Datu Pamona (Sulawesi tengah)

Datu Pamona (Sulawesi tengah)

Datu Pamona dikenal sebagai raja yang memerintah kawasan Pamona, yang punyaIstana Langkanae dan beristri Monogu. Dia bukan berasal dari masyarakat setempat. Konon, cerita rakyat Indonesia menyebutkan bahwa Datu Pamona datang dari seberang lautan. Dia putra Raja Hindu yang datang ke Pamona dan membuat ramai kawasan setempat. Hal ini terjadi dulu sekali, saat orang-orang di Danau Pamona masih primitif.

Dikisahkan bahwa para penduduk Danau Pamona masih hidup secara nomaden. Mereka bertahan hidup dengan cara berburu binatang dan mengambil buah-buahan dari alam. Kebiasaan ini berubah tatkala datang tujuh orang Hindu dari seberang lautan. Ketujuh orang Hindu ini kemudian menetap di kawasan Danau Pamona sampai mereka beranak pinak.

Ketujuh orang ini mengajarkan kepada masyarakat keahlian yang mereka punyai, yaitu melukis, mematung, dan bercocok tanam. Sejak itu, kehidupan masyarakat setempat berubah. Dari hidup nomaden menjadi hidup menetap. Dari berburu kini menjadi pembuat makanan. Kedatangan ketujuh orang Hindu ini membuat kawasan tersebut perlahan-lahan ramai. Kemudian, mereka juga mengajak kelompok mereka tinggal di Pamona. Bahkan, populasi manusia di wilayah Pamona makin meluas sampai ke Bada dan Napu. 

Ketika makin meluas, tanah untuk bermukim semakin sedikit. Orang-orang mulai berselisih mengenai patok tanah. Karena itu, timbullah keinginan untuk memiliki seorang pemimpin yang bisa dipanuti, adil, serta bijaksana. Dicarilah orang-orang lokal. Rupanya, agak sulit mencari seseorang dengan spesifikasi dari masyarakat setempat. Memang ada beberapa calon, namun masyarakat masih kurang sreg.

Di saat seperti itu, datanglah dua orang berkulit sawo. Keduanya putra Raja Hindu. Sebenarnya ada tiga, namun yang pertama sudah menetap dan dijadikan raja di Sigi. Kedua orang itu disambut dengan baik oleh masyarakat setempat, karena perbawa mereka yang santun dan bisa mengayomi.

Setelah tinggal selama kurang lebih enam bulan lamanya, yang termuda di antara kedua putra Raja Hindu pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Luwu disertai 6 orang pemuda Pamona. Mereka berangkat menggunakan perahu melalui Danau Poso ke Tandompomuaka. Kemudian, menuju ke Kuala Kodina. Sesampainya di sana, ketiga orang dari enam orang pengantar kembali ke Pamona. Sisanya ikut si pemuda sampai ke Luwu. Di Luwu, si pemuda dijadikan raja dan tiga pengantarnya kemudian dijadikan pengawalnya.

Sedangkan, si pemuda yang tetap tinggal di Pamona, yang bernama Lelealu, dipandang masyarakat Pamona bisa dijadikan sebagai panutan. Karena sikap-sikap yang ditunjukkannya selama ini. Mereka sepakat menjadikan Lelealu jadi Raja Pamona. Untuk lebih afdolnya, Lelealu juga dinikahkan oleh gadis setempat bernama Monogu.

Pasca menikah dengan Monogu, Lelealu segera diangkat jadi raja bergelar Datu Pamona-Rombenunu. Datu Pamona pun dihadiahi Istana bernama Langkanae. Dia memerintah Pamona dengan keadilan yang biasa ditunjukkannya sehari-hari.



Asal Usul Sungai Palu (sulawesi)

Asal Usul Sungai Palu (sulawesi)

Secara administratif, Sungai Miu dan Sungai Gumasa merupakan bagian dari Sungai Palu-Lariang, yang terletak di Kabupaten Sigi Bromaru, bagian dari Provinsi Sulawesi Tengah. Dalam cerita rakyat Indonesia kisah Bolampa, dikisahkan bahwa dulu, duluuu sekali Sungai Miu dan Sungai Gumasa merupakan dua anak sungai yang terpisah dua. Namun, sebuah kejadian membuatnya menjadi satu. Kejadian apa itu? Peristiwa itu merupakan peristiwa kelam yang sangat memilukan hati.

Dikisahkan bahwa Raja Palu memiliki seorang permaisuri dan putra bernama Bolampa. Satu hal yang diwariskan Raja Palu kepada Bolampa adalah kesaktiannya. Dia juga kebal terhadap segala macam senjata.

Di tengah kegembiraan keduanya mengasuh Bolampa. Permaisuri hamil lagi. Namun, hal ini diam-diam menimbulkan kecemburuan di hati Bolampa. Karena, besar kemungkinan kasih sayang yang selama ini tercurahkan untuknya akan tidak ditujukan lagi untuknya, melainkan untuk adiknya.

Pada saat bersamaan, Raja Palu menderita sakit hingga menyebabkannya meninggal dunia. Kesedihan pun mewarnai Kerajaan Palu. Termasuk permaisuri dan Bolampa. Bolampa yang hatinya masih diliputi iri dengan kehadiran adiknya, segera minggat keDesa Sidiru, di daerah Sibolga. Di sana, dia melampiaskan dendam kepada orang-orang secara membabi buta. Karena, dia terlalu kuat, tak pelak, Bolampa membuat tewas orang-orang itu. Hal ini tentu membuat masyarakat Sidiru jengkel terhadapnya. Namun, kesaktian yang diwariskan dari ayahnya membuatnya tak bisa dibunuh dengan mudah.

Bolampa heran, mengapa dia sampai bisa membunuh orang-orang. Sementara, dia sendiri tidak bisa dibunuh, bahkan kebal terhadap senjata apapun. Rasa penasaran membawanya untuk merasakan bagaimana kematian itu. Lalu, dia menyerahkan dirinya kepada orang-orang Sidiru. Orang-orang Sidiru menyambutnya dengan gembira. Namun, mereka bertanya kepada Bolampa bagaimana cara membunuh dirinya. Sedangkan, senjata yang mereka gunakan tidak mempan terhadapnya.

Bolampa kemudian mengatakan, "Bunuhlah aku selepas aku menjatuhkan diri dari pohon kelapa itu."

Bolampa kemudian naik pohon kelapa dan menjatuhkan dirinya. Orang-orang Sidiru pun mengikuti arahan Bolampa. Mereka menusuk Bolampa dalam keadaan lemah. Segera saja Bolampa tewas di tangan mereka. Jenazah Bolampa kemudian dibawa ke baruga (rumah adat) Raja Sidiru. Kepala Bolampa dipenggal dan diletakkan di tiang baruga. Setelah sebelumnya diberi tanduk yang terbuat dari emas.

Sewaktu anaknya meregang nyawa, ibu Bolampa yang sedang hamil tua berfirasat. Hatinya "kontak" dengan kejadian yang menimpa anaknya. Maka, dia mencari anaknya di Sidiru dan sampai di rumah Raja Sidiru. Begitu kaget dia melihat kepala Bolampa berada di tiang baruga. Dipanggillah Raja Sidiru sambil ngoceh-ngoceh tak karuan. Raja Sidiru pun membunuhnya. Kemudian, jenazahnya disimpan di peti mati kayu. Beberapa hari berikutnya, bayi yang dikandung permaisuri Palu lahir. 

Bayi itu diambil oleh Raja Sidiru dan diserahkan kepada orang tua yang belum dikaruniai anak untuk dirawat. Orang tua itu senang mendapat anak dari Raja Sidiru. Mereka merawat dan mendidik anak titipan itu dengan baik dan memberinya nama Tuvunjagu. Tapi, dasar keturunan Bolampa, anak itu punya kekuatan dan sifat yang sama. Setelah dewasa, Tuvunjagu sering membunuh teman-temannya. Kedua orang tua yang semakin renta itu segera menceritakan semuanya tentang asal-usul Tuvunjagu.

Dipanggilnya Tuvunjagu untuk diceritakan asal-usulnya. "Nak, kemarilah. Bapa mau cerita sesuatu kepada kau."

"Ada apa Bapa?"

"Itu kau pernah lihat tengkorak yang terpancang di tiang baruga Raja Sidiru?"

"Ya, pernah Bapa."

"Itu adalah abang kau."

Dan diceritakan secara rinci mengenai Bolampa, ibunya, dan Tuvunjagu sendiri.

"Oh, jadi yang membunuh ibu dan kakakku adalah Raja Sidiru?" tanya Tuvunjagu dengan penuh dendam. Dendam kesumat pun bergumul di hati Tuvunjagu.

*

9 tahun berikutnya...

Raja Siddiru mengadakan pesta. Kesempatan ini tidak disia-siakan Tuvunjagu. Dia datang ke pesta itu dan mengajak putri semata wayang Raja Sidiru menari raego. Beberapa saat menari, tiba-tiba Tuvunjagu menarik parangnya dan menebas leher putri Raja Sidiru sampai pisah dari badannya. Tuvunjagu pun mengambil kepala itu dan berlari dengan cepat ke Palu. Sesampainya di Palu dia menancapkan kepala putri Raja Sidiru di tiang baruga Palu. Hal ini dilakukan sebagai pembalasan dendamnya.

Raja Sidiru segera mengumpulkan orang-orangnya untuk membalas dendam. Namun, seorang penasihat memberikan saran yang lebih bijaksana.

"Dulu, ketika Bolampa dan ibunya kita bunuh, tidak ada orang Palu yang datang ke Sidiru. Lebih baik kita buat jarak saja dengan Palu supaya Tuvunjagu tidak datang ke sini lagi supaya tidak terjadi pertumpahan darah yang lebih besar."

"Bagaimana caranya?" tanya Raja Sidiru.

"Dengan menyatukan Sungai Mui dan Sungai Gumasa."

Usul ini diterima Raja Sidiru yang langsung memerintahkan rakyat untuk menyatukan kedua sungai itu. Setelah beberapa bulan bekerja, akhirnya kedua sungai itu menyatu. Tuvunjagu pun tak pernah kembali lagi ke Sidiru. Kini, kita mengenalnya dengan nama Sungai Palu. Demikian, cerita rakyat Sulawesi tentang asal-usul Sungai Palu.




Pangeran Biawak (Kalimantan Tengah)

Pangeran Biawak (Kalimantan Tengah)

Dalam cerita rakyat Nusantara yang berasal dari Kalimantan Tengah dikisahkan ada seorang raja di pedalaman yang mempunyai tujuh putri. Semuanya masih gadis. Namun, karena sudah cukup umur semuanya, mereka hendak dinikahkan. Sayangnya, tak ada calon yang mereka miliki. Sehingga, mau tak mau, ayahanda mereka campur tangan.

Sebagaimana lazimnya adat di zaman itu, jika ada seorang gadis tak punya calon, maka ayahnya akan menghelat sayembara untuk mencari pemuda impian bagi anaknya. Begitu juga yang dilakukan oleh ayahanda ketujuh putri tersebut. Karena, istananya terletak di pinggir sungai, maka sang raja juga mengadakan sayembara untuk membangunkan kerajaan di pinggir sungai seberangnya.

Tak lama setelah sayembara diumumkan, datanglah enam pemuda untuk mengikutinya. Dalam tempo tak begitu lama, keenam pemuda ini berhasil menyelesaikan tantangan yang diberikan sang raja. Namun, sayembara belumlah berakhir. Masih menunggu satu pemuda lagi untuk menyelesaikan satu tantangan lainnya, yakni membuatkan jembatan untuk masing-masing istana ke istana raja. Ya, kan tadi keenam istana ini terletak berseberangan dengan istana raja.

Tunggu ditunggu, datanglah seorang ibu tua dan seekor biawak. Siapa mereka? Rupanya ibu tua ini adalah ibu dari biawak itu.

"Hamba datang ke sini untuk mengikuti sayembara yang tuan paduka adakan," jelas ibu tua.

"Baiklah, apakah Anda punya seorang anak laki-laki?" tanya sang raja.

"Ya. Aku punya seorang anak laki-laki, yang biasa saja."

"Tak masalah. Siapa pun dia bisa mengikuti sayembara ini."

"Nah, anakku, kamu sudah mendengar kata-kata raja sendiri kan? Berarti kamu boleh ikutan," kata ibu tua kepada biawak.

Semua orang terkejut. Bagaimana mungkin seekor biawak bisa memiliki ibu manusia?

"Kan tadi tuan paduka sudah bilang tak mempermasalahkan. Siapapun boleh ikutan sayembara ini. Apa tuan paduka ingin menarik ucapan sendiri?"

Sang raja berdiam diri sejenak, menimang-nimang. "Ya, aku sudah mengatakannya. Dan pantang bagiku menarik ucapanku. Baiklah, kamu ikutan biawak."

Biawak pun langsung bekerja.


Sementara itu, raja berdiskusi dengan ketujuh putrinya. Dia bertanya siapakah di antara mereka yang ingin menjadi istri dari biawak? Sebuah pilihan sulit! Nyatanya, keenam putri raja tak ada yang mau, kecuali si bungsu.

"Aku bersedia, ayahanda. Ini demi nama baik ayahanda yang telah berjanji kepada biawak untuk menikah salah seorang di antara putri ayahanda. Tentu saja, aku tidak bisa mengorbankan kebaikan keenam kakakku."

Biawak rupanya bekerja terlalu cepat. Karena selesai berdiskusi, keenam jembatan sudah jadi.

Keesokan harinya digelarlah pesta pernikahan. Tampak, keenam putri raja bergembira, sedangkan si bungsu cuma muram. Dia mencoba menutupi kesedihannya. Ketika malam tiba, dan semua pengantin baru ini ke kamar masing-masing hanya di kamar si bungsu tak terdengar suara cekikikan. Si bungsu cuma tertidur begitu saja, setelah meletakkan biawaknya di sudut kamar.

Namun, keesokan paginya, dia terkejut menemukan seorang pria tampan tidur di sisinya. Dia menjerit dan pengawal raja masuk ke kamarnya. Namun, tak ditemukan pria tampan itu. Si putri hanya menunjuk-nunjuk biawak. Pria tampan itu sudah berubah kembali menjadi biawak. Tapi, tak seorang pun pengawal percaya. Mereka hanya menganggap si bungsu sedang bermimpi buruk karena habis menikahi biawak.

Begitu yang terjadi selama beberapa malam. Namun, si bungsu tak lagi terkejut dengan kehadiran pria tampan tersebut. Justru dia bertanya mengapa suaminya yang cakep itu bisa berubah jadi biawak. Kata suaminya, dia berubah jadi biawak karena dikutuk. Si bungsu kemudian ke sudut kamar, dia menemukan kulit biawak yang akan dikenakan oleh suaminya menjelang pagi. Kali itu, si bungsu punya ide untuk membakarnya saja. Walhasil, suami si bungsu pun tak berubah kembali jadi biawak.

Sungguh senang hati si bungsu. Kemudian, keenam kakaknya merasa sedih juga kenapa dulu mereka tak mau. Itulah balasan bagi orang yang mau berbakti kepada orang tua. Demikian kisah Pangeran Biawak.




Legenda Gunung Bromo - Suku Tengger (Jawa Timur)

Cerita Rakyat Indonesia: Legenda Gunung Bromo - Suku Tengger
Gunung Bromo.
Dikisahkan zaman dulu hidup pasang muda suami istri di suatu dusun. Sang istri akhirnya hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan. Anehnya, bayi perempuan ini sewaktu dilahirkan tidaklah menangis, sehingga kedua orang tuanya memberinya nama: Roro Anteng yang berarti perempuan yang tenang atau diam. 

Waktu pun berlalu hingga Roro Anteng tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Kecantikannya terkenal di kalangan para jejaka saat itu. Tak terkecuali seorang sakti mandraguna bernama Kiai Bima. Berbekal kebringasannya alias kesaktiannya, Kiai Bima mendatangi Roro Anteng untuk melamarnya disertai ancaman. Lamaran tersebut harus diterima, jika tidak ia akan membuat dusunnya binasa. 

Sebenarnya Roro Anteng merasa berat hati menerima lamaran tersebut. Namun, ia terpaksa menerimanya demi menyelamatkan dusunnya. Dan ia memiliki sebuah rencana untuk menggagalkan lamaran tersebut. Ya, Roro Anteng mensyaratkan kepada Kiai Bima jika ingin lamarannya diterima maka harus membuatkan sebuah danau dalam tempo satu malam. 



Karena tak ingin kehilangan Roro Anteng, Kiai Bima menyanggupinya. Berbekal batok kelapa Kiai Bima mulai mengeruk tanah untuk dijadikan danau. Dalam waktu singkat, danau sudah tampak akan selesai. Roro Anteng yang telah bersiasat kemudian meminta orang-orang dusun untuk memukul-mukul alu supaya hari sudah terdengar pagi dan ayam mulai berkokok. 

Kiai Bima segera sadar jika dirinya tidak berhasil menyelesaikan tantangan dari Roro Anteng. Ia pun tidak bisa memaksakan lamarannya. Hatinya yang kesal segera membanting batok kelapa yang dipegangnya kemudian meninggalkannya. Bekas batok kelapanya kemudian menjadi Gunung Batok yang terletak di sebelah Gunung Bromo. Sementara, bekas galiannya menjadi Segara Wedi (lautan pasir) yang bisa dilihat sampai saat ini. 

Roro Anteng pun akhirnya bertemu Joko Seger dan menikah. Selama bertahun-tahun menikah mereka belum juga dikaruniai seorang anakpun. Akhirnya Joko Seger berdoa kepada sang pencipta jika dikaruniai anak, dia bersedia mengorbankan anaknya itu.

Doa Joko Seger dikabulkan. Roro Anteng dan Joko Seger pun dikaruniai beberapa orang anak. Waktu berlalu sampai-sampai Joko Seger lupa dengan syarat doanya dulu. Waktu tidur, Joko Seger mendapat bisikan untuk memenuhi janjinya. 

Joko Seger sebenarnya tidak rela mengorbankan salah satu anaknya. Namun, karena jika tidak dituruti akan terjadi bencana dan lagipula itu adalah janjinya sendiri, maka ia menyampaikannya kepada anak-anaknya. Salah seorang di antara anak-anak Joko Seger dan Roro Anteng pun bersedia untuk dikorbankan. 

Hari H pun tiba. Keluarga Joko Seger menuju kawah Gunung Bromo seraya membawa aneka hasil bumi untuk sesaji. Salah seorang anak Joko Seger yang dikorbankan juga telah disiapkan. Bersama sesaji anak tersebut terjun ke kawah Gunung Bromo tersebut. 

Setelah janji tersebut dilaksanakan keluarga Joko Seger pun hidup bahagia di sekitaran Gunung Bromo. Keturunan mereka menamai diri Suku Tengger - yang berasal dari nama Roro Anteng dan Joko Seger. 

Upacara pengorbanan anak-anak mereka masih bisa kita saksikan sampai sekarang. Di bulan purnama tanggal 14 atau 15 bulan Kasodo (penanggalan Jawa) dilakukan upacara Kasodo, di mana terdapat proses pelemparan sesaji ke kawah Gunung Bromo.




Sawunggaling (Jawa Timur)

Ketika pulang ke rumah, muka Jaka Barek merah padam. Rupanya, ia menahan marah karena teman-temannya mengejek dirinya adalah anak haram. Di rumah, ia menemui ibunya yang ketika itu tengah bersama kakek - neneknya.

"Ibu, aku nggak tahan lagi," kata Jaka.

"Ada apa anakku. Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu?" timpal ibunya, Dewi Sangkrah.

"Ibu harus menjelaskan kepadaku, siapa sebenarnya bapakku. Kalau sudah meninggal tunjukkan makamnya, kalau masih hidup katakan dimana dia. Gara-gara dia aku sering diejek teman-temanku.

Dewi Sangkrah menghela napas, kemudian menengok ke arah kakak - nekek Jaka Barek. Memang sudah waktunya bagi dirinya untuk menjelaskan siapa sebenarnya bapak Jaka Barek. "Memang sudah sepatutnya ibu bercerita kepadamu. Dan ini waktu yang tepat. Bapak kamu itu masih hidup, Nak."

"Benarkah?" Mata Jaka Barek berbinar-binar, "Kalau begitu dimanakah dia?"

"Bapak kamu seorang Adipati di Kadipaten Surabaya. Namanya Jayengrana. Kesanalah kamu harus mencari untuk menemui bapakmu," kata Dewi Sangkrah.

Jaka Barek pun berniat mendatangi Kadipaten Surabaya untuk menemui bapaknya. Sesampainya disana, di depan gapura masuk, ia dicegat prajurit penjaga.

"Siapa kamu?"

"Saya Jaka Barek."

"Apa keperluanmu datang kemari?"

"Saya mau bertemu Adipati," jawab Jaka Barek.

"Tidak bisa. Lebih baik kau pergi sebelum kuusir dengan paksa," bentak prajurit itu.

"Tidak sebelum aku bertemu dengan Adipati Jayengrana," sahut Barek.

Tak tahan melihat tingkah Jaka Barek, prajurit penjaga itu segera menyerangnya. Jaka Barek melawan serangan itu.

Perkelahian itu diketahui oleh Sawungsari dan Sawungrana. Keduanya putra Adipati Jayengrana. Mereka melerai perkelahian tersebut. Tapi, setelah mengetahui maksud Jaka Barek yang ingin menemui Adipati Jayengrana karena mengaku-aku sebagai anaknya, sebagai hal yang mencurigakan. Mereka justru berkelahi dengan Jaka Barek.

Namun, semua itu terhenti saat Jayengrana mendatangi keributan itu. Ia menanyakan pada Jaka Barek apa maksud kedatangannya. Jaka Barek mengatakan jika dirinya datang untuk menemui bapaknya, Jayengrana.

"Apa yang membuktikan jika kamu ini anakku? Siapa nama ibumu?" tanya Jayengrana.

"Nama ibuku Dewi Sangkrah. Aku membawa ini, selendang Cinde Puspita."

Adipati Jayengrana mengenali itu semua. Ia percaya sekarang jika Jaka Barek adalah anaknya. Kepada Sawungsari dan Sawungrana, Jaka Barek diperkenalkan sebagai saudara. Begitulah, Jaka Barek kemudian berganti nama menjadi Sawunggaling.

Zaman mereka hidup, para kompeni Belanda sudah masuk ke tanah Jawa. Kadipaten Surabaya pun didtangi oleh utusan Belanda bernama Kapten Knol yang membawa surat dari Jenderal De Boor. Inti surat itu isinya mengakuisisi Kadipaten Surabaya dan Adipati Jayengrana dicabuk haknya sebgai adipati karena menolak bekerjasama dengan Belanda.

Disaat bersamaan ada woro-woro yang sebutkan jika di alun-alun Surabaya telah diadakan sayembara sodoran (perang tanding prajurit berkuda bersenjata tombak) dengan memanah umbul-umbul Yunggul Yuda. Hadiah bagi pemenang adalah diangkat sebagai Adipati Surabaya.

Adipati Jayengrana memerintah Sawungsari dan Sawungrana untuk mengikutinya. Di waktu yang berbarengan Sawunggaling juga turut serta. Dia pun memenangkan sayembara tersebut. Karena itu, ia diangkat jadi Adipati Surabaya. Plus, ia dinikahkan dengan putri Amangkurat Agung Kartasura, yaitu Nini Sekat Kedaton.

Kedua saudaranya iri. Mereka ingin mencelakai Sawunggaling dengan membubuhkan racun di minumannya. Beruntung, aksi tersebut diketahui oleh Adipati Cakraningrat dari Madura. Sehingga, berhasil digagalkan. Adipati Cakraningrat memberitahu jika Sawunggaling dikerjai dua saudaranya yang telah menjadi antek Belanda karena rasa irinya.

Sejak itu, Sawunggaling bertekad hancurkan Belanda. Dalam suatu pertempuran, ia berhasil hancurkan pasukan Belanda dan membunuh Jenderal De Boor.



Asal Mula Negeri Lempur (sumatra)

Asal Mula Negeri Lempur (sumatra)

Di belantara Sumatera dulu pernah ada Kerajaan Pamuncak Tiga Kaum. Kerajaan tersebut dipimpin oleh tiga bersaudara, yang masing-masing bernama Pamuncak Rencong Talang, Pamuncak Tanjung Seri, dan Pamuncak Koto Tapus.


Suatu hari, Kerajaan yang berada di bawah pimimpin Pamuncak Rencong Talang berlimpah hasil panennya. Karena itu, hendak diadakan sebuah pesta panenan sebagai rasa syukur. Pesta panenan ini digelar dengan mengundang kerabat serta keluarga saja. Termasuk, keluarga Pamuncak Tanjung Seri – yang tak bisa hadir dan diwakili istri dan anak gadisnya.

Hari H pun tiba, istri Pamuncak Tanjung Seri dan anak gadisnya datang ke Kerajaan Pamuncak Rencong Talang untuk ikut merayakan pesta panenan. Anak gadis Pamuncak Tanjung Seri menjadi primadona dan banyak “ditaksir” para pemuda setempat. 

Tak terasa waktu sudah menjelang pagi. Istri Pamuncak Tanjung Seri kemudian mengajak anaknya pulang. Namun, anaknya masih mau berada di sana, karena itu dia mengacuhkannya. Ketika itu seorang pemuda bertanya pada si gadis, siapa yang mengajaknya pulang. “Pembantuku…” ucapnya asal. Si ibu rupanya mendengar pernyataan tersebut. Sehingga, dia jadi sakit hati sampai mereka pulang keesokan harinya.

Saat keesokan harinya, istri Pamuncak Tanjung Seri yang kesal dengan tingkah anaknya menggumam. “Tuhan, sakit hatiku dikatai anakku sendiri pembantu.” Dari doanya itu terucaplah semoga anaknya dikenai hukuman ditelan rawa berlumpur. Nah, dalam dongeng Indonesia dikisahkan bahwa waktu keduanya berada di Pulau Sangkar dan Lolo yang berawa dan berlumpur Tuhan mengabulkan doa istri Pamuncak Tanjung Seri. 

Entah bagaimana caranya, si gadis terpeleset hingga ia tercebur ke dalam rawa berlumpur. Dia meronta-ronta sekuat tenaga namun justru hal itu malah menambahnya cepat tenggelam ke rawa. “Ibu… tolong aku, Ibu,” teriak gadis yang telah melukai perasaan ibunya itu. 

“Aku bukan ibumu. Aku pembantumu,” jawab ibunya, sambil mengambil gelang serta selendang jambi dari anaknya. Lalu, meninggalkan putrinya begitu saja. 

sejak kejadian tersebut, daerah rawa berlumpur itu dinamai Lempur, yang berasal dari kata “lumpur”. Sementara, gelang yang diambil ibunya dibuang di sebuat tebat. Sehingga, daerah tersebut dinamai Tebat Gelang




Kategori

Kategori