmaan seorang gadis cantik bernama Seruni. Peristiwa apa sebenarnya yang pernah terjadi di pinggiran kota kecil itu? Kenapa gadis cantik itu menjelma menjadi batu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Batu Gantung berikut ini!.
Alkisah,di sebuah desa terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupikebutuhan sehari-hari.
Pada suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba.
Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.
Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.
“Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni. Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu.
Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong. Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosokke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.
“Tolooooggg……! Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.
Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa.
“Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita,” pasrah Seruni.
Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat. “Parapat! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..
Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan. Sesampai di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.
“Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.
“Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya,” sahut ibu Seruni.
“Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya,” kata ayah Seruni.
“Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?” kata ibu Seruni.
“Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga,” seru sang ayah. Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.
Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”
“Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.
“Benar, bu! Itu suara Seruni!” jawab sang ayah ikut panik.
“Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?” tanya sang ibu.
“Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana,” jawab sang ayah cemas.
Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.
“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni.
“Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.
Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk menghimpitnya.
“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”
“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.
Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutas tampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam lubang batu.
“Bu, pegang obor ini!” perintah sang ayah.
“Ayah mau ke mana?” tanya sang ibu.
“Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang,” jawabnya tegas.
“Jangan ayah, sangat berbahaya!” cegah sang ibu.
“Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.
Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.
Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batu cadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.

Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat “Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara: “Parapat… parapat batu… parapatlah!”Oleh karena kata “parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”.
Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Demikian cerita tentang asal-usul nama kota prapat. Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat putus asa atau lemah semangat. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Seruni yang hendak mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam, namunia justru terperosok ke dalam lubang batu dan menghimpitnya hingga akhirnya meninggal dunia












Si Kepar (aceh)


Alkisah, di sebuah daerah di Kabupaten Aceh Tenggara, hiduplah seorang janda bersama dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Si Kepar. Ayah dan ibu si Kepar bercerai sejak si Kepar masih berusia satu tahun, sehingga ia tidak mengenal sosok ayahnya. Sebagai anak yatim, Si Kepar sering diejek oleh teman-teman sepermainannya sebagai jazah (anak tak berayah). Oleh karena itu, Si Kepar ingin mengetahui siapa sebenarnya ayahnya.
Pada suatu hari, Si Kepar pun menanyakan hal itu kepada ibunya. Pada awalnya, ibunya enggan menceritakan siapa dan di mana ayah Si Kepar. Namun, akhirnya diceritakan juga setelah Si Kepar mengancam akan bunuh diri jika tidak diceritakan. Setelah jelas siapa dan di mana ayahnya, Si Kepar pun berniat untuk menemui ayahnya di atas sebuah gunung yang sangat jauh.
Setelah berpamitan pada ibunya, Si Kepar pun berangkat untuk menemui ayahnya dengan perbekalan secukupnya. Ia berjalan sendiri melawati hutan belantara, menyeberangi sungai dan mendaki gunung. Akhirnya, sampailah ia pada tempat yang dimaksud ibunya. Dari kejauhan, tampaklah seorang laki-laki setengah baya yang sedang menyiangi rumput di tengah-tengah ladangnya. Si Kepar pun segera menghampiri dan menyapanya.
“Selamat siang, Pak!”.
“Siang juga, Nak!” jawab Bapak itu.
“Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya pula Bapak itu.
“Saya Si Kepar. Berasal dari Tanah Alas,” jawab Si Kepar.
“Tanah Alas?” ucap Bapak itu. Ia tersentak kaget mendengar jawaban Si Kepar.
“Kenapa Bapak kaget mendengar nama itu?” tanya Si Kepar.
“Oh tidak, Nak! Tidak ada apa-apa,” jawab Bapak itu.
“Apa yang membawa kamu ke sini, Par?” tanya balik bapak itu.
Si Kepar pun menceritakan maksud kedatanganya, namun ia tidak menceritakan kalau ibunya masih hidup. Setelah mendengar cerita si Kepar, tahulah Bapak itu bahwa Si Kepar adalah anaknya.
Sejak itu, Si Kepar mulai silih berganti tinggal bersama ayah atau ibunya. Dalam seminggu, terkadang Si Kepar tidur tiga malam di tempat ayahnya, baru kembali ke tempat ibunya. Si Kepar tidak pernah menceritakan kepada ibunya kalau ia tidur di tempat ayahnya. Bahkan, ia mengatakan kepada ibunya, bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Semua hal ini dilakukan oleh Si Kepar, karena ia ingin kedua orang tuanya menyatu kembali agar tidak lagi diejek oleh teman-temannya sebagai jazah.
Segala daya dan upaya dilakukannya agar keinginannya dapat tercapai, walaupun ia harus berbohong kepada kedua orang tuanya. Setelah berdoa sehari-semalam, Si Kepar mendapat petunjuk dari Yang Mahakuasa. Petunjuk itu adalah menyatakan kehendaknya kepada ibunya untuk memiliki ayah tiri. Harapan ini juga disampaikan kepada ayahnya untuk memiliki ibu tiri. Pada suatu malam, Si Kepar menyampaikan harapannya itu kepada ibunya.
“Bu, sebenarnya Kepar kasihan melihat ibu yang setiap hari bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kita. Jika ibu ingin menikah lagi, Kepar tidak keberatan memiliki ayah tiri.” Mendengar perkataan Kepar itu, ibunya termenung sejenak, lalu berkata, “Benarkah kamu tidak keberatan, Par?”
“Tidak, Bu! Kepar sangat senang jika memiliki ayah lagi, agar teman-teman Kepar tidak akan lagi mengejek Kepar sebagai jazah,” Kepar menjelaskan alasan sebenarnya ingin memiliki ayah lagi.
“Tapi..., siapa lagi yang mau menikah dengan ibu yang sudah tua ini,” kata ibu Kepar merendah.
“Ibu tidak perlu khawatir. Serahkan saja masalah itu kepada Kepar,” jawab Kepar dengan perasaan lega, karena jawaban ibunya menandakan bersedia menikah lagi.
Keesokan harinya, Kepar kemudian pergi ke gunung menemui ayahnya untuk menyampaikan harapan yang sama.
“Ayah! Bolehkah Kepar meminta sesuatu kepada, Ayah?” tanya Kepar kepada ayahnya.
“Apakah itu, Anakku!” jawab ayah Kepar penasaran.
“Sebenarnya Kepar merasa kasihan melihat ayah yang setiap hari harus bekerja di ladang dan memasak sendiri. Jika ayah tidak keberatan, Kepar akan mencarikan seorang perempuan yang pantas untuk mendampingi ayah,” kata Kepar kepada ayahnya.
“Siapa lagi yang mau dengan ayah yang sudah tua ini?” jawab ayah Kepar tersenyum.
“Tenang, Ayah! Masih banyak janda-janda yang sebaya dan pantas untuk ayah di Tanah Alas,” kata Kepar kepada ayahnya memberi harapan.
“Ah, yang benar saja, Par!” jawab ayah Kepar dengan santainya.
Mendengar jawaban itu, Kepar pun tahu kalau ayahnya bersedia menikah lagi. Akhirnya, kedua orang tuanya menyetujui harapan Si Kepar. Namun, mereka belum mengetahui siapa jodohnya yang oleh mereka sama-sama telah menyerahkan masalah itu kepada Si Kepar.
Setelah itu, Kepar pun mulai mengatur taktik dan strategi untuk mempertemukan kedua orang tuanya yang semula beranggapan bahwa pasangan mereka sudah meninggal sebagaimana keterangan Si Kepar. Si Kepar mempertemukan mereka di sebuah dusun yang berada di lereng gunung, tidak jauh dari tempat tinggal ayahnya. Pertemuan ini tidak dilakukan di Tanah Alas, agar ayahnya tidak teringat dengan tempat itu, dimana dulu ia pernah tinggal di sana selama puluhan tahun.
Akhirnya, berkat usaha Kepar, kedua orang tuanya bersatu kembali. Mereka berdua hidup harmonis seperti sedia kala. Melihat keadaan itu, kini saatnya Si Kepar menceritakan keadaan yang sebenarnya, bahwa perempuan yang dinikahi ayahnya itu adalah istrinya sendiri yang dulu pernah ia nikahi. Demikian sebaliknya, laki-laki yang menikahi ibunya itu adalah suaminya sendiri yang dulu pernah menikahinya. Setelah mendengar keterangan dari Si Kepar tersebut, tahulah keduanya (ayah dan ibu Kepar) keadaan yang sebenarnya. Meskipun keduanya telah dibohongi oleh anaknya, keduanya tidak marah. Keduanya saling memaafkan atas kesalahan masing-masing yang menyebabkan mereka bercerai. Mereka juga berterima kasih kepada Si Kepar, karena telah menyatukan mereka kembali. Si Kepar pun sangat senang menyambut kehadiran ayahnya di tengah-tengah keluarganya. Akhirnya, mereka bertiga hidup dalam sebuah keluarga yang rukun, damai dan penuh kebahagiaan. Sejak itu pula, Si Kepar tidak pernah lagi diejek oleh teman-temannya sebagai jazah. 

Asal Usul Tari Guel (aceh)


Tersebutlah dua bersaudara putra Sultan Johor, Malaysia. Mereka adalah Muria dan Sengede.
Suatu hari, kakak beradik itu menggembala itik di tepi laut sambil bermain layang-layang. Tiba-tiba datang badai dahsyat sehingga benang layang-layang mereka pun putus. Sekuat tenaga mereka mengejar layang-layang tersebut. Mereka lupa bahwa pada saat itu mereka sedang menggembala itik, hingga itiknya pun pergi entah ke mana.
Setelah gagal menemukan layang-layang mereka, barulah mereka teringat akan itik-itik mereka. Tetapi malang, itik-itik itu tak lagi nampak. Mereka pun pulang dengan ketakutan akan mendapat marah dari orangtua mereka.
Benar juga apa yang mereka pikirkan. Setiba di rumah, mereka dimarahi ayah mereka. Mereka juga disuruh mencari itik-itik itu, dan tak diizinkan kembali sebelum itik-itik yang hilang itu ditemukan kembali.
Berhari-hari bahkan berbulan-bulan mereka berjalan mencari itik mereka, tapi tak membawa hasil hingga akhirnya mereka tiba di Kampung Serule. Dengan tubuh yang lunglai mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar dan tertidur lelap. Pagi harinya mereka ditemukan oleh orang kampung dan dibawa menghadap ke istana Raja Serule. Di luar dugaan, mereka malah diangkat anak oleh baginda raja.
Beberapa waktu berlalu, rakyat Serule hidup makmur, aman, dan sentosa. Hal ini dikarenakan oleh kesaktian kedua anak tersebut. Kemakmuran rakyat Serule itu membuat Raja Linge iri dan gusar, sehingga mengancam akan membunuh kedua anak tersebut. Malang bagi Muria, ia berhasil dibunuh dan dimakamkan di tepi Sungai Samarkilang, Aceh Tenggara.
Pada suatu saat, raja-raja kecil berkumpul di istana Sultan Aceh di Kutaraja. Raja-raja kecil itu mempersembahkan cap usur, semacam upeti kepada Sultan Aceh. Saat itu, Cik Serule datang bersama Sangede. Saat itu, Raja Linge juga hadir. Saat Raja Serule masuk ke istana, Sangede menunggu di halaman istana.
Sambil menunggu ayah angkatnya, Sangede menggambar seekor gajah yang berwarna putih. Rupanya lukisan Sangede ini menarik perhatian Putri Sultan yang kemudian meminta Sultan mencarikan seekor gajah putih seperti yang digambar oleh Sangede.
Sangede kemudian menceritakan bahwa gajah putih itu berada di daerah Gayo, padahal dia sebenarnya belum pernah melihatnya. Maka, saat itu juga Sultan memerintahkan Raja Serule dan Raja Linge untuk menangkap gajah putih tersebut guna dipersembahkan kepada Sultan. Raja Serule dan Raja Linge benar-benar kebingungan, bagaimana mungkin mencari sesuatu yang belum pernah dilihatnya.
Sangede menyesal karena bercerita bahwa gajah putih itu ada di Gayo hingga ayah angkatnya mendapat tugas mencarinya. Dalam kebingungan itu, suatu malam Sangede bermimpi bertemu dengan Muria yang memberitahu bahwa gajah putih itu berada di Samarkilang, dan sebenarnya gajah putih itu adalah dirinya yang menjelma saat dibunuh oleh Raja Linge.
Pagi harinya, Sangede dan Raja Serule yang bergelar Muyang Kaya pergi ke Samarkilang seperti perintah dalam mimpi Sangede. Benar juga, setelah beberapa saat mencari, mereka berdua menemukan gajah putih itu sedang berkubang di pinggiran sungai.
Sangede dan Raja Serule Muyang Kaya kemudian dengan hati-hati mengenakan tali di tubuh gajah yang nampak penurut itu. Tetapi saat akan dihela, gajah putih itu lari sekuat tenaga. Raja Serule dan Sangede tak mampu menahannya. Mereka hanya bisa mengejarnya hingga suatu saat gajah itu berhenti di dekat kuburan Muria di Samarkilang.
Anehnya, gajah putih itu berhenti seperti sebongkah batu. Tak bergerak sedikit pun meski Sangede dan Raja Serule mencoba menghelanya. Berbagai cara dicoba oleh Sangede agar gajah putih itu mau beranjak dan menuruti perintahnya untuk diajak pergi ke istana Kutaraja. Tetapi, semuanya sia-sia.
Sangede kehabisan akal. Akhirnya, dia bernyanyi-nyanyi untuk menarik perhatian gajah putih. Sambil bernyanyi, Sangede meliuk-liukkan tubuhnya. Raja Serule ikut-ikutan menari bersama Sangede di depan gajah putih agar mau bangkit dan menuruti perintahnya. Di luar dugaan, gajah putih itu tertarik juga oleh gerakan-gerakan Sangede, dan kemudian bangkit. Sangede terus menari sambil berjalan agar gajah itu mengikuti langkahnya. Akhirnya, gajah itu pun mengikuti Sangede yang terus menari hingga ke istana. Tarian itu disebutnya tarian Guel hingga sekarang.
Sangede menyadari bahwa sesuatu ajakan kepada seseorang atau kepada binatang tidaklah harus dengan cara yang kasar. Dengan sebuah tarian pun akhirnya gajah putih itu menuruti ajakannya.

Beungong Meulu dan Beungong Peukeun (aceh)



Pada zaman dahulu kala, di sebuah negeri di Aceh, hidup dua orang kakak-beradik yang bernama Beungong Meulu dan Beungong Peukeun. Kedua orangtua mereka telah meninggal dunia. Tiap hari Beungong Peukeun mencari udang di danau. Suatu hari Beungong Peukun tidak mendapat seekor udang pun. Saat hendak pulang, dia melihat sebuah benda yang menarik hatinya. Ternyata benda itu sebutir telur. Sesampainya di rumah, direbusnya telur tadi dan dimakannya. Sungguh aneh, keesokan harinya Beungong Peukeun merasa sangat haus. Bukan hanya itu, tubuhnya pun semakin panjang dan bersisik. Akhirnya, suatu pagi saat bangun dari tidurnya Beungong Peukun telah berubah menjadi seekor naga.
“Mengapa Kakak memakan telur itu? Kini kau menjadi seekor naga,” kata Beungong Meulu dengan terisak menyesali perbuatan kakaknya. Keesokan harinya Beungong Peukeun mengajak adiknya meninggalkan gubuk mereka. Sebelum berangkat, Beungong Peukeun menyuruh adiknya memetik tiga kuntum bunga di belakang gubuk mereka. “Ayo, naiklah ke punggungku dan peganglah bunga itu erat-erat, jangan sampai jatuh,” perintah Beungong Peukeun.
Saat melewati sungai besar, Beungong Peukeun meminum airnya hingga habis. Tiba-tiba muncul seekor naga yang marah karena perbuatan Beungong Peukeun tersebut. Keduanya bertarung sengit. Saat Beungong Peukuen memenangkan pertarungan tersebut sekuntum bunga di tangan Beungong Meulu menjadi layu.
Mereka pun melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan mereka kembali dihadang seekor naga yang besar. Kembali terjadi pertarungan. Tiba-tiba sekuntum bunga di tangan Beungong Meulu menjadi layu. Tahulah dia bahwa sebentar lagi pertarungan akan dimenangkan Beungong Peukeun.
Setelah menang bertarung, kakak-beradik itu kembali melanjutkan perjalanan menyeberangi lautan. Rupanya di tengah perjalanan menyeberangi lautan tersebut, Beungong Peukeun kembali diserang seekor naga. Kali ini naga yang sangat besar. Saat bunga di tangan Beungong Meulu tak kunjung layu, dia mulai khawatir.
Beungong Meulu semakin khawatir ketika Beungong Peukeun tampak mulai kewalahan menghadapi serangan sang Naga. Saat mengetahui dirinya akan kalah, Beungong Peukeun melemparkan adiknya dari punggungnya. Akhirnya Beungong Peukeun terbunuh oleh serangan naga yang sangat besar itu. Sementara itu, Beungong Meulu terlempar dan tersangkut di sebuah pohon milik seorang saudagar kaya yang kemudian menikahinya.
Namun sayang, selama menjadi istri saudagar kaya tersebut, Beungong Meulu tak pernah bicara ataupun tersenyum. Dia selalu diam dan tampak sedih. Bahkan sampai mereka mempunyai seorang anak. Suaminya mencari akal untuk mengetahui penyebab kesedihan istrinya itu. Maka suatu hari suaminya berpura-pura mati sehingga anaknya menangis tersedu-sedu.
“O Anakku, ibu tahu bagaimana sedihnya hati bila ditinggal orang yang kita cintai. Ibu dulu kehilangan kakak ibu yang terbunuh oleh seekor naga di lautan. Bahkan hingga kini ibu tidak dapat menghilangkan rasa sedih itu.” Mendengar pengakuan Beungong Meulu tersebut suaminya kemudian bangun. Akhirnya, dia mengetahui penyebab kesedihan Beungong Meulu. Keesokan harinya dia mengajak Beungong Meulu pergi ke lautan, di mana dulu Beungong Peukeun bertarung melawan naga raksasa.
Saat sampai di pantai, Beungong Meulu dan suaminya melihat tulang-tulang berserakan. Beungong Meulu yakin bahwa itu tulang-tulang kakaknya. Maka, dikumpulkannya tulang-tulang tersebut kemudian suaminya membaca doa sambil memercikkan air bunga pada tulang-tulang tersebut. Atas perkenan Tuhan, tiba-tiba terjadi keajaiban. Beungong Peukeun menjelma dan berdiri di hadapan mereka. Sejak saat itu Beungong Peuken tinggal bersama adiknya dan Beungong Meulu tidak lagi membisu.
Suatu hari, Beungong Peukun berjalan-jalan di tepi pantai. Saat itu dia melihat seekor ikan raksasa berwarna kemerahan. Dihujamkannya sebilah pedang ke tubuh ikan tersebut kemudian dicongkelnya mata ikan tersebut. Karena terlalu keras, mata ikan tersebut terpelanting jauh hingga jatuh di halaman seorang penguasa di sebuah negeri. Mata ikan tersebut kemudian berubah menjadi gunung. Sang penguasa merasa gelisah dengan adanya gunung di halamannya. Ia kemudian mengadakan sebuah sayembara. Barang siapa dapat memindahkan gunung tersebut dari halaman rumahnya, dia akan dijadikan penguasa di negeri itu dan dinikahkan dengan anaknya.
Beungong Peukeun yang mendengar sayembara tersebut segera berangkat ke sana. Begitu tiba di tempat yang dimaksud, dia segera mencongkel gunung tersebut dengan pedang saktinya. Dalam sekejap, gunung tersebut dapat dilemparkannya jauh-jauh. Sang penguasa menepati janjinya. Beungong Peukeun diberi kekuasaan memerintah negeri tersebut dan dinikahkan dengan putri penguasa. Demikianlah kisah tentang dua saudara ini. Akhirnya, mereka berdua hidup bahagia.
Geugasi dan Geugasa (aceh)

Geugasi dan Geugasa (aceh)


Zaman dahulu kala ada sebuah kampung yang sangat aman dan damai di daerah Aceh. Di sana tidak pernah terjadi pencurian maupun perampokan. Masyarakatnya pun tidak pernah saling bertengkar. Kalau ada masalah, mereka langsung menyelesaikannya secara musyawarah sehingga suasana di sana hidup penuh rukun dan saling tolong menolong.
Di kampung itu, hiduplah seorang ibu dengan anaknya yang masih berusia sepuluh tahun. Si ibu dan anak itu sehari-harinya mencari kayu bakar di hutan yang kemudian kayu itu dijual ke pasar. Dari hasil itu, mereka bisa membeli kebutuhan sehari-hari.
Suatu hari, kampung yang aman itu dikejutkan oleh hilangnya kerbau Mak Yah. Semua masyarakat mencarinya, tapi tak seorang pun yang menemukannya. Kerbau itu hilang bagaikan ditelan rimba. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya sehingga membuat masyarakat bertanya-tanya siapa yang mencuri kerbau itu. Keesokan harinya, tiga ekor kambing Bang Ma’e ikut hilang di tempat pengembalaannya. Di sana yang tinggal hanyalah tulang belulang dan percikan darah di mana-mana. Kejadian ini membuat warga semakin penasaran. Dalam hati mereka bertanya, “Sebenarnya siapa yang telah merusak kedamaian di kampung ini?”
Hari-hari berikutnya, makin banyak warga yang kehilangan binatang ternaknya. Bahkan, salah satu anak Wak Minah juga telah hilang ketika dia bermain hingga membuat wak itu terus menangis sepanjang hari. Masyarakat menebak bahwa yang memakan ternak mereka dan mencuri anak Wak Minah adalah geugasi (raksasa) yang tinggal di hutan sana. Karena tapak-tapak yang tertinggal di daerah itu sangatlah besar.
Masyarakat di kampung itu pun mulai resah. Ketakutan mulai melanda di hati mereka. Mereka pun tidak berani lagi keluar rumah. Ahmad yang tidak tahan dengan keadaan itu memberanikan diri untuk mencari sang pembuat onar.
Keesokan harinya, dia berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke hutan, tetapi sang ibu melarangnya. “Jangan Ahmad, nanti kamu dimakan geugasi,” ucap ibunya gusar.
“Tidak Bu, aku akan menjaga diriku baik-baik. Ibu berdoa saja agar aku selamat.”
Akhirnya ibunya hanya bisa mengangguk pasrah menerima permintaan Ahmad, anaknya yang keras kepala. Kemudian pergilah Ahmad ke hutan seorang diri. Dia hanya membawa bekal makanan dan satu pisau yang diselip di pinggangnya. Ahmad terus berjalan hingga dia sendiri tidak tahu lagi sudah sejauh mana dia berjalan. Keringat mulai membasahi tubuhnya, dia pun beristirahat sebentar di bawah pohon. Dari kejauhan, tampaklah sebuah rumah panggung dan semangat Ahmad muncul kembali. Dia menuju rumah itu.
Rumah panggung itu tidak begitu besar dan juga tidak terlalu kecil. Ahmad mengetuk-ngetuk pintu rumah itu, tapi tidak ada sahutan. Dia pun masuk. Di dalam rumah itu terdapat bermacam kepala binatang dan tulang-belulang yang dijadikan sebagai pajangan. Berbagai jenis tombak dan parang terletak di sudut rumah itu begitu juga dengan barang-barang lainnya.
“Tolong… tolong…..”
Ahmad terkejut mendengar suara rintihan minta tolong yang tiba-tiba itu. Dia pun mencari sumber suara itu dan menemukannnya di salah satu kamar di rumah itu. Ternyata itu adalah suara anak perempuan Wak Minah yang hilang. Anak itu meringkuk di sudut sambil menangis tersedu-sedu. Tahulah Ahmad sekarang kalau itu adalah rumah geugasi yang dia cari. Dia pun menenangkan anak wak Minah dan berjanji akan memulangkannya pada ibunya.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara orang yang berjalan dengan begitu keras. Rasa-rasanya bumi bergoyang ketika tapak-tapak itu menghantam tanah. “Itu pastilah geugasi,” pikir Ahmad. Dia pun memikirkan ide agar mereka selamat.
Geugasi yang baru saja mencari makanan akhirnya tiba di halaman rumahnya. Lalu dia berhenti dan hidungnya naik-turun berkali-kali. “Aku mencium bau manusia….” ucapnya dengan begitu keras. Tiba-tiba terdengar suara-suara tapak yang begitu keras di dalam rumah. Kening geugasi itu berkerut.
“Siapa di dalam?” tanyanya penasaran.
“Geugasa,” jawab Ahmad dengan suara yang keras sambil meloncat-loncat di lantai.
Geugasi berpikir bahwa geugasa itu juga sejenis raksasa. Dia pun bertanya lagi, “Coba kulihat gigimu!”
Ahmad melempar buah pinang. Si geugasi terkejut melihat gigi geugasa lebih besar dari giginya. Dia pun melanjutkan pertanyaannya, “Coba kulihat kumismu!”
Ahmad mengambil satu gumpalan bulu ijuk yang lebat dan melemparnya keluar. Si geugasi lagi-lagi terkejut melihat kumis geugasa yang begitu lebat itu. Dia memegang kumisnya yang hanya setengah dari gumpalan kumis si geugasa itu. Dia pun bertanya lagi, “Coba kulihat tahimu!”
Ahmad pun melempar buah kelapa yang besar dan tua. Si gugasi sangat terkejut melihat tahi geugasa yang begitu besar itu. Dia berpikir, kalau gigi dan tahinya sebesar itu dan kumisnya selebat itu, bagaimanakah besarnya geugasa itu. “Oh, pastilah dia amat sangat besar…. Pastilah aku mati kalau berhadapan dengannya,” ucap geugasi pada dirinya sendiri.
“Aku sangaat lapaarrr…. apakah ada makanan disini?” ucap Ahmad dengan suara yang dikeras-keraskan.
Mendengar itu, badan geugasi langsung gemetar, keringat dingin mulai keluar, dan mukanya menjadi tegang. Jelas sekali dia ketakutan. “Aaarrrgghhhhh…… kenapa tidak ada apa-apa di sini? Lebih baik aku keluar saja. Pasti ada makanan di sana.”
Tubuh geugasi makin bergetar hebat karena mendengar ucapan geugasa. Tanpa menunggu waktu lagi, dia berbalik arah hendak melarikan diri, tapi Ahmad dengan cekatan mengambil tombak dan melemparnya ke arah geugasi. Tombak itu menancap mulus di punggung geugasi hingga tembus ke perutnya. Dia mengerang begitu keras. Ahmad pun mengambil tombak satu lagi dan melemparnya lagi hingga menancap di kepala geugasi yang berambut lebat dan panjang. Geugasi itu pun tersungkur di tanah. Dia mati.
Ahmad dan anak wak Minah turun dan melihat geugasi yang sudah tak bernyawa itu. Lalu mereka pulang dan setiba di sana mereka mengabarkan pada seluruh warga di kampung bahwa mereka telah membunuh geugasi. Semua orang sangat senang, apalagi Wak Minah dan ibu si Ahmad karena melihat anaknya kembali dengan selamat. Akhirnya kampung itu kembali aman dan damai.
Sahudin Cempanir (Aceh)

Sahudin Cempanir (Aceh)

Seorang pemuda bernama Sahudin. Jika dilihat tampangnya, terlihat agak ganteng, tapi dia sedikit kurang cerdas. Sahudin seorang bujang yang ingin menikah. Ia pun menyampaikan niat itu pada bibinya, kemudian bibinya ini yang akan menjadi perpanjangan lidah Sahudin pada orangtuanya.
Dipilihlah seorang gadis untuk Sahudin. Setelah acara pelamaran, pesta pun digelar. Semuanya terjadi serba cepat. Si gadis langsung mengiyakan lamaran karena melihat tampang Sahudin yang lumayan. Setelah menikah, barulah terlihat perlahan. Awalnya Sahudin tidak punya pekerjaan, semuanya hanya berharap dari belas kasih mertuanya, karena memang dia tinggal di rumah istri. Sampai sekian lama belum juga ada mata pencaharian Sahudin. Si istri mulai berbadan dua. Mertua juga mulai lelah melihat keadaan menantunya. Adanya hanya duduk-duduk di rumah setiap hari, bermain dengan istrinya, begitu setiap harinya.
Telah sampai masa, si istri melahirkan seorang anak perempuan. Sahudin belum menunjukkan perubahan apa pun. Ada satu hal sifatnya yang sangat menonjol, yaitu ‘lupa’. Sahudin sangat pelupa sehingga setiap dia dimarahi oleh mertuanya, dia cuek saja karena saat itu juga dia bisa lupa.
Suatu hari, mertuanya meminta Sahudin membeli perlengkapan bersalin untuk istrinya dan untuk perlengkapan anaknya. Hal yang perlu dibeli itu bedak, tampal, popok anak. Dengan cepat Sahudin berangkat, tapi sampai di jalan dia bahkan tidak mengingat apa pun yang di perintahkan oleh mertuanya. Akhirnya, Sahudin kembali lagi ke rumah dan bertanya pada mertuanya.
“Mak, tadi saya di suruh membeli apa?” tanya Sahudin pada mertuanya.
“Bedak, tampal, popok,” jawab mertuanya dengan baik.
Dengan begitu, Sahudin sudah tahu apa yang hendak dia beli. Namun, sekarang berbeda, Sahudin mencoba menyanyikan pesanan mertuanya agar dia tidak lupa lagi. “Bedak, tampal, popok anak….., bedak tampal popok anak…,” begitu terus menerus mulai dari pintu rumah. Namun, ternyata tidak tertahan lama, sesampainya di halaman, kaki Sahudin tersandung oleh bongkahan batu hingga membuat nyeri di kakinya. Nyanyian Sahudin pun terhenti, dia mengaduh sesaat merasai nyeri di kakinya. Setelah nyeri hilang, dia lupa lagi apa yang hendak dikerjakannya tadi. Mengingat-ingat sesaat, tapi tidak juga menemukan jawabnya. Terpaksa dia pulang lagi dan bertanya pada mertuanya.
“Mak, tadi saya disuruh membeli apa?” tanya Sahudin.
“Bedak, tampal, popok,” jawab dengan baik lagi oleh mertuanya.
Sahudin pergi lagi dengan bernyanyi, dia terus melewati pintu pagar hingga menelusuri jalan, masih saja terus bernyanyi dan bernyanyi. Nyanyiannya pun tetap sama dan dengan irama yang sama pula. “Bedak, tampal, popok anak….., bedak tampal popok anak…,” begitu terus menerus.
Ketika menelusuri sepanjang jalan menuju pasar, Sahudin bertemu dengan kawannya, kawannya menegur. “Hendak kemana, Din?” Bagaimanapun dia harus menjawab, tidak mungkin tidak. “O, mau ke pasar sebentar,” jawabnya singkat. Temannya bertanya lagi, “Ngapain?” medengar pertanyaan itu Sahudin memikirkan jawabannya, ternyata dia lupa lagi. Dia bahkan tidak tahu ngapain dia ke Pasar.
Sahudin kembali lagi ke rumah, hendak bertanya lagi pada emak mertuanya, atas tujuan apa dia di suruh ke pasar. “Mak, tadi saya di suruh membeli apa?” “Bedak, tampal, popok,” jawab mertuanya geram dan penuh amarah oleh. “O, iya!“ jawab Sahudin dengan entengnya. Lagi-lagi dia menelusuri jalan dengan nyanyian khasnya. Sambil berjalan dia mencoba menutup telinga dan memicing-micingkan mata agar tidak ada satu orang pun yang menegurnya. Selain itu, agar dia tidak ada keinginan pula untuk menegur orang lain. Ternyata ini adalah usaha terakir Sahudin, akhirnya dia berhasil membawa pesanan mertuanya.
Setelah itu, Sahudin tidak ada kegiatan lagi, tidak ada pula pekerjaannya. Lagi-lagi dia duduk-duduk di rumah mendampingi anak dan istrinya sambil bermain-main. Padahal, itu pantang dilakukan oleh seorang suami di Gayo. Melihat keadaan itu, ibunya geram dan marah. “Hey, Aman Nipak, tidak perlu terus-terusan di jaga anak dan istrimu di persalinan, atau kamu juga ingin bersalin? Dengar ya, kalau memang tidak punya kerjaan, pergi cari bibit, tanami tanah lapang dan tanah yang rata itu,” Begitulah amarah mertuanya, ternyata cukup menggairahkan ingatannya.
Segeralah Sahudin pergi ke pasar membeli bibit jagung. Setelah itu, dia membawa berbagai peralatan menanam ke lapangan umum dan menanami jagung di sana. Orang-orang terkejut dan sontak bertanya, “ Sahudin, kenapa lapangan ini ditanami jagung?” Dengan simple Sahudin menjawab, “disuruh oleh mertuaku.”
Pernyataan semacam itu membuat orang-orang lebih terkejut lagi. Lebih-lebih ketika melihat Sahudin juga menanami jagung di jalan-jalan setapak, karena menurutnya itu tanah yang rata yang di sebutkan oleh mertuanya.
Mengetahui itu, mertua Sahudin marah besar. ‘’Dasar menantu bodoh, tidak becus apa-apa.’’ semua ucapan pun terlontar dari mulut mertuanya. Sahudin merasa bersalah dan akhirnya dia diam-diam saja. Melihat keadaan itu, mertuanya menjadi merasa tidak enak. Untuk memecahkan suasana tidak enak ini mertuanya meminta Sahudin untuk membeli garam. “Aman Nipak, tolong belikan garam untuk pakis dan talas.” Dengan perintah itu Sahudin kembali merasa dihargai lagi.
Dengan penuh semangat dia pergi membeli garam. Sesampai di pasar Sahudin membeli garam. Sepulang dari pasar, Sahudin kembali menelusuri jalan yang biasa. Di sepanjang jalan ada pakis dan talas yang tumbuh berjejer, karena merasa ingin membantu mertuanya dia langsung menaburkan garam pada talas dan pakis di sepanjang jalan. Al-hasil sesampai di rumah garam tinggal sedikit. Ibu mertuanya bertanya lagi, “Aman Nipak, kenapa garamnya tinggal sedikit?” dengan bangga Sahudin menjawab, Mak, tadi emak katakan garamnya untuk talas dan pakis. Nah, ketika pulang tadi, aku langsung memberi garam pada talas dan pakis, agar Emak tidak capek-capek lagi.” Mendengar jawaban itu, mertuanya hanya bisa mengelus dada.



Putri Bungsu (Aceh)


Ada sebuah cerita tentang dua orang putri, kakak beradik. Mereka tinggal di tengah hutan raya. Hal ini karena mereka tidak lagi mempunyai ayah dan ibu. Ketika kedua orang tua mereka masih ada, keluarga mereka termasuk sebuah keluarga yang bahagia dan rukun. Ketika itu pernah ibunya perpesan pada kedua anaknya. “Anakku, jangan biasakan hidup bermalas-malasan. Apalagi, kalau ada daging, jangan pernah membiarkan daging itu berlama-lama. Daging yang segar itu jika dibiarkan berlama-lama bisa hidup dan tumbuh menjadi setan gergaji. Dan gergaji itu akan memakan kita.”
Sekian lama waktu berselang, mereka sudah merasa nyaman hidup di hutan dengan makan seadanya. Tiba-tiba saja mereka mendapat kiriman daging dari kampung dan kedua putri ini meminta pengantar daging untuk meletakkan daging itu di depan pintu. Kemudian pengantar langsung pergi lagi. Kedua putri itu saling menolak untuk membersihkan dan memasak daging tersebut. Bahkan, untuk mengambil dari depan pintu saja mereka malas. Keduanya mengatakan sebentar lagi..sebentar lagi. Sedangkan daging sudah sangat lama di depan pintu. Mereka lupa dengan pesan ibu mereka.
Tiba-tiba saja secara perlahan daging itu tumbuh menjadi gergaji yang sangat besar, menyerupai raksasa. Kedua putri itu menjadi takut. Apalagi, ketika mendengar suara gergaji yang bergelegar saat berbicara pada mereka.
“Buka pintu! Buka pintu! Ini dia aroma Putri Bangsu,” kata gergaji.
Di tengah rasa takut, masih ada ide dari kedua putri itu. Mereka mencoba menyahut setiap kali Gergaji berbicara. Katanya “Sebentar Kakek Gergaji, sebentar lagi akan kubukakan pintu untukmu. Sabarlah, aku akan memasak nasimu terlebih dahulu.”
Menyahut lagi Gergaji, “Iya, aku ingin makan banyak. Masak yang banyak, ya?”
“Seberapa banyak Kakek, kira-kira satu bambu, cukup?” Putri bertanya lagi.
“Kalau segitu tidak cukup untuk tahi gigiku pun,” kata gergaji lagi dari balik pintu. Sambil bicara, Gergaji mendorong pintu terus menerus. Begitu juga dengan kedua putri tersebut, sambil berbicara mereka mencari akal untuk bisa melarikan diri. Ditanyanya lagi pada Gergaji. “Jadi, jika kumasak berapa banyak baru cukup kek, dua bambu cukup?”
“Segitu? Tidak cukup untuk sugiku pun,” sahut Gergaji.
Ketika itu, kedua putri sudah menemukan ide. Mereka memanggil kucingnya. “Cing! Cing! Cing!, kami akan pergi dari sini. Setelah kami pergi jauh tolong bukakan pintu untuk setan Gergaji yang ada di luar,” kata Putri pada kucingnya.
Sebelum pergi, kedua putri itu terlebih dahulu memasang ranjau di balik pintu. Ranjau itu dibuat dari kukuran kelapa. Kiranya, jika setan Gergaji masuk, akan terperangkap ranjau tersebut.
Singkat cerita, kedua putri itu pergi jauh, kucing pun membukakan pintu untuk setan Gergaji. Setelah itu, kucing langsung melompat dengan lincah. Setan Gergaji terperangkap di aras ranjau kukuran kelapa, karena dipikirnya kedua putri yang membukakan pintu untuknya.
“Rupanya bukan Putri Bungsu. Mana Putri Bungsu?” kata setan Gergaji sambil berjalan ke dapur. Dilihatnya juga tidak ada masakan apa-apa di dapur. Setan Gergaji memang lebih menyukai si Bungsu dari pada kakaknya.”Katanya tadi mau memasak nasi untukku, rupanya tidak ada nasi di sini,” ujar Gergaji lagi.
Kedua putri telah berlari jauh hingga ke tepian sungai. Di tepi sungai,, mereka bertemu dengan tukang Perahu. Kedua putri itu pun menyapanya. ”Abang-Abang tukang perahu, tolonglah kami. Tolong sembunyikan kami, karena kami sedang dikejar setan Gergaji.”
Abang tukang perahu menolong mereka. Keduanya disembunyikan ke bawah telungkup perahu buatannya. Sayagnya, bayangan keduanya memantul di dalam air. Sedangkan si Gergaji sudah tiba menyusul.
“Muh…! Ini bau Putri Bungsu. Abang-abang tukang perahu, apakah ada di sini Putri Bungsu? Di sini aku mencium ada aroma Putri Bungsu,” tanya setan Gergaji.
“Ada. Itu dia bersembunyi di dalam air, carilah ke situ,” kata tukang perahu pada Setan Gergaji sambil menunjuk bayangan Putri Bungsu di dalam air.
Setan Gergaji menyelam, tapi dia tidak berhasil menemukan putri. Yang ada, dia hanya kedinginan karena terlalu lama berada dalam air. Kemudian dia keluar dengan bibir bergetar, badan sudah menggigil, kedinginan. “Kenapa tidak ada? Padahal aku ada melihatnya di sana,” kata Gergaji pada Abang tukang perahu.
Karena melihat Gergaji kedinginan, Abang tukang perahu mulai menawarkan jasa. “Dingin ya, Kek?”
“I…i…ya,”
“Apa perlu selimut, Kek?” tanya tukang perahu lagi.
“Iya,” jawab Gergaji singkat.
Kemudian Abang tukang perahu menyelimuti Gergaji dengan ijuk yang sangat tebal. Ia bertanya lagi, “ Apa masih dingin juga, Kek?”
“I…i…ya.” jawab gergaji lagi, dengan mulut bergetar.
“Apa perlu saya nyalakan api, Kek?” tanya tukang perahu lagi.
“I..i..ya.”
Kemudian tukang perahu menyalakan api pada ijuk yang ada di badan Gergaji hingga Geraji terbakar.
“Apa sudah terasa hangat, Kek?” tanya tukang perahu lagi.
“Sedikit.”
Tukang perahu menyulut api semakin besar hingga akhirnya Gergaji terbakar sampai menjadi arang. Tapi Gergaji masih bisa bicara. Sampai arangnya digiling dia masih tetap bicara.” Yah, ini dia bau Putri Bungsu.” katanya. Padahal, dia sudah mati.
“Dik, sekarang setan Gergajinya sudah mati. Kalian berdua sudah boleh pergi. Memangnya kalian mau kemana?” tanya tukang perahu pada kedua putri.
“ Abang tukang perahu, kami ini anak yatim piatu, tidak punya apa-apa. Mau pergi ke mana juga kami belum tahu,” kata Putri yang lebih tua. “Kami pernah mendapat amanah dari ibu, kami tidak boleh berpisah. Jika memang harus terpisah, kami sudah dilengkapi dengan perlengkapan dan bekal masing-masing. Satu ke langit ke Bujang Jere, satu ke Hilir ke Malim Dewa.”
Karena kasihan, tukang perahu memberikan sebuah perahu pada keduanya. Memang, mereka mempunyai perhiasan lengkap. Gelang emas, kalung, sanggul, dan baju yang cantik pula. Layaknya pengantin di atas pelaminan. Mereka memang seorang putri yang akan segera berjodoh. Jodoh si sulung di langit, Bujang Jere, sedangkan si bungsu berjodoh di Hilir, dengan Malim Dewa.
Adiknya mempunyai watak yang keras kepala, ingin menang sendiri karena masih ada lengket sifat manja. Akhirnya, mereka diberikan perahu oleh abang tukang perahu. Tinggallah mereka di sana. Mereka hanyut bersama perahu.
Dalam perahu itu ada sebuah jambu kelutuk yang besar dan terlihat sangat lezat. Putri yang tertua sedang tertidur. Buah itu ditemukan oleh putri bungsu. Pada awalnya putri yang bungsu sudah membelah buah tersebut dengan niat untuk membagi pada kakaknya. Tapi, ternyata buah itu memang sangat lezat, akhirnya dia lupa meninggalkan untuk kakaknya.
Seketika kakaknya bangun tidur dan melihat ada bekas makanan di mulut adiknya. Kakanya bertanya, “ Adik, baru makan apa?”
Adiknya. “Aku tidak memakan apa-apa, Kak.”
Mendengar jawaban adiknya, si kakak sangat kecewa karena kebohongan itu menunjukkan adiknya tidak setia pada kakaknya. Hal ini membuat kakaknya menjadi sedih. Hingga kakaknya mengutarakan niat untuk berpisah pada adiknya.
“Adikku, mulai saat ini lebih baik kita berpisah. Kamu telah membohongi kakak. Aku ke langit, ke Bujang Jere, kamu ke Hilir ke Malim Dewa” katanya.
Dengan sedih dan penuh penyesalan, adiknya harus menerima keputusan si kakak. Karena memang dia yang salah. Pesan kakaknya, “Adikku, jika aku sudah terbang, jangan panggil lagi. Karena aku takut pintu langit akan tertutup dan aku tidak dapat pergi.” Setelah itu, kakaknya langsung terbang. Adiknya menangis sedih.
Tidak tahan berpisah dari kakanya, adiknya mulai memanggil-manggil kakaknya. Ia memanggil di kakak sambil meratap. “Kakakku pulanglah, gelang emasku terjatuh, tolong ambilkan.”
Mendengar adiknya memanggil, si kakak berbalik lagi untuk memasangkan gelang adiknya. Tapi setelah itu kakaknya terbang lagi, sambil kembali berpesan, “ Adik, jangan lagi panggil kakak, karena sebentar lagi pintu langit akan tertutup.”
Sebentar kakaknya terbang, adiknya menangis lagi. “Kakak, kakakku, pulanglah, pulang, kalung emasku dan sanggulku terjatuh, tolong dirapikan lagi.”
Sesaat setelah itu, kakaknya datang lagi dan membenarkan semua perlengkapan adiknya. Kemudian dengan cepat dia pergi lagi, tak lupa kakaknya berpesan untuk tidak memanggilnya lagi. Satu pesan terakir dia, ”Adik, jika nanti engkau berperahu ke hilir, jangan berhenti di bawah pohon gele, itu tempat Tuntung Kapur yang jahat. Biarpun cuaca panas dan kamu benar-benar capek, jangan sesekali kamu berhenti di tempat itu.”
“Iya,” jawab adiknya.
Sesaat kakaknya terbang, lagi-lagi adiknya menangis dan memanggil lagi, tapi kali ini kakaknya menutup rapat kupingnya agar tidak mendengar tangisan adiknya. Setelah itu, kakaknya tidak kembali lagi. Adiknya hanya menangis dan menyesali perbuatannya yang telah membuat kakaknya marah. Bungsu terus menangis. Di dayungnya perahunya dengan elegi tangisan. ”So…so…perahu berdeso. Kakakku ke langit ke Bujang Jere, aku ke hilir ke Malim Dewa.”
Perahunya terus berjalan. Tiba-tiba sampailah putri bungsu pada pohon gele, “Wah, berteduh di bawah pohon ini sejuk sekali,” batin Putri Bungsu. Hingga akhirnya dia lalai dan bermain-main di situ. Putri bungsu mengikat perahunya dan dia memanjat pohon yang lagi berbuah. Dia betul-betul dilalaikan oleh suasana yang indah dan buah-buah pohon yang lezat.
Di rumah Tuntung Kapur, Tuntung Kapur disuruh ayahnya mengambil air ke telaga yang berada di pinggiran sungai, tepat berada di bawah pohon yang di panjat oleh Putri Bungsu.
“Nak, tolong ambilkan air,” perintah ayahnya.
Tuntung Kapur malah menjawab dengan makian untuk ayahnya. ”Aduh, Ayah ini kurang ajar sekali, masa aku yang cantik disuruh-suruh mengambil air,” katanya.
Tuntung Kapur sangat terkenal jahat, miskin, malas, sombong, dan segala sifat jahat melekat padanya. Tuntung Kapur terus membantah. Namun, akhirnya dia mau juga mengambil air setelah berulang kali diperintahkan ayahnya.
Dengan sebuah labu di tangannya, dia berangkat ke telaga. Sampai ke telaga, dia melihat bayangan yang sangat cantik. Dia berpikir kalau itu adalah bayangan wajahnya. Padahal, itu adalah bayangan Putri Bungsu yang berada di atas pohon. Melihat bayangan yang sangat cantik, Tuntung Kapur langsung memecahkan labu yang dibawanya. Lagi-lagi ia memaki-maki ayahnya yang telah menyuruhnya mengambilkan air ke telaga. Dalam hatinya, orang yang cantik seperti dia seharusnya tidak patut disuruh-suruh. Tuntung Kapur pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Tuntung Kapur ditanyai oleh ayahnya. ”Mana airnya?”
Tuntung Kapur menjawab dengan berbohong. “Ayah, aku tidak membawa air karena aku dikejar kuda dan labu yang kubawa tadi sudah pecah,” kata Tuntung Kapur.
Ayahnya memberi labu yang baru dan menyuruh Tuntung Kapur mengambil air lagi. Sesampai di telaga, Tuntung Kapur tidak langsung pulang, dia lalai melihat bayangan wajah cantik yang ada dalam telaga dan dia masih berpikir kalau itu adalah bayangan wjahnya. Akhirnya, labu kedua juga dipecahkan oleh Tuntung Kapur. Kemudian, dia pulang dan memberikan alasan yang sama pada ayahnya.
Ayahnya menyuruh lagi mengambil air, tapi kali ini ayahnya memberikan labu yang terbuat dari kulit yang anti pecah. Kejadian tidak jauh berbeda. Sesampai di telaga, Tuntung Kapur hanya memandangi bayangan yang ada dalam air, kemudian timbul lagi kebencian pada ayahnya. Tuntung Kapur kembali ingin memecahkan labu yang dibawanya. Diambilnya batu dan labu pun diketok. Tapi tidak berhasil. Berkali-kali diketok, tetap juga tidak berhasil. Sampai dia capek dan tidak berdaya lagi.
Melihat kejadian itu, sontak putri yang ada di atas pohon tertawa terkikik-kikik. Gara-gara itu pula, Tuntung Kapur mengetahui keberadaan putri di atas pohon.
Saat Tuntung Kapur melihat, ”Ternyata ada putri cantik. Turunlah putri. Ayo, Turunlah agar kita bisa mandi bersama-sama di sungai. Aku punya sampo jeruk purut kasturi, taik ayam taik biri,” kata Tuntung Kapur pada Putri.
Namun, putri belum juga mau turun. Tuntung Kapur memaksa. ”Turunlah Putri, kalau putri tidak mau, kucubit sampai kulit-kulit putri terkoyak,” ancam Tuntung Kapur. Karena takut dengan ancaman Tutung Kapur, putri pun akhirnya turun.
“Putri, ayo kita mandi, memakai sampo dan kita lomba menyelam. Ayo, Putri harus cepat-cepat membuka baju melepas semua perhiasan dan turun duluan ke sungai. Setelah putri menyelam aku akan menyusul,” kata Tutung Kapur.
Dengan lugunya, putri langsung melepas semua perhiasan dan menceburkan diri ke dalam sungai. Selain itu, putri juga menyelam dengan sangat lama, berharap ia akan menjadi pemenang. Sedangkan Tuntung Kapur ternyata tidak mandi. Tuntung Kapur memakai semua pakaian dan perhiasan milik putri. Ketika putri selesai menyelam, Tuntung Kapur telah siap dengan perlengkapan milik putri. Melihat itu, putri sedih. Dia baru teringat pesan kakaknya.
”Putri, bajunya aku pinjam, ya? Sepertinya aku cantik memakai baju milik Putri,” kata Tutung Kapur.
“Tapi baju untukku mana, aku tidak punya baju yang lain.”
“Putri pakai saja bajuku, kita tukaran sebentar, ya.”
Baju milik Tuntung Kapur adalah baju yang sangat jelek, seperti jala ikan yang sudah terkoyak-koyak. Sedangkan baju putri adalah baju yang bersulam emas. Putri menangis, menyesali dirinya yang tidak mau mendengar nasihat kakaknya.
“Ih, Putri, jangan menangis. Kenapa harus menangis, aku hanya meminjam sebentar. Putri lucu ya,” Tuntung Kapur merayu.
Dengan girang, kemudian Tuntung Kapur berlari pulang, memamerkan kecantikan baju yang dia pakai pada ayah dan ibunya. “ Ayah, aku mau pergi ke hilir bersama dengan temanku. Dia datang khusus untuk menjemputku dari jauh,” kata Tutung Kapur. Ia berniat mengikuti putri ke mana tujuannya.
Sekembalinya ke sungai, Tutung Kapur melihat putri masih menangis sambil meminta bajunya. “Kembalikan bajuku,” pinta Putri.
Tapi Tuntung Kapur malah tidak peduli dengan permintaan putri. Lagi-lagi dia mengancam. “Putri, aku sudah bilang mau pinjam sebentar. Kalau memang putri tidak memberi, biar kucubit sampai terkoyak kulit putri.”
Mendengar ancaman itu, putri hanya diam. Tuntung Kapur lalu mengajak putri untuk cepat-cepat naik ke atas perahu agar bisa lebih cepat meninggalkan tempat itu. Sesampai di atas perahu, perahu tidak bergerak sedikit pun. Tuntung Kapur jadi heran.
“Putri, bagaimana caranya? Ayo cepat, ajari aku. Setelah aku bisa nanti, aku akan membawa sendiri perahu ini,” katanya.
Putri menangis lagi, sambil dia bernyanyi. ”So…so…perahu berdeso, Kakakku ke langit ke Bujang Jere, aku ke hilir ke Malim Dewa.”
Sesaat perahu pun berlaju. Kemudian Tuntung Kapur juga ikut bernyanyi, menyanyikan lagu yang sama. Akibatnya, perahu berhenti dan tidak bergerak lagi. Dengan kejadian itu, Tuntung Kapur sepanjang perjalanan hanya diam saja.
Sesampai ke hilir, kabar kedatangan Putri Bungsu ternyata sudah tersebar ke seluruh penjuru, hingga beramai-ramai masyarakat menungguinya di pemberhentian. Setiap orang ingin melihat langsung Putri Bungsu yang sudah terkenal kecantikannya. Sedangkan Tuntung Kapur tidak mau lagi mengganti baju dan segala perhiasan milik Putri Bungsu masih tetap dikenakannya.
Tibalah Tuntung Kapur dan Putri Bungsu di kampung yang dituju. Malim Dewa sang pangeran pun sudah siap menunggu. Tapi kenyataan menjadi berbeda, Tuntung Kapur malah mengaku menjadi Putri Bungsu. Putri sendiri dikatakan hanya sebagai pesuruhnya. Sedangkan Putri Bungsu tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya menangis mengingat dirinya yang tidak patuh pada nasihat kakaknya.
Malim Dewa punya inisiatif baik, ia juga membawa Putri Bungsu ke istana, sekalian dengan Tuntung Kapur. Sesampai di istana, pesta besar pun digelar. Tuntung Kapur menikah dengan Malim Dewa. setelah menikah, Malim Dewa belum juga tahu bahwa yang dinikahinya bukan Putri Bungsu yang sebenarnya. Putri yang sebenarnya hanya dijadikan sebagai pesuruh.
Seminggu berselang, kerabat sudah mulai pulang, rumah Malim Dewa menjadi sepi. Malim Dewa meminta istrinya memasak seekor ayam. Dasar Tuntung Kapur yang tidak pernah bekerja dan tidak pernah memasak ayam, malah yang dimasaknya adalah bulu-bulu ayam, sedangkan daging ayamnya dilempar ke luar, diberikannya pada Putri Bungsu. Kemudian Putri Bungsu memasak daging ayam dan merasa senang karena bisa makan enak. Saat masakan putri bungsu mendidih, masakannya bisa berbicara. “Dek-dek kuali, raja menjadikan Tuntung Kapur sebagai istri… Putri Bungsu jadi pembantu,” begitulah ucapan-ucapan yang keluar dari masakan Putri Bungsu.
Mendengar itu, Tuntung Kapur naik pitam. Dia meminta suaminya untuk membuang pembantunya itu ke tengah hutan. Kemudian semua masyarakat dikumpulkan untuk mengarak Putri Bungsu ke hutan. Sesampai di hutan, putri Bungsu dibuang. Setelah semua orang pergi, putri menangis tiada henti sambil meratap dan menceritakan segala kisah hidupnya.
“Alahai nasibku yang tidak sama dengan orang, anak tiada, ibu pun tiada, berbapak pun tidak. Hidup berdua dengan kakak yang aku sayangi, tapi ia telah pergi meninggalkan aku. Kakakku pergi ke langit ke Bujang Jere, aku ke hilir ke Malim Dewa.”
Di sela-sela ratapannya, air matanya terus mengalir, terhimpun segala kesedihan, Putri Bungsu menangis terisak-isak. “Sampai ke hilir, aku bertemu Tuntung Kapur yang merampas kain bajuku, yang merampas emas perakku. Aku dijadikan anak tangga rumah mereka. Ala hai nasib, kini tanpa kesalahan apa pun aku dibuang ke tengah hutan. Aku dijadikan makanan dari segala binatang di hutan ini,” putri terus menangis sambil berdendang.
Tiba-tiba ada harimau ke luar dari hutan merasa iba dengan tangisan Putri Bungsu. “Jangan menangis lagi Putri, aku tidak akan mengganggumu. Sekarang katakan apa yang kau sedihkan, siapa tahu aku bisa membantu,” kata harimau.
“Hidupku berbeda dengan orang lain. Aku hanya sendiri, tidak ada rumah, tidak ada saudara, bagaimana aku hidup di bawah pohon?”
“Jangan menangis Putri, aku akan memanggil semua kawan-kawanku,” sahut harimau.
Tiba-tiba segala binatang yang ada di hutan berkumpul, gajah, monyet, babi, rusa. Berkata gajah, ”Jangan menangis lagi Putri Bungsu, kami akan membuat rumahmu.”
Kemudian dengan secepat kilat binatang-binatang tersebut telah siap membuat sebuah rumah untuk Putri Bungsu di atas pohon dengan mahligai yang sangat indah. Kemudian putri terharu dan menangis lagi. Lagi-lagi dia berfikir bagaimana dia makan. Jika tidak ada makanan, sia-sia saja dia punya rumah.
Babi mendengar tangisan itu. “Jangan menangis Putri Bungsu. Kami akan menyediakan usaha untukmu,” kata babi.
Tiba-tiba binatang-binatang itu menggarap tanah. Babi dengan tikus membawakan biji-bijian untuk ditanam. Akhirnya siaplah sebuah kebun dengan beraneka ragam isinya, padi, labu, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran.
Lama waktu berselang, hingga padi-padi mulai berbunga. Tiba-tiba datang masyarakat kampung melintasi hutan dengan niat berburu, karena berburu adalah hal yang paling disenangi Malim Dewa. Sungguh terkejut mereka melihat di tengah hutan ada sebuah kebun dengan tanaman yang sangat lengkap.
Sesampainya di hutan, anjing-anjing pemburu yang dibawa tidak tangkas lagi. Semuanya hanya bisa duduk, menggonggong, dan berjalan berkeliling di sekitar rumah Putri Bungsu. Malim Dewa semakin heran, tidak pernah ada kejadian serupa ini. Anjing-anjing mereka adalah anjing terbaik. Tak berlama di situ, akhirnya mereka pulang. Tapi ada hal yang mengejutkan lagi, anjing-anjing pemburu milik Malim Dewa tidak pulang. Dia berdiam di dekat tempat tinggal Putri Bungsu.
Besoknya, Malim Dewa punya inisiatif untuk menjemput anjing pemburunya ke hutan. Takut-takut jika anjingnya dimakan harumau. Ternyata tidak. Anjing Malim Dewa masih ada tepat di bawah rumah Putri Bungsu. Anjing itu kemudian dibawa pulang. Namun, anjing malah ingin kembali lagi ke hutan. Dengan alasan itu, akhirnya Malim Dewa keluar masuk hutan berkali-kali. Dan berkali-kali itu pula dia melihat ada sebuah rumah di atas pohon dengan mahligai indah. Akhirnya, dia teringat pernah mengantar pesuruhnya ke hutan ini. Jangan-jangan itulah orang yang diantarnya dulu. Malim Dewa mulai curiga.
Tiba-tiba dari atas rumah terdengar suara tenun. Malim Dewa mendengar dengan teliti suara-suara tenun itu. Hingga akhirnya dia yakin bahwa yang berada di atas pohon itu adalah manusia. Putri Bungsu demikian pula, dia tahu beberapa hari ini Malim Dewa berada di sekitar rumahnya.
Padi-padi yang mulai menguning mulai didatangi burung-burung. Dari atas rumahnya, Putri Bungsu menghalau burung dengan nyanyian. “O yayayo, suara burung, jangan dimakan pulut lengkawi untuk lepat dan tumpi, hajat niat habis panen ini.”
Nyanyiannya diselingi dengan ketukan tenun yang dimainkannya, hingga bagai ada alunan musik. Tanpa sadar, Malim Dewa sudah berada sangat lama hanya untuk sekedar mendengar nyanyian Putri Bungsu. Dia lupa pulang.
Akhirnya dia sadar, baru dia pulang ke kampung. Tapi sesampainya di kampung, dia kembali mengajak masyarakat kampung untuk berburu rusa putih ke hutan, sebagai obat penyubur rahim istrinya. Memang itulah permintaan istrinya. Masyarakat patuh. Berbondong-bondong masyarakat ikut ke hutan mencari rusa putih yang diperintahkan oleh Malim Dewa, sedangkan Malim Dewa langsung menuju pelataran rumah Putri Bungsu. Malim Dewa semakin berpikir tentang seseorang yang ada di atas pohon. Akhirnya ia tanyakan pada teman dekatnya. “Teman, coba lihat rumah yang ada di atas pohon itu, menurutmu itu manusia biasa atau bukan? Jika manusia, mengapa rumahnya di atas pohon tanpa ada tangga dan dia hidup sendiri. Jika memang bukan manusia, aku mendengarnya menyanyi, menenun, dan dia punya kebun-kebun dan sawah-sawah.”
Terdengar lagi suara Putri Bungsu bernyanyi dari atas rumahnya, sambil menghalau burung-burung padi. Nyanyian itu diselingi dengan suara burung yang berkicau, berdialog dengan Putri Bungsu. “Tik, tik, tik, jangan takut hai Putri Bungsu, aku tidak memakan biji padimu, aku hanya minum di kelopaknya, aku bermain-main di tangkainya.”
Putri menyahut, ”Beras pulut itu untuk lepat dan tumpi hajat niat habis panen ini.”
Malim Dewa semakin penasaran. Dia minta seorang temannya untuk mencari tahu tetang orang di atas pohon. Temannya pun melaksanakan. “Hai, siapa pun yang ada di atas sana, aku ingin berbicara denganmu. Bolehkah aku naik k e atas rumahmu?” kata teman Malim Diwa.
“Kalau memang mau naik, naik saja. Tapi bilang, kamu datang dengan siapa?” sahut suara di atas pohon.
“Aku mau naik sendiri saja, karena aku datang hanya sendiri. Boleh aku naik, apa kamu hanya sendiri?”
“Naiklah, aku hanya sendiri di sini, tidak ada suami dan tidak ada sesiapa.”
“Bagaimana aku bisa naiki rumahmu, sedang aku tidak melihat ada tangga di sini,” jawab teman Malim Diwa lagi.
“Itu ada tangga di dekatmu, naiklah.”
“Aku tidak melihatnya, di mana?”
Setelah berbicara seperti itu, barulah terlihat ada tangga yang sangat tinggi. Ternyata tangganya bukan sembarang tangga. Tangganya tidak bisa dilihat oleh orang biasa, kecuali atas izin Putri Bungsu.
“Aku ingin naik satu anak tangga saja.”
”Naiklah.”
Pertama memang satu anak tangga yang dinaiki oleh teman Malim Dewa, tapi kemudian menjadi dua, tiga dan akhirnya sampai ke atas. Akhirnya, dia duduk di atas rumah putri dengan menggantung kakinya di pintu rumah. “Kamu siapa, mengapa hidup sendiri di tengah hutan seperti ini?” tanya teman Malim Diwa.
“Nasibku tidak sama seperti orang lain. Aku anak yatim piatu, tak ada ayah tak ada ibu. Dulu aku hidup berdua dengan kakakku. Tapi sekarang kami berpisah. Kakakku ke langit ke Bujang Jere, aku Ke Hilir ke Malim Dewa. Di perjalanan, aku tidak mendengar nasihat kakakku dan aku bertemu dengan Tuntung Kapur yang jahat. Dia merampas segala pakaianku, emas pirakku. Jadinya, Tuntung Kapur yang jahat yang dipersunting oleh Raja Malim Dewa, aku hanya dijadikan sebagai pesuruh, duduk dijadikan anak tangga. Tanpa kesalahan apa pun aku dibuang ke hutan, hanya Tuhan yang telah memberi pertolongan padaku,” kata Putri Bungsi bercerita.
“Aku ingin jujur, aku adalah pesuruh Malim Dewa yang diminta untuk mencari tahu keberadaanmu di sini wahai Putri Bungsu. Sekarang kami diperintahkan mencari rusa putih oleh raja, sebagai obat istrinya.”
”Bagus itu. Aku tidak pernah minta apa pun seumur hidupku, kecuali yang aku inginkan satu hal, yaitu aku ingin Tuntung Kapur mengembalikan semua milikku. Bawa pula jeruk nipis dan cabe yang telah digiling ke dalam satu toples yang besar, hanya itu saja. Kalau masih ada Tuntung Kapur, aku tidak akan pulang lagi ke kampung.”
Setelah berdialog cukup lama, teman Malim Dewa kembali membawa kabar tentang keberadaan orang di atas pohon. Setelah semua cerita tersampaikan, Malim Dewa jadi terkejut. Mereka bersama-sama pulang kampung.
Keesokan harinya, Malim Dewa datang lagi ke hutan. Kali ini dia datang dengan membawa barang-barang yang dipesan oleh Putri Bungsu. Sekaligus membawa Tuntung Kapur. Pada Tuntung Kapur, Malim Dewa sedikit berbohong. Malim Dewa mengatakan, rusa putih telah ditemukan dan hanya Tuntung Kapur saja yang bisa menjinakkannya. Berangkatlah Malim Dewa beserta masyarakat dan istrinya ke hutan.
Sesampainya di hutan, teman Malim Dewa naik terlebih dahulu dan berkata, “Putri kami telah membawa pesananmu yang kemarin.”
“Kalau memag Tuntung Kapur datang, aku ingin membalaskan dendamku padanya,” kata Putri Bungsu.
Putri bungsu pun dipertemuka dengan Tuntung Kapur disaksikan oleh masyarakat dan Malim Dewa. Kemudian putri mengambil kembali segala harta miliknya yang dipakai oleh Tuntung Kapur. Setelah semua terlepas, Putri Bungsu kemudian mengiris-iris daging Tuntung Kapur dan memasukkan dagingnya ke dalam toples cabe dan jeruk nipis, hingga sampai habis daging Tuntung Kapur dipotong-potong oleh Putri Bungsu. Kemudian toples yang sudah berisi daging itu dikirimkan pada kedua orang tua Tuntung Kapur.
Saat melihat daging Tuntung Kapur, kedua orang tuanya pingsan hingga meninggal di tempat. Akhirnya, Malim Dewa dan Putri Bungsu menikah. Pesta meriah terlaksana hingga akhirnya mereka hidup bahagia.

Hikayat Cabe Rawit (Aceh)

Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan seperti pagar sangkar puyuh. Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada lantai semen atau papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan dipadatkan. Di sana tikar anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan istirahat keluarga tersebut.
Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah.
“Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”
“Entahlah, suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu beribadah dan memohon kepada Tuhan agar nasib kita ini dapat berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa Tuhan terlalu membenci kita karena kita miskin?” keluh sang istri pula. Matanya bercahaya di bawah sinar lampu panyot tanda berusaha menahan tangis.
Malam itu, seusai tahajud, suami-istri tersebut kembali berdoa kepada Tuhan. Keduanya memohon agar dianugerahkan seorang anak. Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan sumpah, “Kalau aku diberi anak, sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat dengan kasih sayang.” Entah sadar atau tidak pula, si istri pun mengamini doa suaminya.
Beberapa minggu kemudian, si istri mulai merasakan sakit diperutnya. Keduanya tak pernah curiga kalau sakit yang dialami si istri adalah sakit orang mengandung. Tak ada ciri-ciri kalau perut istri sedang mengandung. Si istri hanya merasa sakit dalam perut. Sesekali, ia memang merasakan mual.
Waktu terus berjalan. Bulan berganti bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri merasakan sakit dalam perutnya teramat sangat. Bukan main gelisahnya kedua suami-istri tersebut. Hendak pergi berobat, tak tahu harus pergi ke mana dan pakai apa. Tak ada sepeserpun uang tersimpan. Namun, kegelisahan itu tiba-tiba berubah suka tatkala ternyata istrinya melahirkan seorang anak. Senyum sejenak mengambang di wajah keduanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu, ternyata tubuh anak yang baru saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.
“Sudahlah istriku, betapa pun dan bagaimana pun keadaannya, anak ini adalah anak kita. Ingatkah kau setahun lalu, saat kita berdoa bersama bahwa kita bersedia merawat anak kita kelak kalau memang Tuhan berkenan, walaupun sebesar cabe rawit?” hibur sang suami. Keduanya lalu tersenyum kembali dan menyadari sudah menjadi ibu dan ayah.
Singkat cerita, si anak pun dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati sudah berumur remaja, tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan keluarganya, sang ayah bekerja mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut dagangan orang untuk mendapatkan sedikit bekal makanan yang akan mereka nikmati bersama.
Sahdan, suatu ketika si ayah jatuh sakit, tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan si ibu, tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga itu sejak kehilangan sang ayah. Kerja si ibu pun hanya menangis. Tak tahan melihat keadaan orangtuanya, si anak yang diberi nama cabe rawit karena tubuhnya memang kecil seperti cabe, berkata pada ibunnya, “Ibu aku akan ke pasar. Aku akan bekerja menggantikan ayah.”
“Jangan anakku, nanti kalau kau terpijak orang, bagaimana? Ibu tak mau terjadi apa-apa pada dirimu,” sahut ibunya.
“Sudahlah, Ibu, yakinlah aku tak kan apa-apa. Aku pasti bisa. Aku kan sudah besar.”
“Anakku, kau satu-satunya harta yang tersisa di rumah ini. Kau satu-satunya milik ibu sekarang. Ibu tak mau kehilangan dirimu,” kata ibu lagi.
“Aku akan mencoba dahulu, Bu. Dengan doa ibu, yakinlah kalau aku tidak akan apa-apa. Nanti, kalau memang aku tidak bisa bekerja, aku akan pulang. Tapi, izinkan aku mencobanya dahulu, Ibu,” bujuk cabe rawit berusaha meyakinkan ibunya.
Cabai rawit terus mendesak ibunya agar diizinkan bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu pun akhirnya memberikan izin kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar tanpa bekal apa pun.
Belum sampai ke pasar, di perempatan jalan, melintaslah seorang pedagang pisang. Raga pisang pedagang itu nyaris saja menyentuh cabe rawit. “Mugè pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini,” kata cabe rawit.
Spontan pedagang pisang menghentikan langkahnya. Ia melihat ke belakang, lalu ke samping, tapi tak dilihatnya seorang pun manusia.
“Mugè pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini.” Terdengar kembali suara serupa di telinga pedagang pisang. Ia kembali melihat ke belakang dan ke samping. Tapi, tetap tak ditemukannya sesosok manusia pun. Sampai tiga kali ia mendengar suara dan kalimat yang sama, mugè pisang merasa ketakutan. Akhirnya, dia berlari meninggalkan pisang dagangannya. Ia mengira ada makhluk halus. Padahal, si cabe rawit yang sedang bicara. Karena tubuhnya yang mungil, pedagang pisang itu tidak melihat keberadaan cabe rawit di sana.
Sepeninggalan mugè pisang, pulanglah cabe rawit membawa pisang yang sudah ditinggalkan mugè itu. Sesampainya di rumah, si ibu heran melihat anaknya membawa pisang. “Darimana kau dapatkan pisang-pisang ini, Rawit?” tanya si ibu.
Cabe rawit menceritakan kejadian di jalan sebelum ia sempat sampai ke pasar. “Daripada diambil orang atau dimakan kambing, aku bawa pulang saja pisang-pisang ini, Bu,” katanya.
Keesokan harinya, si cabe rawit kembali minta izn untuk ke pasar. Namun, di tengah jalan, lewatlah pedagang beras dengan sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris mendahului si cabe rawit, ia mendengar sebuah suara. “Hati-hati sedikit pedagang beras, jangan sampai ban sepedamu menggilas tubuhku yang kecil ini. Ibuku pasti menangis nanti,” kata sara itu.
Berhentilah pedagang beras tersebut karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak didapatinya seorang manusia pun. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah mendengar suara tersebut berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari pontang-panting ketakutan. Ia mengira ada makhluk halus yang sedang mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang tidak kelihatan karena tubuhnya yang teramat mungil.
Sepeninggalan pedagang beras, cabe rawit
Keesokan harinya, hal serupa kembali terjadi. Ketika cabe rawit hendak ke pasar, di pertengahan jalan, ia bertemu dengan pedagang ikan. Pedagang ikan itu juga ketakutan saat mendengar ada suara yang menyapanya. Ia lari lintang pukang meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka pulanglah cabe rawit sembari membawa beberapa ikan semampu ia papah. “Tadi pedagang ikan itu tiba-tiba lari meninggalkan ikan-ikannya. Kita kan sudah lama tidak makan ikan. Aku bawa pulang saja ikan-ikan ini sedikit daripada habis dimakan kucing,” kata cabe rawit kepada ibunya saa sang ibu bertanya darimana ia mendapatkan ikan.
Begitulah hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di perempatan atau pertengahan jalan, dia berpapasan dengan para pedagang. Hatta, keluarga yang dulunya miskin dan jarang makan enak itu menjadi hidup berlimpah harta. Pedagang beras akan meninggalkan berasnya di jalan saat mendengar suara cabe rawit. Pedagang pakaian meninggalkan pakaian dagangannya, pedagang emas pun pernah melakukan hal itu. Heranlah orang-orang sekampung melihat si janda miskin menjadi hidup bergelimang harta.
Orang-orang kampung pun mulai curiga. Didatangilah rumah janda miskin tersebut. “Bagaimana mungkin kau tiba-tiba hidup menjadi kaya sedangkan kami semua tahu, kau tidak memiliki siapa-siapa. Suami pun sudah meniggal,” kata kepala kampung.
Si janda hanya diam. Kepala kampung mengulangi pertanyaanya lagi. Namun, di janda tetap bungkam. Karena kepala kampung dan orang-orang kampung di rumah itu sudah mulai marah, terdengarlan suara dari balik pintu. “Tolong jangan ganggu ibuku. Kalau kepala kampung mau marah, marahilah aku. Kalau kepala kampung mau memukul, pukullah aku,” kata suara tersebut.
Kepala kampung dan orang-orang yang ada di rumah tersebut terkejut mendengar suara itu. Beberapa kali suara itu terdengar dari arah yang sama, dari belakang pintu. Salah seorang penduduk melihat ke sebalik pintu. Namun, tak dijumpainya seorang pun di sana. Sedangkan saat itu, suara yang sama kembali terdengar. “Kalau kalian mau marah, marahilah aku. Kalau kalian mau memukul, pukullah aku,” kata suara itu yang tak lain dan tak bukan adalah milik cabe rawit.
Singkat cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari seorang manusia yang sangat kecil, sebesar cabe. Suasana berubah menjadi tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang sumpah yang pernah ia lafalkan dengan sang suami tentang keinginan punya anak walau sebesar cabe pun. Mahfumlah kepala kampung dan penduduk di sana. Akhirnya, para penduduk sepakat membangun sebuah rumah lebih bagus untuk di janda bersama anaknya. Hidup makmurlah keluarga cabe rawit. Ia tidak lagi harus pergi ke pasar sehingga membuat orang-orang takut. Akan tetapi, setiap penduduk berkenan memberikan keluarga cabe rawit apa pun setiap hari. Ada yang memberikan beras, garam, pakaian, dan sebagainya.

Kategori

Kategori