I Cikampeng


Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa yang bernama Pandan Sekar, hiduplah seorang laki-laki yang bernama I Cikampeng. I Cikampeng ini usianya diatas 40 tahun, namun belum juga mau bersiteri. Di desanya, I Cikampeng termasuk orang kaya, karena mempunyai banyak sawah dan ladang. Namun, walau dianggap sebagai orang kaya, I Cikampeng sangat kikir. Ia seakan tidak rela untuk mengeluarkan harta kekayaannya, walau untuk kebutuhannya sendiri. Kekikirannya itu disebabkan karena I Cikampeng adalah orang yang sangat bodoh. Ia tidak pernah sekolah karena sejak kecil telah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.


Untuk makan sehari-hari, ia hanya membeli sebungkus nasi putih dengan lauk sayur atau ikan asin. Nasi beserta lauknya itu ia bagi menjadi tiga untuk makan pagi, siang dan malam. Pikirnya, kalau memasak sendiri, maka ia harus membeli segala peralatan masak dan itu membutuhkan uang. Sementara untuk pakaian, ia hanya mempunyai satu stel pakaian yang selalu melekat di badannya. Walaupun pakaian itu sudah sangat usang dan robek-robek, tetapi ia tetap memakainya dan tidak berkeinginan untuk membeli yang baru. Sedangkan untuk urusan kebersihan tubuh, ia tidak pernah mau membeli sabun, odol dan sikat gigi. Kalau ia ingin mandi, cukup dengan berendam beberapa menit di sungai. Hal ini membuat badannya terlihat kotor dan tidak sedap baunya.


Suatu hari, saat I Cikampeng sedang berkumpul bersama para lelaki sekampungnya di rumah salah seorang penduduk yang sedang menyelenggarakan pesta perkawinan, salah seorang undangan yang hadir bertanya kepadanya, mengenai kapan ia akan menikah. Pertanyaan itu juga dilontarkan oleh beberapa orang yang hadir di situ. Ada juga yang menasihatinya agar lekas mencari perempuan sebagai pendamping hidup.


Mendengar banyak orang bertanya kepadanya, I Cikampeng kemudian menjawab, “Saya sebenarnya ingin segera kawin. Namun, sampai hari ini saya belum menemukan seorang perempuan pun yang segala tingkah-lakunya sama dengan saya. Perempuan yang saya maksud itu haruslah perempuan yang berbadan kurus dan hidupnya selalu irit.”


Salah seorang diantara yang hadir yang kebetulan mengenal perempuan yang masuk dalam kriteria I Cikampeng, segera berkata, “Saya kebetulan mengenal perempuan yang ciri-cirinya sama seperti yang engkau sebutkan itu. Namanya I Mayang Sari. Dia tinggal di desa sebelah. Dia bertubuh sangat kurus dan “iritnya” sama seperti engkau. Saya rasa dia cocok denganmu.”


Sesudah berpikir sejenak, I Cikampeng berkata, “Baiklah. Nanti saya akan mencarinya.”


Singkat Cerita, I Cikampeng pun menemui Mayang Sari. Setelah beberapa kali bertemu dan dirasa cocok, maka ia pun segera mengawini Mayang Sari. Saat mereka kawin itu, banyak para tetangga yang datang. Di antara mereka ada yang membawa beras, seperangkat pakaian, sirih pinang, lauk-pauk, peralatan dapur dan lain sebagainya. I Cikampeng semakin bahagia hatinya, karena dengan adanya hadiah-hadiah dari para tetangganya berarti ia akan semakin bertambah kaya, dan tidak perlu lagi untuk membeli beras, lauk pauk, dan peralatan rumah tangga lagi. Paling tidak untuk beberapa bulan ke depan, ia tidak perlu mengeluarkan harta kekayaannya barang sepeser pun.


Setelah pesta perkawinan usai, malam harinya ketika Cikampeng akan mengajak isterinya tidur, Mayang Sari ingin diantarkan ke kamar kecil terlebih dahulu. Letak kamar kecil itu sekitar 10 meter di depan rumah. Sesudah Mayang Sari membuang hajatnya, ia dibimbing oleh I Cikampeng menuju rumah. Namun saat berada di beranda rumah, Mayang Sari berkata, “Janganlah ke kamar dulu, lebih baik di sini sambil melihat-lihat bintang…”


“Baiklah kalau itu maumu,” kata I Cikampeng.


Saat mereka duduk di beranda, sambil menengadah Mayang Sari bertanya, “Cikampeng, bintang apakah itu yang berbaris seperti bajak?”


“Oh, itu bintang bajak,” sahut I Cikampeng.


“Lalu, bintang apakah itu yang berjalan cepat dan mempunyai ekor?” tanya Mayang Sari.


“Itu bintang berekor,” sahut I Cikampeng sekenanya.


Kemudian, sambil menunjuk ke arah selatan Mayang Sari bertanya lagi, “Cikampeng, bintang apakah itu?”


I Cikampeng menyahut, “Bintang Kartika.”


Begitulah, sampai hampir menjelang pagi I Cikampeng terus menjawab pertanyaan Mayang Sari yang kepalanya berada di pangkuannya. Namun, karena I Cikampeng sangat bodoh, ia tidak mengetahui kalau Mayang Sari sebenarnya sedang terserang asma. Tubuhnya pun kian melemah dan kemudian mati.


I Cikampeng yang menyangka isterinya telah tertidur di pangkuannya, segera menggotongnya menuju ke kamar. Sesudah itu, ia pun pergi untuk menggarap sawahnya.


Sore harinya ketika ia pulang dari sawah, dilihatnya Mayang Sari masih tertidur di kamar. I Cikampeng pun segera mendekat dan berkata, “Mayang Sari, bangunlah. Aku sudah kembali dari sawah.”


Namun karena isterinya tidak bergerak, maka ia pun segera keluar lagi dan duduk di serambi. Dalam pikirannya, lebih baik isterinya tidur terus, sehingga ia tidak perlu diberi makan. Jadi, persediaan beras yang diberikan oleh para tetangga waktu mereka kawin akan semakin lama habisnya.


Beberapa hari kemudian, para tetangga mulai mencium bau busuk seperti mau mayat di sekitar rumah I Cikampeng. Mereka lalu bersama-sama pergi ke rumah I Cikampeng. Setelah bertemu dengan I Cikampeng, salah seorang diantara mereka bertanya, “Cikampeng, bau apakah yang datang dari rumahmu?”


I Cikampeng menjawab, “Ndak tahulah, aku juga mencium bau yang sangat busuk.”


Tetangganya bertanya lagi, “Isterimu kok tidak kelihatan. Ke mana dia?”


“Ia sedang tidur. Sudah sejak empat hari yang lalu ia tidur,” jawab I Cikampeng.


“Wah, di mana ia tidur? Kami ingin melihatnya!” seru para tetangga sambil terkejut.


“Dia ada di kamar,” jawab I Cikampeng.


Setelah itu, para tetangga langsung berjalan ke arah kamar I Cikampeng. Saat mereka membuka pintu kamar, segeralah tercium bau busuk dari mayat Mayang Sari. Mereka melihat, tubuh Mayang Sari telah terbujur kaku dan dikerubuti lalat hijau.


Salah seorang di antara mereka kemudian berlari menemui I Cikampeng yang berada di serambi, dan berkata, “Cikampeng, isterimu itu sudah mati! Cepatlah kau beli kain kafan untuk membungkusnya, lalu buatkan upacara dan kuburkan.”


“Bagaimana? Mengapa isteriku dikatakan sudah mati? Dia itu sedang tidur,” kata I Cikampeng.


“Benar-benar bodoh kau ini. Isterimu itu sudah berbau busuk. Dia sudah mati dan bukan sedang tidur!” kata orang itu.


“O. Jadi kalau orang sudah berbau busuk berarti ia disebut mati?” tanya I Cikampeng.


“Dasar goblok. Yah begitulah!” kata tetangganya setengah emosi.


Singkat cerita, I Cikampeng segera pergi ke pasar untuk membeli kain kafan. Setelah itu, dibantu oleh para tetangganya, ia mengafani siterinya, membuat upacara kematian yang sangat sederhana dan kemudian menguburkannya di pemakaman desa.


Selang beberapa hari kemudian, ketika I Cikampeng sedang makan malam di dapur, tiba-tiba ia kentut. Oleh karena sejak 3 hari yang lalu ia belum buang air besar, maka kentutnya menjadi bau sekali. I Cikampeng yang mencium bau kentutnya sendiri itu, menyangka dirinya telah mati. Ia kemudian mengambil cangkul dan langsung pergi ke kuburan untuk mengubur dirinya sendiri. Dalam pikirannya, lebih baik mengubur diri sendiri daripada harus meminta bantuan orang lain, karena akan merepotkan dan juga mengeluarkan biaya banyak.


Sesampai di kuburan, ia lalu menggali lubang di samping makam isterinya. Setelah lubang itu dirasa cukup dalam, ia kemudian masuk ke dalamnya dan segera mengubur dirinya. Namun lubang itu ternyata tidak cukup dalam, sehingga kepalanya masih tersembul di atas tanah.


Keesokan paginya, saat orang-orang akan pergi ke sawah, mereka melihat ada sebuah kepala tersembul di tanah pekuburan. Pada mulanya mereka mengira itu kepala leyak. Namun ketika didekati, tahulah mereka bahwa itu adalah kepala I Cikampeng. Kemudian, salah seorang di antara mereka berkata, “Cikampeng, kenapa engkau menanam dirimu sendiri?”


I Cikampeng menjawab pendek, “Aku sedang mati…”


Sambil menahan tawa, orang itu bertanya lagi, “Kalau engkau telah mati, mengapa bisa berbicara?”


“Ini cuma berbicara. Tadi malam aku malah bisa berjalan dan membuat lubang di sini,” jawab I Cikampeng.


Mendengar jawaban itu, maka meledaklah tawa orang-orang yang mengelilinginya.


Salah seorang yang paling tua dan yang tidak ikut tertawa kemudian berkata, “Kenapa dia ditertawakan? Kalian semua tahu kalau dia itu orang bodoh. Kasihanlah dia. Mari kita gali.”


“Baiklah!” jawab mereka serentak, lalu mulai menggali tanah tempat I Cikampeng menguburkan dirinya sendiri.


Setelah I Cikampeng berhasil dikeluarkan dari dalam tanah, salah seorang dari mereka bertanya, “Cikampeng, mengapa engkau menyangka kalau dirimu telah mati?”


Sambil jongkok, I Cikampeng menjawab, “Waktu isteriku berbau busuk, para tetanggaku mengatakan bahwa ia telah mati. Lalu, tadi malam aku sendiri berbau busuk. Berarti aku pun telah mati. Oleh karena itu aku tanam diriku.”


“Dasar bodoh. Kalau orang mati itu, selain berbau busuk, dia juga tidak bernapas lagi. Dan kau, napasmu masih ada. Lalu apamu yang berbau busuk? Barangkali engkau kentut?” tanya orang itu lagi.


“Bukan, bukan kentut. Cuma pantatku keluar angin,” jawab I Cikampeng polos.


Mendengar perkataan I Cikampeng ini, maka pecahlah tawa mereka semuanya.





EmoticonEmoticon