Singa Dan Nyamuk

     Seekor singa sedang tidur-tiduran di sebuah padang rumput di hutan. Karena perutnya sudah kenyang, ia pun tertidur. Di tengah-tengah tidurnya yang pulas seekor nyamuk terbang mengelilingi sang raja hutan tersebut.
Si nyamuk hendak mengisap darah singa itu. Suara nyamuk yang mendengung membuat singa terbangun.. Ia merasa terusik dengan si nyamuk.
”Mmhhh... Awas kau nyamuk! Kau sudah mengganggu tidurku. Singa berusaha menangkap si nyamuk tapi dengan gesitnya si nyamuk bisa menghindar. ”Kau menyombongkan dirimu sebagai raja binatang. Tetapi aku tak takut padamu,” ejek Nyamuk.

    Singa marah sekali. Sementara itu nyamuk mencari kesempatan untuk menggigitnya. Mengakulah kalah, Taring dan cakarmu yang tajam itu pun tak mampu menyakiti diriku. Nah sekarang giliranku,” kata nyamuk lagi. Kemudian ia mengembangkan sayapnya sambil mengepak-ngepakkannya dengan dahsyat.

Tak lama, nyamuk-nyamuk lain berdatangan.

   ”Pasukan serbu....” teriaknya. Kawanan nyamuk pun segera menyerbu. ”Tolong...” teriak Singa sembari menggaruk wajahnya. Karena tak tahan, Singa melompat ke sungai untuk mengompres wajahnya yang bengkak. ”Sekarang akuilah kekalahanmu,” seru Nyamuk. Lalu ia terbang dengan congkaknya.
Tiba-tiba ia terjerat ke dalam sarang laba-laba. Ia berusaha keras untuk meloloskan diri. Tetapi laba-laba itu dengan cepat menyerang dan membunuhnya. ”Oh, tak pernah kubayangkan aku akan mati oleh makhluk sekecil ini setelah berhasil mengalahkan Singa si Raja hutan,” tangisnya..

Pesan moral : Jangan pernah menganggap suatu hal yang kecil dapat dengan mudah dilakukan. Dan jangan pernah merasa sombong dengan keberhasilan melakukan sesuatu hal yang besar.







Si Gembala Pembohong

     Di suatu desa ada seorang anak gembala. Setiap hari dia menggembalakan kambingnya di padang rumput agak jauh dari desa. Si Gembala itu anak yang nakal.
Dia suka berbuat usil dengan teman-temannya. Pada suatu hari yang panas, dia sedang menggembala kambing-kambingnya di sebuah padang rumput, tak jauh dari desanya. Di kelompok lain, kambing-kambing orang-orang desa digembalakan juga, meski tidak ada yang menjaganya. Tiba-tiba, dia punya ide jahat untuk membohongi warga desa. Kemudian dia berteriak keras, "Ada serigala! Ada serigala! Tolong... tolong...tolong!" "Serigala mau makan kambing-kambing kita." Dia berharap warga desa mendengar teriakannya dan segera berlari ke arah padang rumput.

     Warga desa yang mendengar teriakan anak itu segera berlari ke padang rumput untuk menyelamatkan kambing-kambing mereka. Namun ketika mereka sampai, ternyata tidak ada serigala. Hanya anak gembala itu yang tertawa terpingkal-pingkal melihat warga desa yang telah dibohonginya.

    Keesokan harinya, anak gembala tersebut mengulangi tipuannya. Dia berteriak lebih keras dari sebelumnya, “ada serigala…. Ada serigala… kambing-kambing kita mau dimakan… Warga desa kembali bergegas hendak menyelamatkan kambing-kambing mereka. Anak gembala itu kembali tertawa terpingkal-pingkal.

     Sampai pada suatu hari, segerombolan serigala benar-benar datang menghampiri kambing-kambing anak gembala itu. Si anak gembala begitu ketakutan dan segera berteriak keras sekali, "Tolooong... toloooong, ada serigala mau makan kambing kambing ku, tolong!" Para warga desa mendengar teriakan anak gembala itu. Namun mereka diam saja, dikira pasti itu tipuan anak gembala itu lagi. Maka mereka diam saja di desa meneruskan pekerjaan mereka. Malang si anak gembala, semua kambingnya habis dimakan serigala.

    Begitulah nasib yang menimpa anak yang sering berbohong: bahkan berkata benar pun tidak ada orang yang akan percaya.

Pesan Moral : Jangan suka berbohong pada orang lain, karena jika sering berbohong maka orang lain akan menjadi tidak percaya dengan perkataan kita.




Asal Mula Bukit Catu (bali)

    Alkisah di pedalaman Pulau Bali, terdapat sebuah desa yang subur dan makmur. Sawah dan ladangnya selalu memberikan panen yang berlimpah. Di desa tersebut tinggal seorang petani bernama Pak Jurna dan istrinya. Mereka menginginkan hasil panen padinya lebih banyak dari pada hasil panen sebelumnya. "Hem, sebaiknya pada musim tanam padi sekarang ini kita berkaul," usul Pak Jurna pada istrinya. "Berkaul apa, pak?" sahut Bu Jurna. "Begini, jika hasil panen padi nanti meningkat kita buat sebuah tumpeng nasi besar, ujar Pak Jurna penuh harap. Ibu Jurna setuju. 

     Ternyata hasil panen padi Pak Jurna meningkat. Sesuai dengan kaul yang telah diucapkan, lantas Pak Jurna dan istrinya membuat sebuah tumpeng nasi besar. Selain itu diadakan pesta makan dan minum. Namun Pak Jurna dan istrinya belum puas dengan hasil panen yang mereka peroleh. Mereka ingin berkaul lagi dimusim padi berikutnya. "Sekarang kita berkaul lagi. Jika hasil panen padi nanti lebih meningkat, kita akan membuat tiga tumpeng nasi besar-besar," ujar Pak Jurna yang didukung istrinya. Mereka pun ingin mengadakan pesta yang lebih meriah daripada pesta sebelumnya. 

   Ternyata benar-benar terjadi. Hasil panen padi lebih meningkat lagi. Pak Jurna dan istrinya segera melaksanakan kaulnya. Sebagian sisa panen dibelikan hewan ternak oleh Pak Jurna. Tapi mereka masih belum puas. Pak Jurna dan istrinya berkaul lagi akan membuat lima tumpeng besar jika hasil panen dan ternaknya menjadi lebih banyak. Panen berikutnya melimpah ruah dan ternaknya semakin banyak. "Suatu anugerah dari Sang Dewata, apa yang kita mohon berhasil," ucap Pak Jurna datar. 

   Di suatu pagi yang cerah, Pak Juran pergi ke sawah. Sewaktu tiba di pinggir lahan persawahan, ia melihat sesuatu yang aneh. "Onggokan tanah sebesar catu?" tanyanya dalam hati. "Perasaanku onggokan tanah ini kemarin belum ada," gumam pak Juran sambil mengingat-ingat. Catu adalah alat penakar beras dari tempurung kelapa. Setelah mengamati onggokan tanah itu, pak Jurna segera melanjutkan perjalanan mengelilingi sawahnya. Setelah itu, ia pulang ke rumah. Setibanya di rumah, pak Jurna bercerita pada istrinya tentang apa yang dilihatnya tadi. Ia segera mengusulkan agar membuat catu nasi seperti yang dilihat di sawah. Ibu Jurna mendukung rencana suaminya. "Begini, pak. Kita buat beberapa catu nasi. Dengan begitu, panenan kita akan berlimpah ruah, sehingga dapat melebihi panenan orang lain," usul Bu Jurna.
Hasil panen berlimpah ruah. Lumbung padi penuh. Para tetangga Pak Jurna takjub melihat hasil panen yang tiada bandingnya itu. "Pak Jurna itu petani ulung," kata seorang lelaki setengah baya kepada teman-temannya. "Bukan petani ulung tetapi petani beruntung," timpal salah satu temannya sambil tersenyum. Pak Jurna dan istrinya membuat beberap catu nasi. Pesta pora segera dilaksanakan sangat meriah. Beberapa catu nasi segera dibawa ke tempat sebuah catu yang berupa onggokan tanah berada. Namun, Pak Jurna sangat terkejut melihat catu tersebut bertambah besar. 
 "Baik, aku akan membuat catu nasi seperti catu tanah yang semakin besar ini," tekad Pak Jurna bernada sombong. Pak Jurna segera pulang ke rumah dan memerintahkan istrinya agar membuat sebuah catu nasi yang lebih besar. 

    Sebuah catu nasi yang dimaksud telah siap dibawa ke sawah. Sambil bersenandung dan diiringi gemerciknya air sawah, Pak Jurna membawa catu nasi besar. Namun setelah tiba ditempat, Pak Jurna terperanjat. "Astaga! Catu semakin besar dan tinggi!" pekiknya. "Tak apalah. Aku masih mempunyai simpanan beras yang dapat dibuat sebesar catu ini," ujar Pak Jurna tinggi hati. Begitulah yang terjadi. Setiap Pak Jurna membuat catu nasi lebih besar, onggokan tanah yang berupa catu bertambah besar dan semakin tinggi. Lama kelamaan catu tanah tersebut menjadi sebuah bukit. Pak Jurna dan istrinya pasrah. Mereka sudah tidak sanggup lagi membuat catu nasi. Lantas apa yang terjadi? Pak Jurna jatuh miskin karena ulah dan kesombongannya sendiri. Akhirnya, onggokan tanah yang telah berubah menjadi bukit itu dinamai Bukit Catu.




Nang Butuh Mosel

Nang Butuh Mosel

Alkisah, ada dua orang bersaudara yang bernama Nang Butuh Mosel dan pamannya yang bernama Uwa Babrung. Nang Butuh Mosel adalah seorang yang sangat miskin. Bahkan, karena terlalu miskin sampai-sampai ia tidak dapat memberi makan isteri dan dua orang anak perempuannya. Jangankan memberi makan mereka, untuk makan dirinya sendiri saja ia tidak mampu. Untuk hidup sehari-hari, keluarga Nang Butuh Mosel hanya mengandalkan belas kashian dari para tetangganya.

Sementara itu, di sebelah utara rumah Nang Butuh Mosel tinggallah saudaranya yang bernama Uwa Babrung. Berbeda dengan Nang Butuh Mosel, Uwa Babrung adalah seorang yang kaya raya. Ia mempunyai banyak sawah, ladang dan hewan ternak. Namun, walau Uwa Babrung kaya raya, ia sangat kikir dan tidak mempunyai rasa belas kasihan terhadap orang lain. Bahkan terhadap saudaranya sendiri pun Uwa Babrung tidak bersedia membantunya.

Suatu hari, karena isteri Nang Butuh Mosel sudah merasa malu untuk selalu meminta belas kasihan para tetangganya, Nang Butuh Mosel menyuruh anak tertuanya untuk meminta beras kepada Uwa Babrung. Setelah sang anak pergi dan bertemu dengan Uwa Babrung, ia pun berkata, “Paman, saya disuruh oleh bapak untuk meminta sedikit beras.”

“Wah, orang tuamu itu masih sehat dan kuat. Daripada meminta-minta lebih baik suruh orang tuamu pergi bekerja. Aku tidak punya beras!” kata Uwa Babrung.

Tanpa menghiraukan kata-kata Uwa Babrung, si anak berkata lagi, “kalau tidak ada beras, berilah kami sedikit nasi, paman.”

“Nasi juga tidak ada!” jawab Uwa Babrung ketus.

Mendengar kata-kata ketus yang keluar dari mulut pamannya, si anak langsung pulang sambil menangis. Sesampai di rumah ia segera menceritakan kepada orang tuanya.

“Sakit hatiku mendengar perkataan pamanmu itu. Biar aku mati tidak makan!” kata isteri Nang Butuh Mosel.

Karena telah berputus asa, Nang Butuh Mosel segera meninggalkan rumah untuk menghanyutkan diri di sungai. Namun, saat sampai di tepi sungai, ia menjumpai banyak sayuran segar dan juga daun bulung bawang. Ia menjadi heran, sebab selama ini ia tidak pernah melihat sayur-sayuran tersebut tumbuh di sekitar sungai. Dan, tanpa banyak pikir lagi ia segera memetik sayur-sayuran itu untuk dibawanya pulang. Begitulah, hari-hari berikutnya Nang Butuh Mosel selalu mengambil sayuran yang ada di pinggir sungai tersebut agar keluarganya dapat makan.

Suatu hari isteri Nang Butuh Mosel mendengar bahwa Uwa Babrung akan pergi ke Buleleng untuk menjual barang-barang hasil sawah dan ladangnya. Mak Butuh Mosel pun segera mendatangi suaminya dan berkata, “Pak, lebih baik tumpangkan saja dirimu dengan pamanmu di sebelah utara. Dia akan pergi ke Buleleng untuk berjualan.”

“Ya, kalau demikian pergilah ke sana dan katakan kepada saudaraku bahwa aku akan ikut dengannya ke Buleleng,” jawab Nang Butuh Mosel.

Mak Butuh Mosel segera pergi ke rumah Uwa Babrung. Setelah bertemu Uwa Babrung, Mak Butuh Mosel lalu menjelaskan maksudnya, “Paman Babrung, kalau paman akan pergi ke Buleleng ajaklah Nang Butuh Mosel. Apabila diperkenankan ikut, suruhlah dia untuk memegang kuda, membawa beras atau barang-barang lain yang akan paman jual.”

“Baiklah kalau begitu,” jawab Uwa Babrung singkat.

“Lalu, kapan Uwa akan berangkat?” tanya Mak Butuh Mosel dengan gembira.

“Sesudah nasi masak,” jawab Uwa Babrung.

Mendengar jawaban itu, Mak Butuh Mosel langsung mengucapkan terima kasih dan sekaligus minta diri untuk memberitahu suaminya. Setelah sampai di rumah, dengan perasaan gembira ia memberitahukan suaminya, “Pak, besok Uwa Babrung akan pergi ke Buleleng sesudah nasi masak.”

“Apa yang harus aku persiapkan?” tanya Nang Butuh Mosel.

“Bawa saja sebuah besek. Mungkin nanti kamu akan disuruh untuk membawa barang-barang hasil sawah dan ladangnya.”

Keesokan harinya, sebelum tengah hari Nang Butuh Mosel menyuruh salah seorang anak perempuannya untuk menanyakan apakah Uwa Babrung telah siap untuk pergi ke Buleleng. Namun, saat si anak telah berada di rumah Uwa Babrung, ia mendapat penjelasan dari isteri Uwa Babrung bahwa suaminya telah berangkat sejak tengah malam. Setelah mendapat penjelasan itu, si anak buru-buru berpamitan untuk menyampaikan hal tersebut kepada ayahnya. Jadi, telah terjadi suatu kesalahpahaman antara Uwa Babrung dengan Mak Butuh Mosel. Maksud Uwa Babrung mengatakan sesudah nasi masak adalah sesudah nasi masak pada sore hari untuk makan malam. Sementara kata-kata sesudah nasi masak yang dipahami oleh Mak Butuh Mosel adalah setelah nasi masak pada pagi hari untuk persiapan makan siang.

Saat mendengar laporan anaknya, Mak Butuh Mosel segera ke rumah tetangga terdekat untuk meminjam uang sebesar sepuluh kepeng. Uang itu kemudian diberikan kepada suaminya sebagai bekal untuk menyusul Uwa Babrung ke Buleleng. Selain itu, uang tadi dimaksudkan sebagai bekal bagi Nang Butuh Mosel untuk mencari pekerjaan di sana.

Setelah semua perbekalan siap, Nang Butuh Mosel segera berangkat menyusul Uwa Babrung. Beberapa saat setelah meninggalkan rumah, tiba-tiba turun hujan yang cukup lebat. Ia kemudian berlari menuju sebuah gubuk yang telah kosong. Gubuk tersebut pada pagi harinya digunakan oleh pemiliknya sebagai tempat untuk berjualan buah kelapa. Sambil berteduh, Nang Butuh Mosel mengambil dan memakan beberapa potongan kecil buah kelapa yang masih tersisa di gubuk itu.

Setelah hujan reda, Nang Butuh Mosel kembali melanjutkan perjalanan. Ketika ia sampai di sebuah desa, ia melihat ada beberapa orang anak yang sedang menyeret seekor ular yang masih hidup dengan menggunakan tali. Ia lalu mendekati anak-anak itu dan bertanya, “Mengapa kalian mengikat leher ular itu? Apakah hendak kalian bunuh?”

“Ya. Ular ini telah memakan beberapa ekor anak ayam kami.” Jawab salah seorang anak.

“Kalau begitu, bolehkah aku membelinya?” tanya Nang Butuh Mosel.

“Wah, mau dibunuh malah diminta untuk dibeli. Kalau memang mau, ambilah ular sialan ini!” demikian gerutu anak-anak itu.

“Tidak, aku akan membelinya dua kepeng,” jawab Nang Butuh Mosel.

“Ya, baiklah kalau begitu,” jawab mereka gembira.

Ular tersebut lalu diambil dan dimasukkan ke dalam besek. Setelah itu, Nang Butuh Mosel kembali meneruskan perjalanan. Namun belum sampai satu jam berjalan, ia melihat ada orang yang sedang memukuli seekor kucing. Karena merasa kasihan, ia kemudian menghampiri orang tersebut dan bermaksud membeli kucing yang sedang disiksa itu.

“Kalau engkau menghendaki, belilah kucing jahat ini seharga tiga kepeng!” demikian kata pemilik kucing itu.

“Ya, baiklah,” kata Nang Butuh Mosel sambil mengambil dan memasukkan kucing itu ke dalam beseknya.

Saat ia berjalan lagi dan sampai di perempatan jalan, dilihatnya seseorang yang sedang mengejar tikus. Begitu sang tikus tertangkap dan akan dibunuh, ia berlari mendekati orang tersebut dan bermaksud membeli tikus itu.

“Wah, mau dibunuh malah diminta untuk dibeli. Kalau memang mau membeli dengan harga dua kepeng, ambilah tikus sialan ini!” demikian kata orang itu.

“Ya, baiklah,” kata Nang Butuh Mosel sambil mengambil dan memasukkan tikus itu ke dalam beseknya.

Oleh karena beseknya telah menjadi berat dengan isi tikus, kucing dan ular, Nang Butuh Mosel lalu mencari sebuah tempat untuk melepas lelah. Ia kemudian menghampiri sebuah pohon besar yang sangat rindang. Di tempat itu ia berteduh dari panasnya sinar matahari sambil melepaskan lelah.

Saat ia sedang duduk di bawah pohon itu, tiba-tiba datang seekor ular besar. Ular itu berkata kepadanya, “Hai Bapak Mosel, Bapak telah menyelamatkan anak saya. Sekarang saya akan menebusnya kembali. Berapa kepeng pun yang Bapak minta akan saya beri.”

Nang Butuh Mosel yang sangat terkejut melihat ada seekor ular besar telah berada di hadapannya, segera berkata, “Saya tidak bermaksud untuk menjual ular ini. Jadi, harga berapapun yang engkau tawarkan tidak akan saya berikan.”

“Janganlah begitu Bapak. Ular itu adalah anak saya satu-satunya. Kasihanilah saya. Saya akan tebus dengan apapun yang Bapak minta,” kata ular itu memelas.

Setelah berpikir beberapa saat sambil melihat-lihat tubuh ular itu, akhirnya Nang Butuh Mosel berkata, “Ya kalau memang sungguh demikian, saya minta cincin yang ada di ujung ekormu itu. Bagaimana?”

“Sebenarnya cincin ini adalah benda keramat yang dapat memberikan apa saja kepada saya. Namun apabila Bapak menghendaki, saya rela menukarkannya dengan anak saya,” jawab si ular.

Setelah melepaskan cincin dari ekornya dan memberikannya kepada Nang Butuh Mosel, sang ular besar berkata lagi, “Cincin ini dapat mendatangkan kekayaan buat Bapak. Caranya cukup memasukkan benda apa saja melewati lubang cincin. Apabila telah melewati lubang cincin, niscaya benda tersebut akan menjadi emas.”

Nang Butuh Mosel yang merasa kasihan kepada ular besar itu, kemudian membuka beseknya dan menyerahkan anak ular yang tadi dibelinya. Setelah terjadi serah terima, maka si ular beserta anaknya segera masuk ke dalam hutan, sementara Nang Butuh Mosel kembali melanjutkan perjalanannya menuju Buleleng.

Dalam perjalanan ke Buleleng itu, ia melihat orang menghunus pedang dan hendak membunuh seekor anjing. Nang Butuh Mosel langsung menghampiri orang itu dan bertanya, “Hendak engkau apakan anjing itu?”

“Anjing ini sering sekali melarikan pepesku. Sekarang ia akan aku bunuh!” jawab orang itu.

“Kalau begitu, bolehkah aku membelinya?” tanya Nang Butuh Mosel.

“Beli sajalah, seharga berapa saja!” kata orang itu.

“Uangku hanya tinggal tiga kepeng. Bolehkan aku membelinya seharga tiga kepeng?” tanya Nang Butuh Mosel.

“Ya, baiklah!” kata orang itu.

Beberapa saat setelah Nang Butuh Mosel melanjutkan perjalanannya kembali, akhirnya ia bertemu dengan Uwa Babrung yang telah kembali dari Buleleng. Uwa Babrung yang tidak ingin dibilang sebagai orang yang ingkar janji segera berkata, “Aku telah memberitahukan pada isterimu bahwa setelah nasi masak pada sore hari aku akan berangkat. Kenapa engkau tidak datang malam itu?”

“Mungkin telah terjadi kesalahpahaman, Uwa?” jawab Nang Butuh Mosel singkat.

“Wah, apa yang kau bawa itu? Kelihatannya berat sekali?” tanya Uwa Babrung mengalihkan pembicaraan.

Tanpa berkata apa-apa Nang Butuh Mosel segera membuka beseknya dan terlihatlah tiga ekor binatang yang tadi dibelinya.

“Akan kau apakan binatang-binatang itu? Akan kau berikan pada anak dan isterimu sebagai makan malam? Ya sudah, potong dan masaklah binatang itu, aku mau pulang!” kata Uwa Babrung sambil tertawa dan berlalu bersama kudanya.

Mendengar perkataan itu Nang Butuh Mosel hanya tertawa kecut. Di dalam hatinya, ia sendiri juga bingung. Tujuannya ke Buleleng adalah untuk mencari Uwa Babrung. Namun sekarang Uwa Babrung telah kembali dari Buleleng. Sementara tujuannya yang lain yaitu untuk mencari pekerjaan di Buleleng telah pupus, sebab uang yang diberikan oleh isterinya kini telah habis untuk membeli ular, tikus, kucing dan anjing. Dan, setelah berpikir agak lama, akhirnya Nang Butuh Mosel memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan ke Buleleng dan kembali pulang ke rumahnya.

Dalam perjalanan pulang itu terbersit keinginannya untuk mencoba cincin pemberian si ular besar. Ia lalu mengambil sebatang lidi dan memasukkannya ke lubang cincin. Dan, alangkah terkejutnya Nang Butuh Mosel ketika lidi telah melewati lubang cincin, tiba-tiba berubah menjadi emas yang berbentuk lidi. Lidi emas itu kemudian ditukarkannya kepada seorang penjual labu bercampur laklak dan ia memperoleh sebungkus besar buah-buahan tersebut.

Malam harinya setelah sampai di rumah, binatang-binatang yang tadi dibelinya langsung diberikan kepada kedua anak perempuannya untuk teman bermain. Selanjutnya, ia mengajak isterinya masuk ke dalam kamar dan mulai menceritakan segala kejadian yang dialaminya sejak ia berangkat dari rumah hingga pulang kembali. Mendengar seluruh keterangan suaminya, terutama tentang cincin yang dapat membuat semua benda menjadi emas, isterinya sangat gembira. Keesokan harinya mereka bersama-sama pergi ke pura untuk bersembahyang dan mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas segala karunia-Nya.

Singkat cerita, beberapa bulan kemudian keluarga Nang Butuh Mosel sudah hidup bahagia. Kedua anak mereka sudah menjadi gemuk dan mulai terlihat paras cantiknya. Selain itu, keluarga ini juga mempunyai banyak sekali emas yang dihasilkan dengan cara memasukkan suatu benda ke dalam cincin ajaib yang diperoleh dari sang ular besar. Emas-emas itu kemudian dibawa ke seorang tukang pandai emas untuk dijadikan cincin, gelang, kalung dan berbagai macam perhiasan lainnya.

Suatu hari, tanpa sepengetahuan ayahnya cincin ajaib itu dipakai bermain oleh kedua anaknya. Saat mereka bermain, cincin itu terjatuh dan patah menjadi dua bagian. Mereka kemudian mengambilnya dan sambil menangis menyerahkannya kepada ayahnya. Namun, karena Nang Butuh Mosel adalah seorang ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya, melihat cincin ajaibnya patah ia tidak marah. Ia lantas mengambil cincin yang diberikan oleh anaknya dan kemudian pergi ke tukang pandai emas.

Sesampai di rumah si pandai emas, Nang Butuh Mosel lalu menyerahkan cincinnya untuk diperbaiki. Namun karena waktu itu sedang sibuk, si pandai emas menyuruh Nang Butuh Mosel meletakkan cincinnya di atas meja kerjanya. Si pandai emas berjanji akan memperbaikinya nanti malam dan besok sore Nang Butuh Mosel boleh mengambilnya kembali.

Malam harinya ketika si pandai emas mulai menempa cincin Nang Butuh Mosel, tiba-tiba landasan dan palu yang digunakan untuk menempa cincin itu berubah menjadi emas. Hal ini membuat si pandai emas terkejut dan dengan akal bulusnya ia segera membuat cincin baru yang bentuknya persis seperti cincin Nang Butuh Mosel. Cincin baru itu yang keesokan harinya akan diberikan kepada Nang Butuh Mosel. Sementara cincin yang asli diperbaikinya dan disimpan untuk dirinya sendiri.

Keesokan harinya ketika Nang Butuh Mosel telah datang untuk mengambil cincinnya, si pandai emas langsung memberikan cincin palsu buatannya dan lantas berpura-pura sibuk dengan pekerjaan lainnya. Nang Butuh Mosel yang tidak ingin mengganggu pekerjaan si pandai emas, tanpa meneliti dahulu cincinnya langsung membayar dan berlalu dari situ. Namun setelah sampai di rumah, cincin itu tidak bekerja sebagaimana biasanya. Ia tidak dapat menjadikan benda apapun menjadi emas. Dan, setelah diperhatikan tahulah ia bahwa cincin itu ternyata palsu. Nang Butuh Mosel menjadi sedih, sebab cincin itulah yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarganya.

Melihat tuannya sedang bersedih hati, ketiga hewan yang dipeliharanya merasa kasihan dan mendekatinya. Setelah emosi Nang Butuh Mosel agak terkendali, mewakili ketiga temannya, si kucing bertanya, “Mengapa Bapak bersedih? Apakah Bapak tidak sanggup lagi memberi makan kami?”

Mendengar kuncing peliharaannya tiba-tiba dapat berbicara, Nang Butuh Mosel menjadi kaget setengah mati. Beberapa saat kamudian, setelah dapat mengatasi keterkejutannya itu, ia berkata, “Ah, bukan demikian. Kalian jangan salah sangka, aku bersedih karena cincinku telah ditukar oleh si pandai emas.”

Tiba-tiba menyahutlah si tikus, “Kalau demikian mari kita ambil kembali cincin itu dari tangan si pandai emas.”

“Tapi, bagaimana caranya? Kita sama-sama kecil,” kata si anjing.

Sang tikus berkata, “Jangan takut pada orang yang lebih besar. Kalau memang salah, pasti ia akan kalah. Dan, meskipun tubuhku paling kecil, aku tidak takut. Apalagi sudah demikian besar jasa dan kasih sayang yang kita peroleh dari Pak Nang Butuh Mosel.”

“Kalau begitu, marilah kita berangkat ke rumah si pandai emas,” kata si kucing sambil berjalan keluar rumah.

Singkat cerita, tidak berapa lama kemudian mereka pun telah tiba di rumah si pandai emas. Mereka lalu membagi tugas. Kucing dan tikus akan menyelinap masuk melewati lubang yang ada di tembok rumah itu. Sedangkan, anjing akan berdiri di depan pintu, berjaga-jaga kalau si pandai emas atau isterinya tiba-tiba terbangun.

Setelah itu, si kucing dan tikus pun masuk ke dalam rumah dan mulai mencari di mana cincin ajaib itu disembunyikan. Saat berkeliling mencari, akhirnya mereka melihat sinar cincin milik Nang Butuh Mosel berada di dalam sebuh peti. Si kucing kemudian berbisik pada tikus, “Wah, bagaimana cara mengeluarkannya?”

“Mudah, akan kugigit bagian tepi peti itu!” kata tikus sambil berjalan ke arah peti.

Saat si tikus sedang menggerogoti peti, isteri si pandai emas terbangun dan berkata pada suaminya, “Wah, suara apa itu?”

Si kucing yang melihat pemilik rumah terbangun, segera mengeong untuk mengalihkan perhatiannya. Sementara si anjing yang mendengar suara kucing segera menggonggong, agar terkesan seperti sedang mengejar kucing.

“Sepertinya ada anjing yang sedang mengejar kucing,” kata si pandai emas lalu melanjutkan tidurnya kembali.

Setelah berhasil melubangi peti, si tikus segera mengambil cincin ajaib itu dan bersama si kucing dan si anjing berlalu dari rumah si pandai emas. Namun, sewaktu mereka menyeberangi sungai untuk sampai di rumah Nang Butuh Mosel, cincin yang dipegang oleh si tikus terjatuh. Untunglah pada saat itu ada seekor katak yang bersedia menyelam dan mengambilnya, sehingga ketiga binatang itu tidak pulang dengan tangan hampa.

Sesampainya di rumah cincin itu langsung diberikan kepada majikannya. Nang Butuh Mosel dan keluarganya yang telah lama menanti, segera mencoba cincin itu untuk memastikan keasliannya. Dan, setelah dicoba dengan memasukkan sebatang lidi, ternyata lidi seketika berubah menjadi emas. Keluarga Nang Butuh Mosel menjadi sangat bahagia dan sejak saat itu mereka selalu menjaga cincin ajaib pemberian ular besar dengan sebaik-baiknya.A



I Teruna Tua

I Teruna Tua

Di sebuah desa ada seorang bujangan yang sudah lanjut usia alias bujang lapuk yang bernama I Teruna Tua. Orang ini kira-kira berumur lebih dari lima puluh tahun. Sampai umur setua itu ia masih melajang, karena ia hanya mau mengambil isteri apabila ada perempuan yang hari larinya sama dengan dirinya.

Setelah menunggu bertahun-tahun, pada suatu hari yang bertepatan dengan hari ulang tahunnya, di desanya ada seorang bayi perempuan lahir. Tiga hari kemudian, saat si bayi telah lepas tali pusatnya, I Teruna Tua segera membuat tongkat dari tongkol jagung. Setelah tongkat jadi, ia langsung menuju ke rumah orang tua si bayi.

Sesampai di rumah si bayi, I Teruna Tua disambut oleh ayah si bayi: “Oh Kakak datang.” Ayah bayi itu memanggil Kakak, karena I Teruna Tua lebih tua daripada dirinya.

“Kata orang, isterimu baru saja melahirkan tiga hari yang lalu. Laki-laki atau perempuan?” tanya I Teruna Tua.

“Oh, perempuan.”

“Apakah sehat?”

“Ya sehat keadaannya.”

“Kapan melakukan upacara tanggal tali pusat?”

“Hari ini.”

“Baiklah. Sekarang begini saja. Karena kebetulan hari ini engkau akan melakukan upacara, saya akan menitipkan tongkat di sini.”

“Ya. Silahkan taruh di bawah kolong bale ini!”

I Teruna Tua lantas menaruh tongkat di kolong bale dan kemudian berkata, “Tongkat ini jangan diberikan jika ada orang yang memintanya!”

“Tidak,” jawab orang itu.

Setelah berselang beberapa bulan lamanya, I Teruna Tua mendatangi lagi rumah si bayi.

“Kak, mengapa sudah lama tak pernah kemari?” tanya orang tua si bayi.

Tanpa menghiraukan pertanyaan tuan rumah, I Teruna Tua malah balik bertanya, “Sekarang di mana tongkatku? Kenapa tak kelihatan?”

Saat itu di bawah bale tempat dahulu tongkat I Teruna Tua diletakkan, dilihat ada banyak sekali rayap yang sedang memakan tongkat. Oleh karena tongkat sudah hampir habis dimakan rayap, maka I Teruna Tua berkata pada si pemilik rumah yang bernama Pak Kayan: “Sekarang begini saja Pan Kayan, karena tongkatku sudah habis di makan rayap, maka rayap itu menjadi milikku, dan akan kutitipkan lagi di sini.”

Beberapa bulan kemudian I Teruna Tua kembali lagi ke rumah Pan Kayan untuk melihat rayap-rayap miliknya. Saat tiba di rumah Pan Kayan, ia melihat rumah rayapnya sedang dirusak oleh ayam milik Pan Kayan. I Teruna Tua bergegas menemui Pan Kayan dan segera bertanya: “Aduh, ini mengapa dihabiskan rayapku oleh ayammu?”

“Aduh, saya lupa mengusirnya?” jawab Pan Kayan.

“Rayapku habis dimakan oleh ayammu, sekarang ayammu yang kuminta. Tetapi, aku akan tetap menitipkannya di sini,” kata I Teruna Tua.

Oleh karena ayam yang sekarang menjadi milik I Teruna Tua adalah betina, maka lama-kelamaan ayam itu bertelur dan menetas menjadi beberapa ekor anak ayam. Pada saat I Teruna Tua berkunjung lagi ke rumah Pan Kayan, ayam-ayamnya sedang berkumpul mencari makan di halaman samping rumah. Pada waktu itu, tiba-tiba anjing milik Pan Kayan datang menyergap. Melihat kedatangan anjing itu, induk ayam menjadi marah dan langsung menyerang. Namun karena ukurannya jauh lebih kecil, maka sang induk itu pun akhirnya mati diterkam anjing.

Dan, sama seperti tongkat, rayap dan ayam, anjing milik Pan Kayan itu pun akhirnya menjadi milik I Teruna Tua. Anjing itu dititipkan lagi pada Pan Kayan. Namun tidak berapa lama kemudian, anjing milik I Terua Tua mulai berulah lagi. Ia mengejar dan hendak menerkam anak kerbau yang baru lahir milik Pan Kayan. Melihat hal itu induk kerbau menjadi marah dan langsung menanduk si anjing hingga mati.

Beberapa bulan kemudian I Teruna Tua datang lagi untuk melihat keadaan anjingnya. Setelah bertemu dengan Pan Kayan, I Teruna Tua diberi penjelasan tentang anjingnya yang telah mati ditanduk oleh kerbau milik Pan Kayan. Mendengar penjelasan itu I eruna Tua berkata: “Sekarang kerbau itu pun akan kuambil sebagai ganti anjingku. Namun karena saya kasihan melihat anak kerbau itu yang masih kecil, maka saya akan meminjamkan induknya kepadamu.”

Suatu hari saat Pan Kayan selesai memandikan kerbau milik I Teruna Tua, kerbau itu kemudian diikatnya di sebuah pohon mangga yang besar dan sangat lebat buahnya. Namun, nasib naas menimpa si kerbau. Tidak berapa lama setelah si kerbau ditambatkan, sebuah cabang pohon mangga tiba-tiba patah dan menimpa si kerbau hingga mati. Pada waktu itu kebetulan sekali I Teruna Tua melihatnya, “Wah kenapa ini, badan kerbauku terkujur ditimpa pohon mangga?”

“Wah sial. Patah cabang mangga yang besar ini karena terlalu lebat buahnya,” jawab Pan Kayan.

“Wah, kalau begitu pohon mangga ini akan kuambil sebagai ganti kerbauku,” kata I Teruna Tua.

“Ya. Apa boleh buat. Ambillah,” demikian kata Pan Kayan.

Selang beberapa tahun kemudian, anak Pan Kayan sudah tumbuh dewasa. Pada saat itu, secara kebetulan buah mangga milik I Teruna Tua sedang berbuah. Namun, I Teruna Tua belum juga berkunjung ke sana. Ia hanya mengintai sampai buah mangganya tinggal dua buah. Saat buah itu tinggal dua buah, anak perempuan Pan Kayan itu mengambil dan mengupasnya. Belum selesai mengupas, tiba-tiba I Teruna Tua datang dan berkata: “Mengapa sudah habis manggaku?”

“Ini masih dua buah,” jawab anak Pan Kayan yang bernama Wayan.

“Siapa yang mengupas?”

“Saya sendiri yang memungut dan mengupasnya,” jawab Wayan.

I Teruna Tua langsung mendatangi Pan Kayan dan berkata: “Anakmu telah menghabiskan buah manggaku. Oleh karena itu, dia akan kuambil sebagai pengganti manggaku.”

“Apa yang akan aku perbuat sekarang?” tanya Pan Kayan.

“Terserahlah, sebab aku melihat sendiri anakmu yang mengupas manggaku.”

“Jika demikian baiklah,” demikian jawab Pan Kayan.

Singkat cerita, anak itu tidak dititipkan kepada Pan Kayan, melainkan diambil dan dikawini sendiri oleh I Teruna Tua. Beberapa bulan kemudian, isterinya hamil dan akhirnya melahirkan seorang bayi perempuan.

Suatu hari saat akan menumbuk padi, isterinya berkata: “Pak, tolong bawakan anak kita.”

“Jangan panggil bapak, sebaiknya panggil kakak saja!” kata suaminya.

“Ya Kak. Tolong kakak jaga anak ini, saya akan menumbuk padi,” sahutnya isterinya.

“Baiklah!”

Saat ditinggal oleh isterinya itu, anaknya selalu menangis. Untuk menghentikan tangisan anaknya, I Teruna tua kemudian menyanyikan lagu tentang asal-usul si anak itu. “Diam anakku, ibumu asal mulanya adalah sebuah tongkat, setelah tongkat menjadi rayap, setelah rayap menjadi ayam, setelah ayam menjadi anjing, setelah anjing menjadi kerbau, setelah kerbau menjadi mangga, setelah mangga baru menjadi ibumu sendiri.”

Mendengar nyanyian itu isterinya menjadi marah serta melemparkan alunya. Kemudian ia mendatangi I Teruna Tua dan berkata: “Peliharalah anakmu itu. Aku ini orang hina yang berasal dari tongkat.” Setelah itu isterinya pergi meninggalkan I Teruna Tua menuju ke rumah orang tuanya.

Setelah isterinya pergi, I Teruna Tua segera menyusulnya. Sampai di rumah mertuanya, I Teruna Tua berkata pada isterinya: “Kasihanilah anakmu. Mari kita pulang!”

“Aku tak akan ke sana dan menjadi pelayan orang tua bangka sepertimu. Walaupun dijemput dengan juli emas1 aku tak mau kembali,” demikian kata isterinya.

Demikianlah, walaupun I Teruna Tua terus membujuk, namun isterinya tetap tidak mau pulang. Akhirnya, karena putus asa, I Teruna Tua lalu memberikan anaknya pada mertuanya untuk dipelihara. Kemudian ia kembali pulang ke rumahnya

Setelah sekian lama peristiwa itu berlalu, suatu hari mertuanya akan melakukan upacara ngrasakin2 di bawah pohon mangga yang dahulu menjadi milik I Teruna Tua. Mendengar mertuanya akan mengadakan upacara, I Teruna Tua yang masih kesal karena ditinggalkan isterinya berniat akan mempermainkan mertuanya. I Teruna Tua segera menuju ke rumah mertuanya dan memanjat pohon mangga itu.

Tidak berapa lama kemudian mertuanya pun datang dan langsung membakar dupa dan mempersiapkan tepung tawar3 di bawah pohon mangga tempat I Teruna tua bersembunyi. Setelah itu Pan Kayan pun berkata: “Dewa Ratu Jero Sedahan Abian, hamba sekarang menghaturkan tepung tawar majagau.”

“Cek…cek…cek…cek…cek,” sahut menantunya dari atas seperti suara cicak.

“Hamba menghaturkan asap kemenyan majagu dan babi guling supaya Jero Sedahan Abian sudi menikmati baktiku ini,” kata Pan Kayan.

“Cek…cek…cek…cek…cek…cek. Jika tak disediakan juga satu paha babi guling untuk menantuku, tak akan kuterima baktimu!” ujar I Teruna Tua dari atas pohon.

“Baiklah, Jero Sedahan Abian. Tatapi, bagaimana caranya saya memberikan paha babi guling pada menantu saya?”

“Suruh saja supaya anakmu membawakannya ke rumah suaminya,” demikian kata I Teruna Tua.

Singkat cerita, isteri I Teruna Tua lalu disuruh oleh ayahnya ke rumah suaminya untuk menghantarkan paha babi guling. Setelah berada di sana, dengan segala bujuk rayunya, akhirnya I Wayan bersedia berkumpul dan hidup serumah lagi dengan I Teruna Tua. Begitulah, suami-isteri itu hidup rukun kembali hingga akhir hayat.




I Cikampeng

I Cikampeng


Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa yang bernama Pandan Sekar, hiduplah seorang laki-laki yang bernama I Cikampeng. I Cikampeng ini usianya diatas 40 tahun, namun belum juga mau bersiteri. Di desanya, I Cikampeng termasuk orang kaya, karena mempunyai banyak sawah dan ladang. Namun, walau dianggap sebagai orang kaya, I Cikampeng sangat kikir. Ia seakan tidak rela untuk mengeluarkan harta kekayaannya, walau untuk kebutuhannya sendiri. Kekikirannya itu disebabkan karena I Cikampeng adalah orang yang sangat bodoh. Ia tidak pernah sekolah karena sejak kecil telah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.


Untuk makan sehari-hari, ia hanya membeli sebungkus nasi putih dengan lauk sayur atau ikan asin. Nasi beserta lauknya itu ia bagi menjadi tiga untuk makan pagi, siang dan malam. Pikirnya, kalau memasak sendiri, maka ia harus membeli segala peralatan masak dan itu membutuhkan uang. Sementara untuk pakaian, ia hanya mempunyai satu stel pakaian yang selalu melekat di badannya. Walaupun pakaian itu sudah sangat usang dan robek-robek, tetapi ia tetap memakainya dan tidak berkeinginan untuk membeli yang baru. Sedangkan untuk urusan kebersihan tubuh, ia tidak pernah mau membeli sabun, odol dan sikat gigi. Kalau ia ingin mandi, cukup dengan berendam beberapa menit di sungai. Hal ini membuat badannya terlihat kotor dan tidak sedap baunya.


Suatu hari, saat I Cikampeng sedang berkumpul bersama para lelaki sekampungnya di rumah salah seorang penduduk yang sedang menyelenggarakan pesta perkawinan, salah seorang undangan yang hadir bertanya kepadanya, mengenai kapan ia akan menikah. Pertanyaan itu juga dilontarkan oleh beberapa orang yang hadir di situ. Ada juga yang menasihatinya agar lekas mencari perempuan sebagai pendamping hidup.


Mendengar banyak orang bertanya kepadanya, I Cikampeng kemudian menjawab, “Saya sebenarnya ingin segera kawin. Namun, sampai hari ini saya belum menemukan seorang perempuan pun yang segala tingkah-lakunya sama dengan saya. Perempuan yang saya maksud itu haruslah perempuan yang berbadan kurus dan hidupnya selalu irit.”


Salah seorang diantara yang hadir yang kebetulan mengenal perempuan yang masuk dalam kriteria I Cikampeng, segera berkata, “Saya kebetulan mengenal perempuan yang ciri-cirinya sama seperti yang engkau sebutkan itu. Namanya I Mayang Sari. Dia tinggal di desa sebelah. Dia bertubuh sangat kurus dan “iritnya” sama seperti engkau. Saya rasa dia cocok denganmu.”


Sesudah berpikir sejenak, I Cikampeng berkata, “Baiklah. Nanti saya akan mencarinya.”


Singkat Cerita, I Cikampeng pun menemui Mayang Sari. Setelah beberapa kali bertemu dan dirasa cocok, maka ia pun segera mengawini Mayang Sari. Saat mereka kawin itu, banyak para tetangga yang datang. Di antara mereka ada yang membawa beras, seperangkat pakaian, sirih pinang, lauk-pauk, peralatan dapur dan lain sebagainya. I Cikampeng semakin bahagia hatinya, karena dengan adanya hadiah-hadiah dari para tetangganya berarti ia akan semakin bertambah kaya, dan tidak perlu lagi untuk membeli beras, lauk pauk, dan peralatan rumah tangga lagi. Paling tidak untuk beberapa bulan ke depan, ia tidak perlu mengeluarkan harta kekayaannya barang sepeser pun.


Setelah pesta perkawinan usai, malam harinya ketika Cikampeng akan mengajak isterinya tidur, Mayang Sari ingin diantarkan ke kamar kecil terlebih dahulu. Letak kamar kecil itu sekitar 10 meter di depan rumah. Sesudah Mayang Sari membuang hajatnya, ia dibimbing oleh I Cikampeng menuju rumah. Namun saat berada di beranda rumah, Mayang Sari berkata, “Janganlah ke kamar dulu, lebih baik di sini sambil melihat-lihat bintang…”


“Baiklah kalau itu maumu,” kata I Cikampeng.


Saat mereka duduk di beranda, sambil menengadah Mayang Sari bertanya, “Cikampeng, bintang apakah itu yang berbaris seperti bajak?”


“Oh, itu bintang bajak,” sahut I Cikampeng.


“Lalu, bintang apakah itu yang berjalan cepat dan mempunyai ekor?” tanya Mayang Sari.


“Itu bintang berekor,” sahut I Cikampeng sekenanya.


Kemudian, sambil menunjuk ke arah selatan Mayang Sari bertanya lagi, “Cikampeng, bintang apakah itu?”


I Cikampeng menyahut, “Bintang Kartika.”


Begitulah, sampai hampir menjelang pagi I Cikampeng terus menjawab pertanyaan Mayang Sari yang kepalanya berada di pangkuannya. Namun, karena I Cikampeng sangat bodoh, ia tidak mengetahui kalau Mayang Sari sebenarnya sedang terserang asma. Tubuhnya pun kian melemah dan kemudian mati.


I Cikampeng yang menyangka isterinya telah tertidur di pangkuannya, segera menggotongnya menuju ke kamar. Sesudah itu, ia pun pergi untuk menggarap sawahnya.


Sore harinya ketika ia pulang dari sawah, dilihatnya Mayang Sari masih tertidur di kamar. I Cikampeng pun segera mendekat dan berkata, “Mayang Sari, bangunlah. Aku sudah kembali dari sawah.”


Namun karena isterinya tidak bergerak, maka ia pun segera keluar lagi dan duduk di serambi. Dalam pikirannya, lebih baik isterinya tidur terus, sehingga ia tidak perlu diberi makan. Jadi, persediaan beras yang diberikan oleh para tetangga waktu mereka kawin akan semakin lama habisnya.


Beberapa hari kemudian, para tetangga mulai mencium bau busuk seperti mau mayat di sekitar rumah I Cikampeng. Mereka lalu bersama-sama pergi ke rumah I Cikampeng. Setelah bertemu dengan I Cikampeng, salah seorang diantara mereka bertanya, “Cikampeng, bau apakah yang datang dari rumahmu?”


I Cikampeng menjawab, “Ndak tahulah, aku juga mencium bau yang sangat busuk.”


Tetangganya bertanya lagi, “Isterimu kok tidak kelihatan. Ke mana dia?”


“Ia sedang tidur. Sudah sejak empat hari yang lalu ia tidur,” jawab I Cikampeng.


“Wah, di mana ia tidur? Kami ingin melihatnya!” seru para tetangga sambil terkejut.


“Dia ada di kamar,” jawab I Cikampeng.


Setelah itu, para tetangga langsung berjalan ke arah kamar I Cikampeng. Saat mereka membuka pintu kamar, segeralah tercium bau busuk dari mayat Mayang Sari. Mereka melihat, tubuh Mayang Sari telah terbujur kaku dan dikerubuti lalat hijau.


Salah seorang di antara mereka kemudian berlari menemui I Cikampeng yang berada di serambi, dan berkata, “Cikampeng, isterimu itu sudah mati! Cepatlah kau beli kain kafan untuk membungkusnya, lalu buatkan upacara dan kuburkan.”


“Bagaimana? Mengapa isteriku dikatakan sudah mati? Dia itu sedang tidur,” kata I Cikampeng.


“Benar-benar bodoh kau ini. Isterimu itu sudah berbau busuk. Dia sudah mati dan bukan sedang tidur!” kata orang itu.


“O. Jadi kalau orang sudah berbau busuk berarti ia disebut mati?” tanya I Cikampeng.


“Dasar goblok. Yah begitulah!” kata tetangganya setengah emosi.


Singkat cerita, I Cikampeng segera pergi ke pasar untuk membeli kain kafan. Setelah itu, dibantu oleh para tetangganya, ia mengafani siterinya, membuat upacara kematian yang sangat sederhana dan kemudian menguburkannya di pemakaman desa.


Selang beberapa hari kemudian, ketika I Cikampeng sedang makan malam di dapur, tiba-tiba ia kentut. Oleh karena sejak 3 hari yang lalu ia belum buang air besar, maka kentutnya menjadi bau sekali. I Cikampeng yang mencium bau kentutnya sendiri itu, menyangka dirinya telah mati. Ia kemudian mengambil cangkul dan langsung pergi ke kuburan untuk mengubur dirinya sendiri. Dalam pikirannya, lebih baik mengubur diri sendiri daripada harus meminta bantuan orang lain, karena akan merepotkan dan juga mengeluarkan biaya banyak.


Sesampai di kuburan, ia lalu menggali lubang di samping makam isterinya. Setelah lubang itu dirasa cukup dalam, ia kemudian masuk ke dalamnya dan segera mengubur dirinya. Namun lubang itu ternyata tidak cukup dalam, sehingga kepalanya masih tersembul di atas tanah.


Keesokan paginya, saat orang-orang akan pergi ke sawah, mereka melihat ada sebuah kepala tersembul di tanah pekuburan. Pada mulanya mereka mengira itu kepala leyak. Namun ketika didekati, tahulah mereka bahwa itu adalah kepala I Cikampeng. Kemudian, salah seorang di antara mereka berkata, “Cikampeng, kenapa engkau menanam dirimu sendiri?”


I Cikampeng menjawab pendek, “Aku sedang mati…”


Sambil menahan tawa, orang itu bertanya lagi, “Kalau engkau telah mati, mengapa bisa berbicara?”


“Ini cuma berbicara. Tadi malam aku malah bisa berjalan dan membuat lubang di sini,” jawab I Cikampeng.


Mendengar jawaban itu, maka meledaklah tawa orang-orang yang mengelilinginya.


Salah seorang yang paling tua dan yang tidak ikut tertawa kemudian berkata, “Kenapa dia ditertawakan? Kalian semua tahu kalau dia itu orang bodoh. Kasihanlah dia. Mari kita gali.”


“Baiklah!” jawab mereka serentak, lalu mulai menggali tanah tempat I Cikampeng menguburkan dirinya sendiri.


Setelah I Cikampeng berhasil dikeluarkan dari dalam tanah, salah seorang dari mereka bertanya, “Cikampeng, mengapa engkau menyangka kalau dirimu telah mati?”


Sambil jongkok, I Cikampeng menjawab, “Waktu isteriku berbau busuk, para tetanggaku mengatakan bahwa ia telah mati. Lalu, tadi malam aku sendiri berbau busuk. Berarti aku pun telah mati. Oleh karena itu aku tanam diriku.”


“Dasar bodoh. Kalau orang mati itu, selain berbau busuk, dia juga tidak bernapas lagi. Dan kau, napasmu masih ada. Lalu apamu yang berbau busuk? Barangkali engkau kentut?” tanya orang itu lagi.


“Bukan, bukan kentut. Cuma pantatku keluar angin,” jawab I Cikampeng polos.


Mendengar perkataan I Cikampeng ini, maka pecahlah tawa mereka semuanya.




Kategori

Kategori