Sahudin Cempanir (Aceh)

Sahudin Cempanir (Aceh)

Seorang pemuda bernama Sahudin. Jika dilihat tampangnya, terlihat agak ganteng, tapi dia sedikit kurang cerdas. Sahudin seorang bujang yang ingin menikah. Ia pun menyampaikan niat itu pada bibinya, kemudian bibinya ini yang akan menjadi perpanjangan lidah Sahudin pada orangtuanya.
Dipilihlah seorang gadis untuk Sahudin. Setelah acara pelamaran, pesta pun digelar. Semuanya terjadi serba cepat. Si gadis langsung mengiyakan lamaran karena melihat tampang Sahudin yang lumayan. Setelah menikah, barulah terlihat perlahan. Awalnya Sahudin tidak punya pekerjaan, semuanya hanya berharap dari belas kasih mertuanya, karena memang dia tinggal di rumah istri. Sampai sekian lama belum juga ada mata pencaharian Sahudin. Si istri mulai berbadan dua. Mertua juga mulai lelah melihat keadaan menantunya. Adanya hanya duduk-duduk di rumah setiap hari, bermain dengan istrinya, begitu setiap harinya.
Telah sampai masa, si istri melahirkan seorang anak perempuan. Sahudin belum menunjukkan perubahan apa pun. Ada satu hal sifatnya yang sangat menonjol, yaitu ‘lupa’. Sahudin sangat pelupa sehingga setiap dia dimarahi oleh mertuanya, dia cuek saja karena saat itu juga dia bisa lupa.
Suatu hari, mertuanya meminta Sahudin membeli perlengkapan bersalin untuk istrinya dan untuk perlengkapan anaknya. Hal yang perlu dibeli itu bedak, tampal, popok anak. Dengan cepat Sahudin berangkat, tapi sampai di jalan dia bahkan tidak mengingat apa pun yang di perintahkan oleh mertuanya. Akhirnya, Sahudin kembali lagi ke rumah dan bertanya pada mertuanya.
“Mak, tadi saya di suruh membeli apa?” tanya Sahudin pada mertuanya.
“Bedak, tampal, popok,” jawab mertuanya dengan baik.
Dengan begitu, Sahudin sudah tahu apa yang hendak dia beli. Namun, sekarang berbeda, Sahudin mencoba menyanyikan pesanan mertuanya agar dia tidak lupa lagi. “Bedak, tampal, popok anak….., bedak tampal popok anak…,” begitu terus menerus mulai dari pintu rumah. Namun, ternyata tidak tertahan lama, sesampainya di halaman, kaki Sahudin tersandung oleh bongkahan batu hingga membuat nyeri di kakinya. Nyanyian Sahudin pun terhenti, dia mengaduh sesaat merasai nyeri di kakinya. Setelah nyeri hilang, dia lupa lagi apa yang hendak dikerjakannya tadi. Mengingat-ingat sesaat, tapi tidak juga menemukan jawabnya. Terpaksa dia pulang lagi dan bertanya pada mertuanya.
“Mak, tadi saya disuruh membeli apa?” tanya Sahudin.
“Bedak, tampal, popok,” jawab dengan baik lagi oleh mertuanya.
Sahudin pergi lagi dengan bernyanyi, dia terus melewati pintu pagar hingga menelusuri jalan, masih saja terus bernyanyi dan bernyanyi. Nyanyiannya pun tetap sama dan dengan irama yang sama pula. “Bedak, tampal, popok anak….., bedak tampal popok anak…,” begitu terus menerus.
Ketika menelusuri sepanjang jalan menuju pasar, Sahudin bertemu dengan kawannya, kawannya menegur. “Hendak kemana, Din?” Bagaimanapun dia harus menjawab, tidak mungkin tidak. “O, mau ke pasar sebentar,” jawabnya singkat. Temannya bertanya lagi, “Ngapain?” medengar pertanyaan itu Sahudin memikirkan jawabannya, ternyata dia lupa lagi. Dia bahkan tidak tahu ngapain dia ke Pasar.
Sahudin kembali lagi ke rumah, hendak bertanya lagi pada emak mertuanya, atas tujuan apa dia di suruh ke pasar. “Mak, tadi saya di suruh membeli apa?” “Bedak, tampal, popok,” jawab mertuanya geram dan penuh amarah oleh. “O, iya!“ jawab Sahudin dengan entengnya. Lagi-lagi dia menelusuri jalan dengan nyanyian khasnya. Sambil berjalan dia mencoba menutup telinga dan memicing-micingkan mata agar tidak ada satu orang pun yang menegurnya. Selain itu, agar dia tidak ada keinginan pula untuk menegur orang lain. Ternyata ini adalah usaha terakir Sahudin, akhirnya dia berhasil membawa pesanan mertuanya.
Setelah itu, Sahudin tidak ada kegiatan lagi, tidak ada pula pekerjaannya. Lagi-lagi dia duduk-duduk di rumah mendampingi anak dan istrinya sambil bermain-main. Padahal, itu pantang dilakukan oleh seorang suami di Gayo. Melihat keadaan itu, ibunya geram dan marah. “Hey, Aman Nipak, tidak perlu terus-terusan di jaga anak dan istrimu di persalinan, atau kamu juga ingin bersalin? Dengar ya, kalau memang tidak punya kerjaan, pergi cari bibit, tanami tanah lapang dan tanah yang rata itu,” Begitulah amarah mertuanya, ternyata cukup menggairahkan ingatannya.
Segeralah Sahudin pergi ke pasar membeli bibit jagung. Setelah itu, dia membawa berbagai peralatan menanam ke lapangan umum dan menanami jagung di sana. Orang-orang terkejut dan sontak bertanya, “ Sahudin, kenapa lapangan ini ditanami jagung?” Dengan simple Sahudin menjawab, “disuruh oleh mertuaku.”
Pernyataan semacam itu membuat orang-orang lebih terkejut lagi. Lebih-lebih ketika melihat Sahudin juga menanami jagung di jalan-jalan setapak, karena menurutnya itu tanah yang rata yang di sebutkan oleh mertuanya.
Mengetahui itu, mertua Sahudin marah besar. ‘’Dasar menantu bodoh, tidak becus apa-apa.’’ semua ucapan pun terlontar dari mulut mertuanya. Sahudin merasa bersalah dan akhirnya dia diam-diam saja. Melihat keadaan itu, mertuanya menjadi merasa tidak enak. Untuk memecahkan suasana tidak enak ini mertuanya meminta Sahudin untuk membeli garam. “Aman Nipak, tolong belikan garam untuk pakis dan talas.” Dengan perintah itu Sahudin kembali merasa dihargai lagi.
Dengan penuh semangat dia pergi membeli garam. Sesampai di pasar Sahudin membeli garam. Sepulang dari pasar, Sahudin kembali menelusuri jalan yang biasa. Di sepanjang jalan ada pakis dan talas yang tumbuh berjejer, karena merasa ingin membantu mertuanya dia langsung menaburkan garam pada talas dan pakis di sepanjang jalan. Al-hasil sesampai di rumah garam tinggal sedikit. Ibu mertuanya bertanya lagi, “Aman Nipak, kenapa garamnya tinggal sedikit?” dengan bangga Sahudin menjawab, Mak, tadi emak katakan garamnya untuk talas dan pakis. Nah, ketika pulang tadi, aku langsung memberi garam pada talas dan pakis, agar Emak tidak capek-capek lagi.” Mendengar jawaban itu, mertuanya hanya bisa mengelus dada.



Putri Bungsu (Aceh)


Ada sebuah cerita tentang dua orang putri, kakak beradik. Mereka tinggal di tengah hutan raya. Hal ini karena mereka tidak lagi mempunyai ayah dan ibu. Ketika kedua orang tua mereka masih ada, keluarga mereka termasuk sebuah keluarga yang bahagia dan rukun. Ketika itu pernah ibunya perpesan pada kedua anaknya. “Anakku, jangan biasakan hidup bermalas-malasan. Apalagi, kalau ada daging, jangan pernah membiarkan daging itu berlama-lama. Daging yang segar itu jika dibiarkan berlama-lama bisa hidup dan tumbuh menjadi setan gergaji. Dan gergaji itu akan memakan kita.”
Sekian lama waktu berselang, mereka sudah merasa nyaman hidup di hutan dengan makan seadanya. Tiba-tiba saja mereka mendapat kiriman daging dari kampung dan kedua putri ini meminta pengantar daging untuk meletakkan daging itu di depan pintu. Kemudian pengantar langsung pergi lagi. Kedua putri itu saling menolak untuk membersihkan dan memasak daging tersebut. Bahkan, untuk mengambil dari depan pintu saja mereka malas. Keduanya mengatakan sebentar lagi..sebentar lagi. Sedangkan daging sudah sangat lama di depan pintu. Mereka lupa dengan pesan ibu mereka.
Tiba-tiba saja secara perlahan daging itu tumbuh menjadi gergaji yang sangat besar, menyerupai raksasa. Kedua putri itu menjadi takut. Apalagi, ketika mendengar suara gergaji yang bergelegar saat berbicara pada mereka.
“Buka pintu! Buka pintu! Ini dia aroma Putri Bangsu,” kata gergaji.
Di tengah rasa takut, masih ada ide dari kedua putri itu. Mereka mencoba menyahut setiap kali Gergaji berbicara. Katanya “Sebentar Kakek Gergaji, sebentar lagi akan kubukakan pintu untukmu. Sabarlah, aku akan memasak nasimu terlebih dahulu.”
Menyahut lagi Gergaji, “Iya, aku ingin makan banyak. Masak yang banyak, ya?”
“Seberapa banyak Kakek, kira-kira satu bambu, cukup?” Putri bertanya lagi.
“Kalau segitu tidak cukup untuk tahi gigiku pun,” kata gergaji lagi dari balik pintu. Sambil bicara, Gergaji mendorong pintu terus menerus. Begitu juga dengan kedua putri tersebut, sambil berbicara mereka mencari akal untuk bisa melarikan diri. Ditanyanya lagi pada Gergaji. “Jadi, jika kumasak berapa banyak baru cukup kek, dua bambu cukup?”
“Segitu? Tidak cukup untuk sugiku pun,” sahut Gergaji.
Ketika itu, kedua putri sudah menemukan ide. Mereka memanggil kucingnya. “Cing! Cing! Cing!, kami akan pergi dari sini. Setelah kami pergi jauh tolong bukakan pintu untuk setan Gergaji yang ada di luar,” kata Putri pada kucingnya.
Sebelum pergi, kedua putri itu terlebih dahulu memasang ranjau di balik pintu. Ranjau itu dibuat dari kukuran kelapa. Kiranya, jika setan Gergaji masuk, akan terperangkap ranjau tersebut.
Singkat cerita, kedua putri itu pergi jauh, kucing pun membukakan pintu untuk setan Gergaji. Setelah itu, kucing langsung melompat dengan lincah. Setan Gergaji terperangkap di aras ranjau kukuran kelapa, karena dipikirnya kedua putri yang membukakan pintu untuknya.
“Rupanya bukan Putri Bungsu. Mana Putri Bungsu?” kata setan Gergaji sambil berjalan ke dapur. Dilihatnya juga tidak ada masakan apa-apa di dapur. Setan Gergaji memang lebih menyukai si Bungsu dari pada kakaknya.”Katanya tadi mau memasak nasi untukku, rupanya tidak ada nasi di sini,” ujar Gergaji lagi.
Kedua putri telah berlari jauh hingga ke tepian sungai. Di tepi sungai,, mereka bertemu dengan tukang Perahu. Kedua putri itu pun menyapanya. ”Abang-Abang tukang perahu, tolonglah kami. Tolong sembunyikan kami, karena kami sedang dikejar setan Gergaji.”
Abang tukang perahu menolong mereka. Keduanya disembunyikan ke bawah telungkup perahu buatannya. Sayagnya, bayangan keduanya memantul di dalam air. Sedangkan si Gergaji sudah tiba menyusul.
“Muh…! Ini bau Putri Bungsu. Abang-abang tukang perahu, apakah ada di sini Putri Bungsu? Di sini aku mencium ada aroma Putri Bungsu,” tanya setan Gergaji.
“Ada. Itu dia bersembunyi di dalam air, carilah ke situ,” kata tukang perahu pada Setan Gergaji sambil menunjuk bayangan Putri Bungsu di dalam air.
Setan Gergaji menyelam, tapi dia tidak berhasil menemukan putri. Yang ada, dia hanya kedinginan karena terlalu lama berada dalam air. Kemudian dia keluar dengan bibir bergetar, badan sudah menggigil, kedinginan. “Kenapa tidak ada? Padahal aku ada melihatnya di sana,” kata Gergaji pada Abang tukang perahu.
Karena melihat Gergaji kedinginan, Abang tukang perahu mulai menawarkan jasa. “Dingin ya, Kek?”
“I…i…ya,”
“Apa perlu selimut, Kek?” tanya tukang perahu lagi.
“Iya,” jawab Gergaji singkat.
Kemudian Abang tukang perahu menyelimuti Gergaji dengan ijuk yang sangat tebal. Ia bertanya lagi, “ Apa masih dingin juga, Kek?”
“I…i…ya.” jawab gergaji lagi, dengan mulut bergetar.
“Apa perlu saya nyalakan api, Kek?” tanya tukang perahu lagi.
“I..i..ya.”
Kemudian tukang perahu menyalakan api pada ijuk yang ada di badan Gergaji hingga Geraji terbakar.
“Apa sudah terasa hangat, Kek?” tanya tukang perahu lagi.
“Sedikit.”
Tukang perahu menyulut api semakin besar hingga akhirnya Gergaji terbakar sampai menjadi arang. Tapi Gergaji masih bisa bicara. Sampai arangnya digiling dia masih tetap bicara.” Yah, ini dia bau Putri Bungsu.” katanya. Padahal, dia sudah mati.
“Dik, sekarang setan Gergajinya sudah mati. Kalian berdua sudah boleh pergi. Memangnya kalian mau kemana?” tanya tukang perahu pada kedua putri.
“ Abang tukang perahu, kami ini anak yatim piatu, tidak punya apa-apa. Mau pergi ke mana juga kami belum tahu,” kata Putri yang lebih tua. “Kami pernah mendapat amanah dari ibu, kami tidak boleh berpisah. Jika memang harus terpisah, kami sudah dilengkapi dengan perlengkapan dan bekal masing-masing. Satu ke langit ke Bujang Jere, satu ke Hilir ke Malim Dewa.”
Karena kasihan, tukang perahu memberikan sebuah perahu pada keduanya. Memang, mereka mempunyai perhiasan lengkap. Gelang emas, kalung, sanggul, dan baju yang cantik pula. Layaknya pengantin di atas pelaminan. Mereka memang seorang putri yang akan segera berjodoh. Jodoh si sulung di langit, Bujang Jere, sedangkan si bungsu berjodoh di Hilir, dengan Malim Dewa.
Adiknya mempunyai watak yang keras kepala, ingin menang sendiri karena masih ada lengket sifat manja. Akhirnya, mereka diberikan perahu oleh abang tukang perahu. Tinggallah mereka di sana. Mereka hanyut bersama perahu.
Dalam perahu itu ada sebuah jambu kelutuk yang besar dan terlihat sangat lezat. Putri yang tertua sedang tertidur. Buah itu ditemukan oleh putri bungsu. Pada awalnya putri yang bungsu sudah membelah buah tersebut dengan niat untuk membagi pada kakaknya. Tapi, ternyata buah itu memang sangat lezat, akhirnya dia lupa meninggalkan untuk kakaknya.
Seketika kakaknya bangun tidur dan melihat ada bekas makanan di mulut adiknya. Kakanya bertanya, “ Adik, baru makan apa?”
Adiknya. “Aku tidak memakan apa-apa, Kak.”
Mendengar jawaban adiknya, si kakak sangat kecewa karena kebohongan itu menunjukkan adiknya tidak setia pada kakaknya. Hal ini membuat kakaknya menjadi sedih. Hingga kakaknya mengutarakan niat untuk berpisah pada adiknya.
“Adikku, mulai saat ini lebih baik kita berpisah. Kamu telah membohongi kakak. Aku ke langit, ke Bujang Jere, kamu ke Hilir ke Malim Dewa” katanya.
Dengan sedih dan penuh penyesalan, adiknya harus menerima keputusan si kakak. Karena memang dia yang salah. Pesan kakaknya, “Adikku, jika aku sudah terbang, jangan panggil lagi. Karena aku takut pintu langit akan tertutup dan aku tidak dapat pergi.” Setelah itu, kakaknya langsung terbang. Adiknya menangis sedih.
Tidak tahan berpisah dari kakanya, adiknya mulai memanggil-manggil kakaknya. Ia memanggil di kakak sambil meratap. “Kakakku pulanglah, gelang emasku terjatuh, tolong ambilkan.”
Mendengar adiknya memanggil, si kakak berbalik lagi untuk memasangkan gelang adiknya. Tapi setelah itu kakaknya terbang lagi, sambil kembali berpesan, “ Adik, jangan lagi panggil kakak, karena sebentar lagi pintu langit akan tertutup.”
Sebentar kakaknya terbang, adiknya menangis lagi. “Kakak, kakakku, pulanglah, pulang, kalung emasku dan sanggulku terjatuh, tolong dirapikan lagi.”
Sesaat setelah itu, kakaknya datang lagi dan membenarkan semua perlengkapan adiknya. Kemudian dengan cepat dia pergi lagi, tak lupa kakaknya berpesan untuk tidak memanggilnya lagi. Satu pesan terakir dia, ”Adik, jika nanti engkau berperahu ke hilir, jangan berhenti di bawah pohon gele, itu tempat Tuntung Kapur yang jahat. Biarpun cuaca panas dan kamu benar-benar capek, jangan sesekali kamu berhenti di tempat itu.”
“Iya,” jawab adiknya.
Sesaat kakaknya terbang, lagi-lagi adiknya menangis dan memanggil lagi, tapi kali ini kakaknya menutup rapat kupingnya agar tidak mendengar tangisan adiknya. Setelah itu, kakaknya tidak kembali lagi. Adiknya hanya menangis dan menyesali perbuatannya yang telah membuat kakaknya marah. Bungsu terus menangis. Di dayungnya perahunya dengan elegi tangisan. ”So…so…perahu berdeso. Kakakku ke langit ke Bujang Jere, aku ke hilir ke Malim Dewa.”
Perahunya terus berjalan. Tiba-tiba sampailah putri bungsu pada pohon gele, “Wah, berteduh di bawah pohon ini sejuk sekali,” batin Putri Bungsu. Hingga akhirnya dia lalai dan bermain-main di situ. Putri bungsu mengikat perahunya dan dia memanjat pohon yang lagi berbuah. Dia betul-betul dilalaikan oleh suasana yang indah dan buah-buah pohon yang lezat.
Di rumah Tuntung Kapur, Tuntung Kapur disuruh ayahnya mengambil air ke telaga yang berada di pinggiran sungai, tepat berada di bawah pohon yang di panjat oleh Putri Bungsu.
“Nak, tolong ambilkan air,” perintah ayahnya.
Tuntung Kapur malah menjawab dengan makian untuk ayahnya. ”Aduh, Ayah ini kurang ajar sekali, masa aku yang cantik disuruh-suruh mengambil air,” katanya.
Tuntung Kapur sangat terkenal jahat, miskin, malas, sombong, dan segala sifat jahat melekat padanya. Tuntung Kapur terus membantah. Namun, akhirnya dia mau juga mengambil air setelah berulang kali diperintahkan ayahnya.
Dengan sebuah labu di tangannya, dia berangkat ke telaga. Sampai ke telaga, dia melihat bayangan yang sangat cantik. Dia berpikir kalau itu adalah bayangan wajahnya. Padahal, itu adalah bayangan Putri Bungsu yang berada di atas pohon. Melihat bayangan yang sangat cantik, Tuntung Kapur langsung memecahkan labu yang dibawanya. Lagi-lagi ia memaki-maki ayahnya yang telah menyuruhnya mengambilkan air ke telaga. Dalam hatinya, orang yang cantik seperti dia seharusnya tidak patut disuruh-suruh. Tuntung Kapur pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Tuntung Kapur ditanyai oleh ayahnya. ”Mana airnya?”
Tuntung Kapur menjawab dengan berbohong. “Ayah, aku tidak membawa air karena aku dikejar kuda dan labu yang kubawa tadi sudah pecah,” kata Tuntung Kapur.
Ayahnya memberi labu yang baru dan menyuruh Tuntung Kapur mengambil air lagi. Sesampai di telaga, Tuntung Kapur tidak langsung pulang, dia lalai melihat bayangan wajah cantik yang ada dalam telaga dan dia masih berpikir kalau itu adalah bayangan wjahnya. Akhirnya, labu kedua juga dipecahkan oleh Tuntung Kapur. Kemudian, dia pulang dan memberikan alasan yang sama pada ayahnya.
Ayahnya menyuruh lagi mengambil air, tapi kali ini ayahnya memberikan labu yang terbuat dari kulit yang anti pecah. Kejadian tidak jauh berbeda. Sesampai di telaga, Tuntung Kapur hanya memandangi bayangan yang ada dalam air, kemudian timbul lagi kebencian pada ayahnya. Tuntung Kapur kembali ingin memecahkan labu yang dibawanya. Diambilnya batu dan labu pun diketok. Tapi tidak berhasil. Berkali-kali diketok, tetap juga tidak berhasil. Sampai dia capek dan tidak berdaya lagi.
Melihat kejadian itu, sontak putri yang ada di atas pohon tertawa terkikik-kikik. Gara-gara itu pula, Tuntung Kapur mengetahui keberadaan putri di atas pohon.
Saat Tuntung Kapur melihat, ”Ternyata ada putri cantik. Turunlah putri. Ayo, Turunlah agar kita bisa mandi bersama-sama di sungai. Aku punya sampo jeruk purut kasturi, taik ayam taik biri,” kata Tuntung Kapur pada Putri.
Namun, putri belum juga mau turun. Tuntung Kapur memaksa. ”Turunlah Putri, kalau putri tidak mau, kucubit sampai kulit-kulit putri terkoyak,” ancam Tuntung Kapur. Karena takut dengan ancaman Tutung Kapur, putri pun akhirnya turun.
“Putri, ayo kita mandi, memakai sampo dan kita lomba menyelam. Ayo, Putri harus cepat-cepat membuka baju melepas semua perhiasan dan turun duluan ke sungai. Setelah putri menyelam aku akan menyusul,” kata Tutung Kapur.
Dengan lugunya, putri langsung melepas semua perhiasan dan menceburkan diri ke dalam sungai. Selain itu, putri juga menyelam dengan sangat lama, berharap ia akan menjadi pemenang. Sedangkan Tuntung Kapur ternyata tidak mandi. Tuntung Kapur memakai semua pakaian dan perhiasan milik putri. Ketika putri selesai menyelam, Tuntung Kapur telah siap dengan perlengkapan milik putri. Melihat itu, putri sedih. Dia baru teringat pesan kakaknya.
”Putri, bajunya aku pinjam, ya? Sepertinya aku cantik memakai baju milik Putri,” kata Tutung Kapur.
“Tapi baju untukku mana, aku tidak punya baju yang lain.”
“Putri pakai saja bajuku, kita tukaran sebentar, ya.”
Baju milik Tuntung Kapur adalah baju yang sangat jelek, seperti jala ikan yang sudah terkoyak-koyak. Sedangkan baju putri adalah baju yang bersulam emas. Putri menangis, menyesali dirinya yang tidak mau mendengar nasihat kakaknya.
“Ih, Putri, jangan menangis. Kenapa harus menangis, aku hanya meminjam sebentar. Putri lucu ya,” Tuntung Kapur merayu.
Dengan girang, kemudian Tuntung Kapur berlari pulang, memamerkan kecantikan baju yang dia pakai pada ayah dan ibunya. “ Ayah, aku mau pergi ke hilir bersama dengan temanku. Dia datang khusus untuk menjemputku dari jauh,” kata Tutung Kapur. Ia berniat mengikuti putri ke mana tujuannya.
Sekembalinya ke sungai, Tutung Kapur melihat putri masih menangis sambil meminta bajunya. “Kembalikan bajuku,” pinta Putri.
Tapi Tuntung Kapur malah tidak peduli dengan permintaan putri. Lagi-lagi dia mengancam. “Putri, aku sudah bilang mau pinjam sebentar. Kalau memang putri tidak memberi, biar kucubit sampai terkoyak kulit putri.”
Mendengar ancaman itu, putri hanya diam. Tuntung Kapur lalu mengajak putri untuk cepat-cepat naik ke atas perahu agar bisa lebih cepat meninggalkan tempat itu. Sesampai di atas perahu, perahu tidak bergerak sedikit pun. Tuntung Kapur jadi heran.
“Putri, bagaimana caranya? Ayo cepat, ajari aku. Setelah aku bisa nanti, aku akan membawa sendiri perahu ini,” katanya.
Putri menangis lagi, sambil dia bernyanyi. ”So…so…perahu berdeso, Kakakku ke langit ke Bujang Jere, aku ke hilir ke Malim Dewa.”
Sesaat perahu pun berlaju. Kemudian Tuntung Kapur juga ikut bernyanyi, menyanyikan lagu yang sama. Akibatnya, perahu berhenti dan tidak bergerak lagi. Dengan kejadian itu, Tuntung Kapur sepanjang perjalanan hanya diam saja.
Sesampai ke hilir, kabar kedatangan Putri Bungsu ternyata sudah tersebar ke seluruh penjuru, hingga beramai-ramai masyarakat menungguinya di pemberhentian. Setiap orang ingin melihat langsung Putri Bungsu yang sudah terkenal kecantikannya. Sedangkan Tuntung Kapur tidak mau lagi mengganti baju dan segala perhiasan milik Putri Bungsu masih tetap dikenakannya.
Tibalah Tuntung Kapur dan Putri Bungsu di kampung yang dituju. Malim Dewa sang pangeran pun sudah siap menunggu. Tapi kenyataan menjadi berbeda, Tuntung Kapur malah mengaku menjadi Putri Bungsu. Putri sendiri dikatakan hanya sebagai pesuruhnya. Sedangkan Putri Bungsu tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya menangis mengingat dirinya yang tidak patuh pada nasihat kakaknya.
Malim Dewa punya inisiatif baik, ia juga membawa Putri Bungsu ke istana, sekalian dengan Tuntung Kapur. Sesampai di istana, pesta besar pun digelar. Tuntung Kapur menikah dengan Malim Dewa. setelah menikah, Malim Dewa belum juga tahu bahwa yang dinikahinya bukan Putri Bungsu yang sebenarnya. Putri yang sebenarnya hanya dijadikan sebagai pesuruh.
Seminggu berselang, kerabat sudah mulai pulang, rumah Malim Dewa menjadi sepi. Malim Dewa meminta istrinya memasak seekor ayam. Dasar Tuntung Kapur yang tidak pernah bekerja dan tidak pernah memasak ayam, malah yang dimasaknya adalah bulu-bulu ayam, sedangkan daging ayamnya dilempar ke luar, diberikannya pada Putri Bungsu. Kemudian Putri Bungsu memasak daging ayam dan merasa senang karena bisa makan enak. Saat masakan putri bungsu mendidih, masakannya bisa berbicara. “Dek-dek kuali, raja menjadikan Tuntung Kapur sebagai istri… Putri Bungsu jadi pembantu,” begitulah ucapan-ucapan yang keluar dari masakan Putri Bungsu.
Mendengar itu, Tuntung Kapur naik pitam. Dia meminta suaminya untuk membuang pembantunya itu ke tengah hutan. Kemudian semua masyarakat dikumpulkan untuk mengarak Putri Bungsu ke hutan. Sesampai di hutan, putri Bungsu dibuang. Setelah semua orang pergi, putri menangis tiada henti sambil meratap dan menceritakan segala kisah hidupnya.
“Alahai nasibku yang tidak sama dengan orang, anak tiada, ibu pun tiada, berbapak pun tidak. Hidup berdua dengan kakak yang aku sayangi, tapi ia telah pergi meninggalkan aku. Kakakku pergi ke langit ke Bujang Jere, aku ke hilir ke Malim Dewa.”
Di sela-sela ratapannya, air matanya terus mengalir, terhimpun segala kesedihan, Putri Bungsu menangis terisak-isak. “Sampai ke hilir, aku bertemu Tuntung Kapur yang merampas kain bajuku, yang merampas emas perakku. Aku dijadikan anak tangga rumah mereka. Ala hai nasib, kini tanpa kesalahan apa pun aku dibuang ke tengah hutan. Aku dijadikan makanan dari segala binatang di hutan ini,” putri terus menangis sambil berdendang.
Tiba-tiba ada harimau ke luar dari hutan merasa iba dengan tangisan Putri Bungsu. “Jangan menangis lagi Putri, aku tidak akan mengganggumu. Sekarang katakan apa yang kau sedihkan, siapa tahu aku bisa membantu,” kata harimau.
“Hidupku berbeda dengan orang lain. Aku hanya sendiri, tidak ada rumah, tidak ada saudara, bagaimana aku hidup di bawah pohon?”
“Jangan menangis Putri, aku akan memanggil semua kawan-kawanku,” sahut harimau.
Tiba-tiba segala binatang yang ada di hutan berkumpul, gajah, monyet, babi, rusa. Berkata gajah, ”Jangan menangis lagi Putri Bungsu, kami akan membuat rumahmu.”
Kemudian dengan secepat kilat binatang-binatang tersebut telah siap membuat sebuah rumah untuk Putri Bungsu di atas pohon dengan mahligai yang sangat indah. Kemudian putri terharu dan menangis lagi. Lagi-lagi dia berfikir bagaimana dia makan. Jika tidak ada makanan, sia-sia saja dia punya rumah.
Babi mendengar tangisan itu. “Jangan menangis Putri Bungsu. Kami akan menyediakan usaha untukmu,” kata babi.
Tiba-tiba binatang-binatang itu menggarap tanah. Babi dengan tikus membawakan biji-bijian untuk ditanam. Akhirnya siaplah sebuah kebun dengan beraneka ragam isinya, padi, labu, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran.
Lama waktu berselang, hingga padi-padi mulai berbunga. Tiba-tiba datang masyarakat kampung melintasi hutan dengan niat berburu, karena berburu adalah hal yang paling disenangi Malim Dewa. Sungguh terkejut mereka melihat di tengah hutan ada sebuah kebun dengan tanaman yang sangat lengkap.
Sesampainya di hutan, anjing-anjing pemburu yang dibawa tidak tangkas lagi. Semuanya hanya bisa duduk, menggonggong, dan berjalan berkeliling di sekitar rumah Putri Bungsu. Malim Dewa semakin heran, tidak pernah ada kejadian serupa ini. Anjing-anjing mereka adalah anjing terbaik. Tak berlama di situ, akhirnya mereka pulang. Tapi ada hal yang mengejutkan lagi, anjing-anjing pemburu milik Malim Dewa tidak pulang. Dia berdiam di dekat tempat tinggal Putri Bungsu.
Besoknya, Malim Dewa punya inisiatif untuk menjemput anjing pemburunya ke hutan. Takut-takut jika anjingnya dimakan harumau. Ternyata tidak. Anjing Malim Dewa masih ada tepat di bawah rumah Putri Bungsu. Anjing itu kemudian dibawa pulang. Namun, anjing malah ingin kembali lagi ke hutan. Dengan alasan itu, akhirnya Malim Dewa keluar masuk hutan berkali-kali. Dan berkali-kali itu pula dia melihat ada sebuah rumah di atas pohon dengan mahligai indah. Akhirnya, dia teringat pernah mengantar pesuruhnya ke hutan ini. Jangan-jangan itulah orang yang diantarnya dulu. Malim Dewa mulai curiga.
Tiba-tiba dari atas rumah terdengar suara tenun. Malim Dewa mendengar dengan teliti suara-suara tenun itu. Hingga akhirnya dia yakin bahwa yang berada di atas pohon itu adalah manusia. Putri Bungsu demikian pula, dia tahu beberapa hari ini Malim Dewa berada di sekitar rumahnya.
Padi-padi yang mulai menguning mulai didatangi burung-burung. Dari atas rumahnya, Putri Bungsu menghalau burung dengan nyanyian. “O yayayo, suara burung, jangan dimakan pulut lengkawi untuk lepat dan tumpi, hajat niat habis panen ini.”
Nyanyiannya diselingi dengan ketukan tenun yang dimainkannya, hingga bagai ada alunan musik. Tanpa sadar, Malim Dewa sudah berada sangat lama hanya untuk sekedar mendengar nyanyian Putri Bungsu. Dia lupa pulang.
Akhirnya dia sadar, baru dia pulang ke kampung. Tapi sesampainya di kampung, dia kembali mengajak masyarakat kampung untuk berburu rusa putih ke hutan, sebagai obat penyubur rahim istrinya. Memang itulah permintaan istrinya. Masyarakat patuh. Berbondong-bondong masyarakat ikut ke hutan mencari rusa putih yang diperintahkan oleh Malim Dewa, sedangkan Malim Dewa langsung menuju pelataran rumah Putri Bungsu. Malim Dewa semakin berpikir tentang seseorang yang ada di atas pohon. Akhirnya ia tanyakan pada teman dekatnya. “Teman, coba lihat rumah yang ada di atas pohon itu, menurutmu itu manusia biasa atau bukan? Jika manusia, mengapa rumahnya di atas pohon tanpa ada tangga dan dia hidup sendiri. Jika memang bukan manusia, aku mendengarnya menyanyi, menenun, dan dia punya kebun-kebun dan sawah-sawah.”
Terdengar lagi suara Putri Bungsu bernyanyi dari atas rumahnya, sambil menghalau burung-burung padi. Nyanyian itu diselingi dengan suara burung yang berkicau, berdialog dengan Putri Bungsu. “Tik, tik, tik, jangan takut hai Putri Bungsu, aku tidak memakan biji padimu, aku hanya minum di kelopaknya, aku bermain-main di tangkainya.”
Putri menyahut, ”Beras pulut itu untuk lepat dan tumpi hajat niat habis panen ini.”
Malim Dewa semakin penasaran. Dia minta seorang temannya untuk mencari tahu tetang orang di atas pohon. Temannya pun melaksanakan. “Hai, siapa pun yang ada di atas sana, aku ingin berbicara denganmu. Bolehkah aku naik k e atas rumahmu?” kata teman Malim Diwa.
“Kalau memang mau naik, naik saja. Tapi bilang, kamu datang dengan siapa?” sahut suara di atas pohon.
“Aku mau naik sendiri saja, karena aku datang hanya sendiri. Boleh aku naik, apa kamu hanya sendiri?”
“Naiklah, aku hanya sendiri di sini, tidak ada suami dan tidak ada sesiapa.”
“Bagaimana aku bisa naiki rumahmu, sedang aku tidak melihat ada tangga di sini,” jawab teman Malim Diwa lagi.
“Itu ada tangga di dekatmu, naiklah.”
“Aku tidak melihatnya, di mana?”
Setelah berbicara seperti itu, barulah terlihat ada tangga yang sangat tinggi. Ternyata tangganya bukan sembarang tangga. Tangganya tidak bisa dilihat oleh orang biasa, kecuali atas izin Putri Bungsu.
“Aku ingin naik satu anak tangga saja.”
”Naiklah.”
Pertama memang satu anak tangga yang dinaiki oleh teman Malim Dewa, tapi kemudian menjadi dua, tiga dan akhirnya sampai ke atas. Akhirnya, dia duduk di atas rumah putri dengan menggantung kakinya di pintu rumah. “Kamu siapa, mengapa hidup sendiri di tengah hutan seperti ini?” tanya teman Malim Diwa.
“Nasibku tidak sama seperti orang lain. Aku anak yatim piatu, tak ada ayah tak ada ibu. Dulu aku hidup berdua dengan kakakku. Tapi sekarang kami berpisah. Kakakku ke langit ke Bujang Jere, aku Ke Hilir ke Malim Dewa. Di perjalanan, aku tidak mendengar nasihat kakakku dan aku bertemu dengan Tuntung Kapur yang jahat. Dia merampas segala pakaianku, emas pirakku. Jadinya, Tuntung Kapur yang jahat yang dipersunting oleh Raja Malim Dewa, aku hanya dijadikan sebagai pesuruh, duduk dijadikan anak tangga. Tanpa kesalahan apa pun aku dibuang ke hutan, hanya Tuhan yang telah memberi pertolongan padaku,” kata Putri Bungsi bercerita.
“Aku ingin jujur, aku adalah pesuruh Malim Dewa yang diminta untuk mencari tahu keberadaanmu di sini wahai Putri Bungsu. Sekarang kami diperintahkan mencari rusa putih oleh raja, sebagai obat istrinya.”
”Bagus itu. Aku tidak pernah minta apa pun seumur hidupku, kecuali yang aku inginkan satu hal, yaitu aku ingin Tuntung Kapur mengembalikan semua milikku. Bawa pula jeruk nipis dan cabe yang telah digiling ke dalam satu toples yang besar, hanya itu saja. Kalau masih ada Tuntung Kapur, aku tidak akan pulang lagi ke kampung.”
Setelah berdialog cukup lama, teman Malim Dewa kembali membawa kabar tentang keberadaan orang di atas pohon. Setelah semua cerita tersampaikan, Malim Dewa jadi terkejut. Mereka bersama-sama pulang kampung.
Keesokan harinya, Malim Dewa datang lagi ke hutan. Kali ini dia datang dengan membawa barang-barang yang dipesan oleh Putri Bungsu. Sekaligus membawa Tuntung Kapur. Pada Tuntung Kapur, Malim Dewa sedikit berbohong. Malim Dewa mengatakan, rusa putih telah ditemukan dan hanya Tuntung Kapur saja yang bisa menjinakkannya. Berangkatlah Malim Dewa beserta masyarakat dan istrinya ke hutan.
Sesampainya di hutan, teman Malim Dewa naik terlebih dahulu dan berkata, “Putri kami telah membawa pesananmu yang kemarin.”
“Kalau memag Tuntung Kapur datang, aku ingin membalaskan dendamku padanya,” kata Putri Bungsu.
Putri bungsu pun dipertemuka dengan Tuntung Kapur disaksikan oleh masyarakat dan Malim Dewa. Kemudian putri mengambil kembali segala harta miliknya yang dipakai oleh Tuntung Kapur. Setelah semua terlepas, Putri Bungsu kemudian mengiris-iris daging Tuntung Kapur dan memasukkan dagingnya ke dalam toples cabe dan jeruk nipis, hingga sampai habis daging Tuntung Kapur dipotong-potong oleh Putri Bungsu. Kemudian toples yang sudah berisi daging itu dikirimkan pada kedua orang tua Tuntung Kapur.
Saat melihat daging Tuntung Kapur, kedua orang tuanya pingsan hingga meninggal di tempat. Akhirnya, Malim Dewa dan Putri Bungsu menikah. Pesta meriah terlaksana hingga akhirnya mereka hidup bahagia.

Hikayat Cabe Rawit (Aceh)

Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan seperti pagar sangkar puyuh. Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada lantai semen atau papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan dipadatkan. Di sana tikar anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan istirahat keluarga tersebut.
Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah.
“Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”
“Entahlah, suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu beribadah dan memohon kepada Tuhan agar nasib kita ini dapat berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa Tuhan terlalu membenci kita karena kita miskin?” keluh sang istri pula. Matanya bercahaya di bawah sinar lampu panyot tanda berusaha menahan tangis.
Malam itu, seusai tahajud, suami-istri tersebut kembali berdoa kepada Tuhan. Keduanya memohon agar dianugerahkan seorang anak. Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan sumpah, “Kalau aku diberi anak, sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat dengan kasih sayang.” Entah sadar atau tidak pula, si istri pun mengamini doa suaminya.
Beberapa minggu kemudian, si istri mulai merasakan sakit diperutnya. Keduanya tak pernah curiga kalau sakit yang dialami si istri adalah sakit orang mengandung. Tak ada ciri-ciri kalau perut istri sedang mengandung. Si istri hanya merasa sakit dalam perut. Sesekali, ia memang merasakan mual.
Waktu terus berjalan. Bulan berganti bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri merasakan sakit dalam perutnya teramat sangat. Bukan main gelisahnya kedua suami-istri tersebut. Hendak pergi berobat, tak tahu harus pergi ke mana dan pakai apa. Tak ada sepeserpun uang tersimpan. Namun, kegelisahan itu tiba-tiba berubah suka tatkala ternyata istrinya melahirkan seorang anak. Senyum sejenak mengambang di wajah keduanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu, ternyata tubuh anak yang baru saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.
“Sudahlah istriku, betapa pun dan bagaimana pun keadaannya, anak ini adalah anak kita. Ingatkah kau setahun lalu, saat kita berdoa bersama bahwa kita bersedia merawat anak kita kelak kalau memang Tuhan berkenan, walaupun sebesar cabe rawit?” hibur sang suami. Keduanya lalu tersenyum kembali dan menyadari sudah menjadi ibu dan ayah.
Singkat cerita, si anak pun dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati sudah berumur remaja, tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan keluarganya, sang ayah bekerja mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut dagangan orang untuk mendapatkan sedikit bekal makanan yang akan mereka nikmati bersama.
Sahdan, suatu ketika si ayah jatuh sakit, tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan si ibu, tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga itu sejak kehilangan sang ayah. Kerja si ibu pun hanya menangis. Tak tahan melihat keadaan orangtuanya, si anak yang diberi nama cabe rawit karena tubuhnya memang kecil seperti cabe, berkata pada ibunnya, “Ibu aku akan ke pasar. Aku akan bekerja menggantikan ayah.”
“Jangan anakku, nanti kalau kau terpijak orang, bagaimana? Ibu tak mau terjadi apa-apa pada dirimu,” sahut ibunya.
“Sudahlah, Ibu, yakinlah aku tak kan apa-apa. Aku pasti bisa. Aku kan sudah besar.”
“Anakku, kau satu-satunya harta yang tersisa di rumah ini. Kau satu-satunya milik ibu sekarang. Ibu tak mau kehilangan dirimu,” kata ibu lagi.
“Aku akan mencoba dahulu, Bu. Dengan doa ibu, yakinlah kalau aku tidak akan apa-apa. Nanti, kalau memang aku tidak bisa bekerja, aku akan pulang. Tapi, izinkan aku mencobanya dahulu, Ibu,” bujuk cabe rawit berusaha meyakinkan ibunya.
Cabai rawit terus mendesak ibunya agar diizinkan bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu pun akhirnya memberikan izin kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar tanpa bekal apa pun.
Belum sampai ke pasar, di perempatan jalan, melintaslah seorang pedagang pisang. Raga pisang pedagang itu nyaris saja menyentuh cabe rawit. “Mugè pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini,” kata cabe rawit.
Spontan pedagang pisang menghentikan langkahnya. Ia melihat ke belakang, lalu ke samping, tapi tak dilihatnya seorang pun manusia.
“Mugè pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini.” Terdengar kembali suara serupa di telinga pedagang pisang. Ia kembali melihat ke belakang dan ke samping. Tapi, tetap tak ditemukannya sesosok manusia pun. Sampai tiga kali ia mendengar suara dan kalimat yang sama, mugè pisang merasa ketakutan. Akhirnya, dia berlari meninggalkan pisang dagangannya. Ia mengira ada makhluk halus. Padahal, si cabe rawit yang sedang bicara. Karena tubuhnya yang mungil, pedagang pisang itu tidak melihat keberadaan cabe rawit di sana.
Sepeninggalan mugè pisang, pulanglah cabe rawit membawa pisang yang sudah ditinggalkan mugè itu. Sesampainya di rumah, si ibu heran melihat anaknya membawa pisang. “Darimana kau dapatkan pisang-pisang ini, Rawit?” tanya si ibu.
Cabe rawit menceritakan kejadian di jalan sebelum ia sempat sampai ke pasar. “Daripada diambil orang atau dimakan kambing, aku bawa pulang saja pisang-pisang ini, Bu,” katanya.
Keesokan harinya, si cabe rawit kembali minta izn untuk ke pasar. Namun, di tengah jalan, lewatlah pedagang beras dengan sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris mendahului si cabe rawit, ia mendengar sebuah suara. “Hati-hati sedikit pedagang beras, jangan sampai ban sepedamu menggilas tubuhku yang kecil ini. Ibuku pasti menangis nanti,” kata sara itu.
Berhentilah pedagang beras tersebut karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak didapatinya seorang manusia pun. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah mendengar suara tersebut berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari pontang-panting ketakutan. Ia mengira ada makhluk halus yang sedang mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang tidak kelihatan karena tubuhnya yang teramat mungil.
Sepeninggalan pedagang beras, cabe rawit
Keesokan harinya, hal serupa kembali terjadi. Ketika cabe rawit hendak ke pasar, di pertengahan jalan, ia bertemu dengan pedagang ikan. Pedagang ikan itu juga ketakutan saat mendengar ada suara yang menyapanya. Ia lari lintang pukang meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka pulanglah cabe rawit sembari membawa beberapa ikan semampu ia papah. “Tadi pedagang ikan itu tiba-tiba lari meninggalkan ikan-ikannya. Kita kan sudah lama tidak makan ikan. Aku bawa pulang saja ikan-ikan ini sedikit daripada habis dimakan kucing,” kata cabe rawit kepada ibunya saa sang ibu bertanya darimana ia mendapatkan ikan.
Begitulah hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di perempatan atau pertengahan jalan, dia berpapasan dengan para pedagang. Hatta, keluarga yang dulunya miskin dan jarang makan enak itu menjadi hidup berlimpah harta. Pedagang beras akan meninggalkan berasnya di jalan saat mendengar suara cabe rawit. Pedagang pakaian meninggalkan pakaian dagangannya, pedagang emas pun pernah melakukan hal itu. Heranlah orang-orang sekampung melihat si janda miskin menjadi hidup bergelimang harta.
Orang-orang kampung pun mulai curiga. Didatangilah rumah janda miskin tersebut. “Bagaimana mungkin kau tiba-tiba hidup menjadi kaya sedangkan kami semua tahu, kau tidak memiliki siapa-siapa. Suami pun sudah meniggal,” kata kepala kampung.
Si janda hanya diam. Kepala kampung mengulangi pertanyaanya lagi. Namun, di janda tetap bungkam. Karena kepala kampung dan orang-orang kampung di rumah itu sudah mulai marah, terdengarlan suara dari balik pintu. “Tolong jangan ganggu ibuku. Kalau kepala kampung mau marah, marahilah aku. Kalau kepala kampung mau memukul, pukullah aku,” kata suara tersebut.
Kepala kampung dan orang-orang yang ada di rumah tersebut terkejut mendengar suara itu. Beberapa kali suara itu terdengar dari arah yang sama, dari belakang pintu. Salah seorang penduduk melihat ke sebalik pintu. Namun, tak dijumpainya seorang pun di sana. Sedangkan saat itu, suara yang sama kembali terdengar. “Kalau kalian mau marah, marahilah aku. Kalau kalian mau memukul, pukullah aku,” kata suara itu yang tak lain dan tak bukan adalah milik cabe rawit.
Singkat cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari seorang manusia yang sangat kecil, sebesar cabe. Suasana berubah menjadi tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang sumpah yang pernah ia lafalkan dengan sang suami tentang keinginan punya anak walau sebesar cabe pun. Mahfumlah kepala kampung dan penduduk di sana. Akhirnya, para penduduk sepakat membangun sebuah rumah lebih bagus untuk di janda bersama anaknya. Hidup makmurlah keluarga cabe rawit. Ia tidak lagi harus pergi ke pasar sehingga membuat orang-orang takut. Akan tetapi, setiap penduduk berkenan memberikan keluarga cabe rawit apa pun setiap hari. Ada yang memberikan beras, garam, pakaian, dan sebagainya.

Semangka Emas


Pada zaman dahulu kala, di Sambas hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Saudagar tersebut mempunyai dua orang anak laki-laki. Anaknya yang sulung bernama Muzakir, dan yang bungsu bernama Dermawan. Muzakir sangat loba dan kikir. Setiap hari kerjanya hanya mengumpulkan uang saja. Ia tidak perduli kepada orang-orang miskin. Sebaliknya Dermawan sangat berbeda tingkah lakunya. Ia tidak rakus dengan uang dan selalu bersedekah kepada fakir miskin.

Sebelum meninggal, saudagar tersebut membagi hartanya sama rata kepada kedua anaknya. Maksudnya agar anak-anaknya tidak berbantah dan saling iri, terutama bila ia telah meninggal kelak.

Muzakir langsung membeli peti besi. Uang bagiannya dimasukkan ke dalam peti tersebut, lalu dikuncinya. Bila ada orang miskin datang, bukannnya ia memberi sedekah, melainkan ia tertawa terbahak-bahak melihat orang miskin yang pincang, buta dan lumpuh itu. Bila orang miskin itu tidak mau pergi dari rumahnya, Muzakir memanggil orang gajiannya untuk mengusirnya. Orang-orang miskin kemudian berduyun-duyun datang ke rumah Dermawan.

Dermawan selalu menyambut orang-orang miskin dengan senang hati. Mereka dijamunya makan dan diberi uang karena ia merasa iba melihat orang miskin dan melarat. Lama kelamaan uang Dermawan habis dan ia tidak sanggup lagi membiayai rumahnya yang besar. Ia pun pindah ke rumah yang lebih kecil dan harus bekerja. Gajinya tidak seberapa, sekedar cukup makan saja. Tetapi ia sudah merasa senang dengan hidupnya yang demikian. Muzakir tertawa terbahak-bahak mendengar berita Dermawan yang dianggapnya bodoh itu. Muzakir telah membeli rumah yang lebih bagus dan kebun kelapa yang luas. Tetapi Dermawan tidak menghiraukan tingkah laku abangnya.

Suatu hari Dermawan duduk-duduk melepaskan lelah di pekarangan rumahnya. Tiba-tiba jatuhlah seekor burung pipit di hadapannya. Burung itu mencicit-cicit kesakitan “Kasihan,” kata Dermawan. “Sayapmu patah, ya?” lanjut Dermawan seolah-olah ia berbicara dengan burung pipit itu. Ditangkapnya burung tersebut, lalau diperiksanya sayapnya. Benar saja, sayap burung itu patah. “Biar kucoba mengobatimu,” katanya. Setelah diobatinya lalu sayap burung itu dibalutnya perlahan-lahan. Kemudian diambilnya beras. Burung pipit itu diberinya makan.


Burung itu menjadi jinak dan tidak takut kepadanya. Beberapa hari kemudian, burung itu telah dapat mengibas-ngibaskan sayapnya, dan sesaat kemudian ia pun terbang. Keesokan harinya ia kembali mengunjungi Dermawan. Di paruhnya ada sebutir biji, dan biji itu diletakkannya di depan Dermawan. Dermawan tertawa melihatnya. Biji itu biji biasa saja. Meskipun demikian, senang juga hatinya menerima pemberian burung itu. Biji itu ditanam di belakang rumahnya.

Tiga hari kemudian tumbuhlah biji itu. Yang tumbuh adalah pohon semangka. Tumbuhan itu dipeliharanya baik-baik sehingga tumbuh dengan subur. Pada mulanya Dermawan menyangka akan banyak buahnya. Tentulah ia akan kenyang makan buah semangka dan selebihnya akan ia sedekahkan. Tetapi aneh, meskipun bunganya banyak, yang menjadi buah hanya satu. Ukuran semangka ini luar biasa besarnya, jauh lebih dari semangka umumnya. Sedap kelihatannya dan harum pula baunya. Setelah masak, Dermawan memetik buah semangka itu. Amboi, bukan main beratnya. Ia terengah-engah mengangkatnya dengan kedua belah tangannya.

Setelah diletakkannya di atas meja, lalu diambilnya pisau. Ia membelah semangka itu. Setelah semangka terbelah, betapa kagetnya Dermawan. Isi semangka itu berupa pasir kuning yang bertumpuk di atas meja. Ketika diperhatikannya sungguh-sungguh, nyatalah bahwa pasir itu adalah emas urai murni. Dermawan pun menari-nari karena girangnya. Ia mendengar burung mencicit di luar, terlihat burung pipit yang pernah ditolongnya hinggap di sebuah tonggak. “Terima kasih! Terima kasih!” seru Dermawan. Burung itu pun kemudian terbang tanpa kembali lagi.

Keesokan harinya Dermawan memberli rumah yang bagus dengan pekarangan yang luas sekali. Semua orang miskin yang datang ke rumahnya diberinya makan. Tetapi Dermawan tidak akan jatuh miskin seperti dahulu, karena uangnya amat banyak dan hasil kebunnya melimpah ruah. Rupanya hal ini membuat Muzakir iri hati. Muzakir yang ingin mengetahui rahasia adiknya lalu pergi ke rumah Dermawan. Di sana Dermawan menceritakan secara jujur kepadanya tentang kisahnya.

Mengetahui hal tersebut, MUzakir langsung memerintahkan orang-orang gajiannya mencari burung yang patah kaki atau patah sayapnya di mana-mana. Namun sampai satu minggu lamanya, seekor burung yang demikian pun tak ditemukan. MUzakir sungguh marah dan tidak dapat tidur. Keesokan paginya, Muzakir mendapat akal. Diperintahkannya seorang gajiannya untuk menangkap burung dengan apitan. Tentu saja sayap burung itu menjadi patah. Muzakir kemudian berpura-pura kasihan melihatnya dan membalut luka pada sayap burung. Setelah beberapa hari, burung itu pun sembuh dan dilepaskan terbang. Burung itu pun kembali kepada Muzakir untuk memberikan sebutir biji. Muzakir sungguh gembira.

Biji pemberian burung ditanam Muzakir di tempat yang terbaik di kebunnya. Tumbuh pula pohon semangka yang subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya satu, ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan. Ketika dipanen, dua orang gajian Muzakir dengan susah payah membawanya ke dalam rumah karena beratnya. Muzakir mengambil parang. Ia sendiri yang akan membelah semangka itu. Baru saja semangka itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam bercampur kotoran ke muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir serta permadani di ruangan itu tidak luput dari siraman lumpur dan kotoran yang seperti bubur itu. Muzakir berlari ke jalan raya sambil menjerit-jerit. Orang yang melihatnya dan mencium bau yang busuk itu tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan dengan riuhnya.

Kategori

Kategori