SUNGAI JODOH (Batam)


Pada suatu masa di pedalaman pulau Batam, ada sebuah desa yang didiami seorang gadis yatim piatu bernama Mah Bongsu. Ia menjadi pembantu rumah tangga dari seorang majikan bernama Mak Piah. Mak Piah mempunyai seorang putri bernama Siti Mayang. Pada suatu hari, Mah Bongsu mencuci pakaian majikannya di sebuah sungai. Ular! teriak Mah Bongsu ketakutan ketika melihat seekor ulat mendekat. Ternyata ular itu tidak ganas, ia berenang ke sana ke mari sambil menunjukkan luka di punggungnya. Mah Bongsu memberanikan diri mengambil ular yang kesakitan itu dan membawanya pulang ke rumah.

Mah Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular tersebut menjadi sehat dan bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi sedikit. Mah Bongsu memungut kulit ular yang terkelupas itu, kemudian dibakarnya. Ajaib, setiap Mah Bongsu membakar kulit ular, timbul asap besar. Jika asap mengarah ke Negeri Singapura, maka tiba-tiba terdapat tumpukan emas berlian dan uang. Jika asapnya mengarah ke negeri Jepang, mengalirlah berbagai alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya mengarah ke kota Bandar Lampung, datang berkodi-kodi kain tapis Lampung. Dalam tempo dua, tiga bulan, Mah Bongsu menjadi kaya raya jauh melebihi Mak Piah Majikannya. Kekayaan Mah Bongsu membuat orang bertanya-tanya. Pasti Mah Bongsu memelihara tuyul, kata Mak Piah. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan istrinya itu. Bukan memelihara tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku! Banyak orang menjadi penasaran dan berusaha menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu. Untuk menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu ternyata tidak mudah. Beberapa dari orang dusun yang penasaran telah menyelidiki berhari-hari namun tidak dapat menemukan rahasianya.

Yang penting sekarang ini, kita tidak dirugikan, kata Mak Ungkai kepada tetangganya. Bahkan Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah Bongsu, sebab Mah Bongsu selalu memberi bantuan mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain mereka, Mah Bongsu juga membantu para anak yatim piatu, orang yang sakit dan orang lain yang memang membutuhkan bantuan. Mah Bongsu seorang yang dermawati, sebut mereka.

Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa tersaingi. Hampir setiap malam mereka mengintip ke rumah Mah Bongsu. Wah, ada ular sebesar betis? gumam Mak Piah. Dari kulitnya yang terkelupas dan dibakar bisa mendatangkan harta karun? gumamnya lagi.  Hmm, kalau begitu aku juga akan mencari ular sebesar itu, ujar Mak Piah.  Mak Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia pun mendapatkan seekor ular berbisa. Dari ular berbisa ini pasti akan mendatangkan harta karun lebih banyak daripada yang didapat oleh Mah Bongsu, pikir Mak Piah. Ular itu lalu di bawa pulang. Malam harinya ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. Saya takut! Ular melilit dan menggigitku! teriak Siti Mayang ketakutan. Anakku, jangan takut. Bertaha nlah, ular itu akan mendatangkan harta karun, ucap Mak Piah.  Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin menyayangi ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan makanan dan minuman untuk ularnya, ia tiba-tiba terkejut. Jangan terkejut. Malam ini antarkan aku ke sungai, tempat pertemuan kita dulu, kata ular yang ternyata pandai berbicara seperti manusia. Mah Bongsu mengantar ular itu ke sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi hatinya. Mah Bongsu, Aku ingin membalas budi yang setimpal dengan yang telah kau berikan padaku, ungkap ular itu. Aku ingin melamarmu untuk menjadi istriku, lanjutnya.

Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak bisa menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi bingung.  Ular segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga berubah wujud menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Kulit ular sakti itu pun berubah wujud menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya tempat itu diberi nama desa Tiban asal dari kata ketiban, yang artinya kejatuhan keberuntungan atau mendapat kebahagiaan.  Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan pernikahan dengan pemuda tampan tersebut. Pesta pun dilangsungkan tiga hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan.

Tamu yang datang tiada henti-hentinya memberikan ucapan selamat.  Dibalik kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba sedang dirundung duka, karena Siti Mayang, anak gadisnya meninggal dipatuk ular berbisa. Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi pemuda tampan itu dipercaya sebagai tempat jodoh. Sehingga sungai itu disebut Sungai Jodoh.



HIKMAH :
Sikap tamak, serakah akan mengakibatkan kerugian pada diri sendiri. Sedang sikap menerima apa adanya, mau menghargai orang lain dan rela berkorban demi sesama yang membutuhkan, akan berbuah kebahagiaan.




Piilu Le Lahilote (gorontalo)

Piilu Le Lahilote (gorontalo)

Pada zaman dahulu di suatu tempat di tanah U Duluo lo’u Limo lo Pohite, hiduplah seorang pemuda bernama Lahilote. Perawakannya tegap, badan tinggi besar dan mempunyai kegemaran berburu. Dari hasil buruan itulah ia hidup. Dengan pekerjaan mengejar binatang buruan itu memaksa ia sering moleleyangi (mengembara masuk hutan keluar hutan). Angan-angannya tinggi, hatinya keras, kemauannya kuat, tekadnya kuat sehingga tidak ada sesuatu yang tidak dapat dilaksanakannya.

Di suatu pagi Lahilote seperti biasanya keluar, mengembara mencari binatang buruan. Ia tiba-tiba dikejutkan oleh suara rebut-ribut. Suara itu kadang-kadang lemah, kadang-kadang keras. “Suara apakah gerangan itu?” demikian pertanyaan Lahilote dalam hatinya. Dengan hati yang berdebar-debar, perlahan-lahan ia menuju ke tempat asal suara tersebut. Dalam perjalanan menuju asal suara itu, nampak terdengar olehnya suara itu seperti suara manusia, tetapi siapakah manusia tersebut, belum diketahuinya.

Setelah tiba di tempat suara itu Lahilote mengintip dari tempat yang cukup jauh. Ia melihat tujuh orang wanita sedang mandi di kolam. Semuanya cantik-cantik. Selesai mandi para wanita tersebut kemudian memakai pakaiannya dan tak lama kemudian terbang dan menghilang ke angkasa. Semua kejadian itu tak lepas dari penglihatan Lahilote. Nyatalah baginya bahwa wanita-wanita tersebut adalah Putri lo Owabu (putri kayangan/bidadari) yang turun ke bumi untuk mandi di kolam itu. Memang di hutan itu terdapat sebuah kolam yang airnya jernih dan bening, tetapi tak disangka bahwa kolam itu ternyata digunakan oleh putri kayangan sebagai tempat pemandian mereka.

Setelah mengetahui bahwa putri-putri kayangan sering berdatangan mandi di kolam itu, Lahilote kemudian berusaha selalu datang dan mengintip untuk mencari tahu kapan lagi mereka datang ke tempat itu. Tepat pada hari ke tujuh tibalah nampak oleh Lahilote dari angkasa tujuh buah titik hitam yang melayang-layang di udara. Titik-titik itu makin lama makin jelas, akhirnya turun menuju kolam. Mereka sama-sama menanggalkan sayapnya dan masing-masing terjun ke dalam kolam. Dengan riang gembira sambil bercanda ria mereka timbul tenggelam mandi di kolam itu. Lahilote pun belum menampakkan dirinya dari tempat persembunyian dirinya. Ia masih tetap mengintip dari balik semak-semak. Ia khawatir jangan sampai kepergok oleh mereka dan menyebabkan mereka takut Lahilote tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ia berupaya mencari akal untuk menahan salah seorang gadis itu sekaligus mempersuntingnya sebagai isteri. Setelah menemukan akal, Lahilote dengan kesaktiannya kemudian mengubah diri menjadi seekor ayam hutan jantan kemudian berjalan mengais-ngaiskan kakinya mendekati tempat tumpukkan pakaian dan sayap para putri kayangan kemudian mencuri salah satu dari tujuh sayap itu. Dengan tanpa diketahui oleh putri-putri kayangan ayam yang tadinya sedang mengais-ngais di dekat kolam itu tiba-tiba menghilang dan membawa pulang salah satu sayap mereka.

Setelah mendapatkan pakaian itu Lahilote segera kembali ke rumahnya dan menyembunyikan pakaian tadi di dalam lumbung padi di bagian bawah rumahnya. Kemudian Lahilote kembali ke kolam untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya.

Dilihatnya para gadis itu sudah berkemas naik ke darat dengan berebutan mengambil pakaian masing-masing. Alangkah terkejutnya salah seorang di antara gadis itu ketika menyaksikan pakaiannya tidak ada lagi di tempatnya, sementara temannya satu demi satu berangkat melayang meninggalkannya karena takut ketahuan oleh manusia. Sang gadis dengan hati sedih kemudian mulai mencari pakaiannya. Hampir semua batu dan semak dijelajahinya namun hasilnya nihil, pakaiannya tidak kunjung ditemukannya

Betapa sedihnya gadis itu ditinggal sendirian, sementara teman-temannya terpaksa pergi meninggalkannya terbang ke angkasa. Ia menangis tersedu-sedu hatinya risau mengenang nasibnya yang malang itu. Kejadian itu tak luput dari perhatian Lahilote. Setelah melihat gadis itu sendirian ia kemudian keluar dari persembunyiannya mendekati sang gadis. Ia mulai mencoba merayu dan memikat hati gadis itu dan bertanya “Mengapa Dinda sesedih ini?” Gadis itu tak menjawab, menolehpun tidak, bahkan tangisnya semakin menjadi-jadi. Lahilote kemudian menghibur dan melanjutkan pertanyaannya “Wahai Dinda siapakah namamu, dan dari manakah engkau datang?”. Gadis yang ditanya membisu dan tiada berkata sepatah pun. Ia terus menangis dan menangis. Hatinya sedih memikirkan bagaimana nasibnya kelak.

Lahilote tiada berputus asa, ia tetap menyampaikan kata-kata rayuannya, “Wahai Dinda! Mungkin sudah kehendak Tuhan engkau akan bernasib seperti ini. Tuhan Yang Maha Kuasa telah melaksanakan apa yang telah dikehendaki-Nya. Tidaklah Dinda ridha atas kehendak Tuhan? Kehendak-Nya telah berlaku, mengapa Adinda bersedih dan menyesali diri?” Rupanya kata-kata Lahilote yang terakhir ini termakan di hati sang gadis. Ia menyesal telah menolak kehendak Tuhan yang mungkin sebagai ujian bagi dirinya. Dengan menyadari itu semua, ia kemudian mencoba tersenyum dan secara perlahan menoleh ke arah Lahilote dengan memperlihatkan ekspresi wajah memohon pertolongan. Betapa gembiranya Lahilote, ketika menyaksikan sang gadis tersenyum dan menoleh kepadanya. Lahilote pun seakan mengerti arti pandangan tersebut, dan kemudian tanpa sungkan-sungkan selanjutnya melontarkan pertanyaan, “Siapakah Adinda? Darimana Adinda datang?” Gadis itu kemudian menjawab, “Nama saya Boilode Hulawa, berasal dari kayangan”. Dengan nada menghibur Lahilote pun selanjutnya berkata, “ Wahai Boilode Hulawa, putri kayangan engkau tidak perlu merasa bersedih tinggal di bumi, negeri ini bukan negeri terasing bagimu, aku Lahilote dengan senang hati akan menghibur dan menolong dirimu”. Boilode menjawab, “Wahai Kanda, sesungguhnya negeri ini sangat asing bagiku, aku di sini tidak mempunyai sanak dan tidak mempunyai saudara, tidak beribu, dan tidak berbapak. Aku tidak berkeluarga dan oleh karenanya aku sedih sekali. Tetapi aku cukup mengerti dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, aku pasrah pada nasibku oleh karenanya aku sangat berterima kasih kalau Kanda mau menolongku”. Keduanya pun kemudian berangkat menuju rumah Lahilote. Saat menuju ke rumahnya, Lahilote kemudian menyampaikan keinginannya untuk melamar dan menikahi Boilode Hulawa. Setelah mendengar kata Lahilote itu maka menjawablah Boilode, “Wahai Kanda, tidak beralasan Dinda menolak keinginan Kanda sebab menurut Dinda, mungkin inipun suatu ketentuan yang digariskan Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa hamba akan berjodohkan Kanda. Di negeri yang asing ini aku tidak menemukan seseorang yang dapat mempertanggung jawabkan nasib hidupku ini selain diri Kanda”. Sambil berkata-kata itu tanpa terasa sampailah mereka ke tempat tujuannya.

Atas persetujuan kedua belah pihak, terjalinlah perkawinan yang bahagia dari dua insan yang berasal dari dua negeri yang berjauhan yakni pemuda Lahilote dari Bumi dengan Boilode Hulawa dari kayangan. Mereka mendayung bahtera rumah tangga baru dengan rukun dan damai. Lahilote setiap hari melaksanakan tugasnya sebagai petani dan berburu. Boilode Hulawa pekerjaannya memasak, mencuci pakaian dan urusan rumah tangga lainnya.

Lahilote berusaha agar usaha pertaniannya kian bertambah maka ia bekerja sepanjang hari. Menyaksikan dan merasakan hal itu Boilode mulai berfikir betapa berat hidup di bumi, semua harus dikerjakan sendiri, harus mencari nafkah sendiri jika tidak demikian akan kelaparan. Setelah hidup di dunia ia pun sebagai putri kayangan turut terlibat dalam melaksanakan tugas-tugas yang berat itu. Kadang kala ia terkenang pada negeri asalnya, di sana ia tidak perlu bersusah-susah semuanya serba tersedia. Sedangkan disini ia harus bekerja keras, menyapu halaman, mencuci piring, dan lain-lain yang hal tersebut tidak pernah dilakukannya di negeri kayangan. Hal-hal seperti inilah yang sering terlintas dalam pikiran Boilode Hulawa. Dengan memikirkan kesusahan di bumi ini, Boilode tak henti-hentinya merindukan negeri kayangan, kampung halamannya yang dicintainya, tetapi bagaimana cara untuk kembali masih sulit untuk dipecahkannya, sementara itu kolam untuk pemandian mereka tak pernah dikunjungi lagi oleh saudara-saudaranya. Terpaksalah Boilode harus melaksanakan pekerjaan itu walau bagaimana pun beratnya. Ia telah rela kawin dengan orang bumi dan harus mengabdikan diri sebagai seorang isteri dari suaminya itu, bukankah keadaannya ini adalah sudah merupakan kehendak Yang Maha Kuasa. Menyadari akan hal itu maka Boilode pun berusaha membantu dan meringankan beban suaminya. Dengan kesaktiannya sebagai putri kayangan ia pun dapat dengan satu butir beras saja bisa memasak untuk mencukupi makan dia dan suaminya, tanpa diketahui oleh sang suami.

Pada suatu hari sang suami berfikir, “Beberapa bulan telah berlalu, aku diberi makan dengan secukupnya, tetapi apa sebabnya padi di lumbung tidak berkurang? Dan mengapa pula isteriku tidak pernah menumbuk padi ketika akan memasak, seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang di bumi? Jika seandainya ia menumbuk dengan tanpa aku ketahui, mana dedak sisa hasil menumbuk padi tersebut?” Demikian tanya Lahilote dalam hatinya. Oleh karenanya timbullah niatnya untuk mengamati keadaan isterinya sehari-hari.






Legenda Pesut Mahakam (Kutai)

Ditengah masyarakat yang tinggal di dusun tersebut, terdapat suatu keluarga yang hidup rukun dan damai dalam sebuah pondok yang sederhana. Mereka terdiri dari sepasang suami-istri dan dua orang putra dan putri. Kebutuhan hidup mereka tidak terlalu sukar untuk dipenuhi karena mereka memiliki kebun yang ditanami berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Begitu pula segala macam kesulitan dapat diatasi dengan cara yang bijaksana, sehingga mereka hidup  dengan bahagia selama bertahun-tahun.

Pada suatu ketika, sang ibu terserang oleh suatu penyakit. Walau telah diobati oleh beberapa orang tabib, namun sakit sang ibu tak kunjung sembuh pula hingga akhirnya ia meninggal dunia. Sepeninggal sang ibu, kehidupan keluarga ini mulai tak terurus lagi.  Mereka larut dalam kesedihan yang mendalam karena kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Sang ayah menjadi pendiam dan pemurung, sementara kedua anaknya selalu diliputi rasa bingung, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Keadaan rumah dan kebun mereka kini sudah tak terawat lagi. Beberapa sesepuh desa telah mencoba menasehati sang ayah agar tidak larut dalam kesedihan, namun nasehat-nasehat mereka tak dapat memberikan perubahan padanya. Keadaan ini berlangsung cukup lama.

Suatu hari di dusun tersebut kembali diadakan pesta adat panen. Berbagai pertunjukan dan hiburan kembali digelar. Dalam suatu pertunjukan ketangkasan, terdapatlah seorang gadis yang cantik dan mempesona sehingga selalu mendapat sambutan pemuda-pemuda dusun tersebut bila ia beraksi. Mendengar berita yang demikian itu, tergugah juga hati sang ayah untuk turut menyaksikan bagaimana kehebatan pertunjukan yang begitu dipuji-puji penduduk dusun hingga banyak pemuda yang tergila-gila dibuatnya.

Malam itu adalah malam ketujuh dari acara keramaian yang dilangsungkan. Perlahan-lahan sang ayah berjalan mendekati tempat pertunjukan dimana gadis itu akan bermain. Sengaja ia berdiri di depan agar dapat dengan jelas menyaksikan permainan serta wajah sang gadis. Akhirnya pertunjukan pun dimulai. Berbeda dengan penonton lainnya, sang ayah tidak banyak tertawa geli atau memuji-muji penampilan sang gadis. Walau demikian sekali-sekali ada juga sang ayah tersenyum kecil. Sang gadis melemparkan senyum manisnya kepada para penonton yang memujinya maupun yang menggodanya. Suatu saat, akhirnya bertemu jua pandangan antara si gadis dan sang ayah tadi. Kejadian ini berulang beberapa kali, dan tidak lah diperkirakan sama sekali kiranya bahwa terjalin rasa cinta antara sang gadis dengan sang ayah dari dua orang anak tersebut.

Demikianlah keadaannya, atas persetujuan kedua belah pihak dan restu dari para sesepuh maka dilangsungkanlah pernikahan antara mereka setelah pesta adat di dusun tersebut usai. Dan berakhir pula lah kemuraman keluarga tersebut, kini mulailah mereka menyusun hidup baru. Mereka mulai mengerjakan kegiatan-kegiatan yang dahulunya tidak mereka usahakan lagi. Sang ayah kembali rajin berladang dengan dibantu kedua anaknya, sementara sang ibu tiri tinggal di rumah menyiapkan makanan bagi mereka sekeluarga. Begitulah seterusnya sampai berbulan-bulan lamanya hingga kehidupan mereka cerah kembali.

Dalam keadaan yang demikian, tidak lah diduga sama sekali ternyata sang ibu baru tersebut lama kelamaan memiliki sifat yang kurang baik terhadap kedua anak tirinya. Kedua anak itu baru diberi makan setelah ada sisa makanan dari ayahnya. Sang ayah hanya dapat memaklumi perbuatan istrinya itu, tak dapat berbuat apa-apa karena dia sangat mencintainya. Akhirnya, seluruh rumah tangga diatur dan berada ditangan sang istri muda yang serakah tersebut. Kedua orang anak tirinya disuruh bekerja keras setiap hari tanpa mengenal lelah dan bahkan disuruh mengerjakan hal-hal yang diluar kemampuan mereka.

Pada suatu ketika, sang ibu tiri telah membuat suatu rencana jahat. Ia menyuruh kedua anak tirinya untuk mencari kayu bakar di hutan.
"Kalian berdua hari ini harus mencari kayu bakar lagi!" perintah sang ibu, "Jumlahnya harus tiga kali lebih banyak dari yang kalian peroleh kemarin. Dan ingat! Jangan pulang sebelum kayunya banyak dikumpulkan. Mengerti?!"
"Tapi, Bu..." jawab anak lelakinya, "Untuk apa kayu sebanyak itu...? Kayu yang ada saja masih cukup banyak. Nanti kalau sudah hampir habis, barulah kami mencarinya lagi..."
"Apa?! Kalian sudah berani membantah ya?! Nanti kulaporkan ke ayahmu bahwa kalian pemalas! Ayo, berangkat sekarang juga!!" kata si ibu tiri dengan marahnya.

Anak tirinya yang perempuan kemudian menarik tangan kakaknya untuk segera pergi. Ia tahu bahwa ayahnya telah dipengaruhi sang ibu tiri, jadi sia-sia saja untuk membantah karena tetap akan dipersalahkan jua. Setelah membawa beberapa perlengkapan, berangkatlah mereka menuju hutan. Hingga senja menjelang, kayu yang dikumpulkan belum mencukupi seperti yang diminta ibu tiri mereka. Terpaksa lah mereka harus bermalam di hutan dalam sebuah bekas pondok seseorang agar dapat meneruskan pekerjaan mereka esok harinya. Hampir tengah malam barulah mereka dapat terlelap walau rasa lapar masih membelit perut mereka.

Esok paginya, mereka pun mulai mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya. Menjelang tengah hari, rasa lapar pun tak tertahankan lagi, akhirnya mereka tergeletak di tanah selama beberapa saat. Dan tanpa mereka ketahui, seorang kakek tua datang menghampiri mereka.
"Apa yang kalian lakukan disini, anak-anak?!" tanya kakek itu kepada mereka.
Kedua anak yang malang tersebut lalu menceritakan semuanya, termasuk tingkah ibu tiri mereka dan keadaan mereka yang belum makan nasi sejak kemarin hingga rasanya tak sanggup lagi untuk meneruskan pekerjaan.
"Kalau begitu..., pergilah kalian ke arah sana." kata si kakek sambil menunjuk ke arah rimbunan belukar, "Disitu banyak terdapat pohon buah-buahan. Makanlah sepuas-puasnya sampai kenyang. Tapi ingat, janganlah dicari lagi esok harinya karena akan sia-sia saja. Pergilah sekarang juga!"

Sambil mengucapkan terima kasih, kedua kakak beradik tersebut bergegas menuju ke tempat yang dimaksud. Ternyata benar apa yang diucapkan kakek tadi, disana banyak terdapat beraneka macam pohon buah-buahan. Buah durian, nangka, cempedak, wanyi, mangga dan pepaya yang telah masak tampak berserakan di tanah. Buah-buahan lain seperti pisang, rambutan dan kelapa gading nampak bergantungan di pohonnya. Mereka kemudian memakan buah-buahan tersebut hingga kenyang dan badan terasa segar kembali. Setelah beristirahat beberapa saat, mereka dapat kembali melanjutkan pekerjaan mengumpulkan kayu hingga sesuai dengan yang diminta sang ibu tiri.

Menjelang sore, sedikit demi sedikit kayu yang jumlahnya banyak itu berhasil diangsur semuanya ke rumah. Mereka kemudian menyusun kayu-kayu tersebut tanpa memperhatikan keadaan rumah. Setelah tuntas, barulah mereka naik ke rumah untuk melapor kepada sang ibu tiri, namun alangkah terkejutnya mereka ketika melihat isi rumah yang telah kosong melompong.

Ternyata ayah dan ibu tiri mereka telah pergi meninggalkan rumah itu. Seluruh harta benda didalam rumah tersebut telah habis dibawa serta, ini berarti mereka pergi dan tak akan kembali lagi ke rumah itu. Kedua kakak beradik yang malang itu kemudian menangis sejadi-jadinya. Mendengar tangisan keduanya, berdatanganlah tetangga sekitarnya untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi. Mereka terkejut setelah mengetahui bahwa kedua ayah dan ibu tiri anak-anak tersebut telah pindah secara diam-diam.

Esok harinya, kedua anak tersebut bersikeras untuk mencari orangtuanya. Mereka memberitahukan rencana tersebut kepada tetangga terdekat. Beberapa tetangga yang iba kemudian menukar kayu bakar dengan bekal bahan makanan bagi perjalanan kedua anak itu. Menjelang tengah hari, berangkatlah keduanya mencari ayah dan ibu tiri mereka.

Telah dua hari mereka berjalan namun orangtua mereka belum juga dijumpai, sementara perbekalan makanan sudah habis. Pada hari yang ketiga, sampailah mereka di suatu daerah yang berbukit dan tampaklah oleh mereka asap api mengepul di kejauhan. Mereka segera menuju ke arah tempat itu sekedar bertanya kepada penghuninya barangkali mengetahui atau melihat kedua orangtua mereka.

Mereka akhirnya menjumpai sebuah pondok yang sudah reot. Tampak seorang kakek tua sedang duduk-duduk didepan pondok tersebut. Kedua kakak beradik itu lalu memberi hormat kepada sang kakek tua dan memberi salam.
"Dari mana kalian ini? Apa maksud kalian hingga datang ke tempat saya yang jauh terpencil ini?" tanya sang kakek sambil sesekali terbatuk-batuk kecil.
"Maaf, Tok." kata si anak lelaki, "Kami ini sedang mencari kedua urangtuha kami. Apakah Datok pernah melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masih muda lewat disini?"

Sang kakek terdiam sebentar sambil mengernyitkan keningnya, tampaknya ia sedang berusaha keras untuk mengingat-ingat sesuatu.
"Hmmm..., beberapa hari yang lalu memang ada sepasang suami-istri yang datang kesini." kata si kakek kemudian, "Mereka banyak sekali membawa barang. Apakah mereka itu yang kalian cari?"
"Tak salah lagi, Tok." kata anak lelaki itu dengan gembira, "Mereka pasti urangtuha kami! Ke arah mana mereka pergi, Tok?"
"Waktu itu mereka meminjam perahuku untuk menyeberangi sungai. Mereka bilang, mereka ingin menetap diseberang sana dan hendak membuat sebuah pondok dan perkebunan baru. Cobalah kalian cari di seberang sana."
"Terima kasih, Tok..." kata si anak sulung tersebut, "Tapi..., bisakah Datok mengantarkan kami ke seberang sungai?"
"Datok ni dah tuha... mana kuat lagi untuk mendayung perahu!" kata si kakek sambil terkekeh, "Kalau kalian ingin menyusul mereka, pakai sajalah perahuku yang ada ditepi sungai itu."

Kakak beradik itu pun memberanikan diri untuk membawa perahu si kakek. Mereka berjanji akan mengembalikan perahu tersebut jika telah berhasil menemukan kedua orangtua mereka. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka lalu menaiki perahu dan mendayungnya menuju ke seberang. Keduanya lupa akan rasa lapar yang membelit perut mereka karena rasa gembira setelah mengetahui keberadaan orangtua mereka. Akhirnya mereka sampai di seberang dan menambatkan perahu tersebut dalam sebuah anak sungai. Setelah dua hari lamanya berjalan dengan perut kosong, barulah mereka menemui ujung sebuah dusun yang jarang sekali penduduknya.

Tampaklah oleh mereka sebuah pondok yang kelihatannya baru dibangun. Perlahan-lahan mereka mendekati pondok itu. Dengan perasaan cemas dan ragu si kakak menaiki tangga dan memanggil-manggil penghuninya, sementara si adik berjalan mengitari pondok hingga ia menemukan jemuran pakaian yang ada di belakang pondok. Ia pun teringat pada baju ayahnya yang pernah dijahitnya karena sobek terkait duri, setelah didekatinya maka yakinlah ia bahwa itu memang baju ayahnya. Segera ia berlari menghampiri kakaknya sambil menunjukkan baju sang ayah yang ditemukannya di belakang. Tanpa pikir panjang lagi mereka pun memasuki pondok dan ternyata pondok tersebut memang berisi barang-barang milik ayah mereka.

Rupanya orangtua mereka terburu-buru pergi, sehingga di dapur masih ada periuk yang diletakkan diatas api yang masih menyala. Didalam periuk tersebut ada nasi yang telah menjadi bubur. Karena lapar, si kakak akhirnya melahap nasi bubur yang masih panas tersebut sepuas-puasnya. Adiknya yang baru menyusul ke dapur menjadi terkejut melihat apa yang sedang dikerjakan kakaknya, segera ia menyambar periuk yang isinya tinggal sedikit itu. Karena takut tidak kebagian, ia langsung melahap nasi bubur tersebut sekaligus dengan periuknya.

Karena bubur yang dimakan tersebut masih panas maka suhu badan mereka pun menjadi naik tak terhingga. Dalam keadaan tak karuan demikian, keduanya berlari kesana kemari hendak mencari sungai. Setiap pohon pisang yang mereka temui di kiri-kanan jalan menuju sungai, secara bergantian mereka peluk sehingga pohon pisang tersebut menjadi layu. Begitu mereka tiba di tepi sungai, segeralah mereka terjun ke dalamnya. Hampir bersamaan dengan itu, penghuni pondok yang memang benar adalah orangtua kedua anak yang malang itu terheran-heran ketika melihat banyak pohon pisang di sekitar pondok mereka menjadi layu dan hangus.

Namun mereka sangat terkejut ketika masuk kedalam pondok dan mejumpai sebuah bungkusan dan dua buah mandau kepunyaan kedua anaknya. Sang istri terus memeriksa isi pondok hingga ke dapur, dan dia tak menemukan lagi periuk yang tadi ditinggalkannya. Ia kemudian melaporkan hal itu kepada suaminya. Mereka kemudian bergegas turun dari pondok dan mengikuti jalan menuju sungai yang di kiri-kanannya banyak terdapat pohon pisang yang telah layu dan hangus.

Sesampainya di tepi sungai, terlihatlah oleh mereka dua makhluk yang bergerak kesana kemari didalam air sambil menyemburkan air dari kepalanya. Pikiran sang suami teringat pada rentetan kejadian yang mungkin sekali ada hubungannya dengan keluarga. Ia terperanjat karena tiba-tiba istrinya sudah tidak ada disampingnya. Rupanya ia menghilang secara gaib. Kini sadarlah sang suami bahwa istrinya bukanlah keturunan manusia biasa. Semenjak perkawinan mereka, sang istri memang tidak pernah mau menceritakan asal usulnya.

Tak lama berselang, penduduk desa datang berbondong-bondong ke tepi sungai untuk menyaksikan keanehan yang baru saja terjadi. Dua ekor ikan yang kepalanya mirip dengan kepala manusia sedang bergerak kesana kemari ditengah sungai sambil sekali-sekali muncul di permukaan dan menyemburkan air dari kepalanya. Masyarakat yang berada di tempat itu memperkirakan bahwa air semburan kedua makhluk tersebut panas sehingga dapat menyebabkan ikan-ikan kecil mati jika terkena semburannya

Oleh masyarakat Kutai, ikan yang menyembur-nyemburkan air itu dinamakan ikan Pasut atau Pesut. Sementara masyarakat di pedalaman Mahakam menamakannya ikan Bawoi.>




Legenda Bulalo Lo Limutu (gorontalo)

Legenda Bulalo Lo Limutu (gorontalo)

Dahulu kala daratan Limboto belum seperti sekarang ini. Tempat ini masih merupakan lautan yang luas. Sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanyalah dua buah puncak gunung yang tinggi yakni puncak Gunung Boliohuto dan Gunung Tilongkabila. Untuk menunjukkan arah terutama ketika memasuki Gorontalo melalui pelabuhan, kedua gunung ini dipakai sebagai pedoman untuk mengetahui arah Barat dan Timur yaitu Boliohuto yang menunjukkan arah Barat dan Tilongkabila menunjukkan arah Timur.

Ketika pada suatu saat air laut surut menjelmalah tempat tersebut menjadi daratan dan beberapa selang kemudian terciptalah hutan dan semak belukar. Sedangkan di tempat yang rendah masih tetap terlihat adanya air laut yang menggenang. Demikian pula di beberapa tempat tertentu muncul mata air tawar yang juga sedikit demi sedikit membuat genangan-genangan air tawar. Hampir setiap tempat di daratan yang terbentuk itu terdapat mata air. Mata air yang jernih dan dingin adalah mata air di tengah-tengah daratan yang kurang dijamah orang karena terletak di tengah-tengah hutan yang lebat. Mata air inilah yang biasa didatangi oleh gadis kayangan untuk mandi bersibak atau main sembur-semburan air. Nama mata air ini adalah Tupalo.

Pada suatu hari turunlah seorang jejaka dari kayangan, sangat tampan dan perkasa, masih muda remaja. Nama sang jejaka ini adalah Jilumoto artinya (seseorang) yang menjelma datang ke dunia. Ketika menyaksikan adanya para bidadari yang mandi di Tupalo, ia berhasil menyembunyikan sayap salah seorang dari antara mereka. Ternyata sayap tersebut adalah milik bidadari yang tertua di antara mereka bernama Mbu’i Bungale. Ketika Mbu’i Bungale akhirnya ditinggalkan oleh saudara-saudaranya, berkenalanlah ia dengan Jilumoto yang pada akhirnya Mbu’i Bungale diajak untuk kawin dan jadilah ia isteri dari Jilumoto. Pasangan suami isteri ini akhirnya memutuskan untuk menjadi penghuni dunia dan kemudian mencari tanah yang dapat dihuni untuk bercocok tanam. Mereka menjumpai sebuah bukit yang kemudian diberi nama Huntu lo Ti’opo atau bukit kapas. Di bukit inilah mereka mendirikan rumah dan berkebun dengan bermacam-macam tanaman yang dapat dimakan.

Suatu ketika Mbu’i Bungale mendapat kiriman dari kayangan sesuatu yang disebut Bimelula yaitu mustika sebesar telur itik. Mbu’i Bungale mengambil Bimelula itu dan kemudian menyimpannya pada mata air (Tupalo) tempat biasa ia mandi dan ditutupnya dengan sebuah tolu (tudung). Pada suatu hari ada empat pelancong berasal dari bagian Timur tersesat ke tempat itu dan menemukan mata air tersebut. Begitu melihat air yang jernih dan dingin (sejuk) dengan serta merta mereka terjun ke dalamnya dan bersama di Tupalo itu. Selesai mandi nampak oleh mereka ada tudung terapung-apung di atas air. Mereka melihat-lihat jangan sampai ada orang mandi di tempat yang terpisah dengan mereka, atau ada orang yang lupa akan tudungnya. Setelah mengamati sekelilingnya, tidak ada manusia lain maka mereka mendekati dan bermaksud mengangkat tudung itu. Tiba-tiba terjadi badai dan angin topan yang sangat dasyat, dalam waktu yang bersamaan pula turunlah hujan dengan derasnya bagai dicurahkan dari langit. Dunia menjadi gelap, tak diketahui apa yang terjadi dan menimpa dunia ini, sejenak mereka mencari perlindungan pada tempat-tempat yang teduh dan jauh dari marabahaya.

Setelah badai reda hujan telah berhenti, mereka kembali ke mata air. Mereka melihat tudung itu masih terletak pada tempatnya semula. Dengan penuh keheranan mereka kembali mendekati tudung itu untuk mengangkatnya tetapi meludahi bagian atas tudung itu dengan sepah pinang. Setelah melakukan hal itu mereka tidak menjauh dari mata air, tetapi mengintip dan ingin tahu siapa pemilik tudung itu. Tak lama kemudian datanglah Mbu’i Bungale dengan suaminya bermaksud menjemput Bimelula (mustika) yang tertutup dengan tudung itu.

Ketika Mbu’i Bungale mendekati tudung, ia dihadang oleh empat pelancong yang tak dikenalnya itu. Mereka kemudian berkata, “Wahai, kalian berdua siapakah kalian sebenarnya, untuk maksud apa kalian mendatangi tempat ini?” Mbu’i Bungale kemudian menjawab, “Saya Mbu’i Bungale datang bersama suamiku Jilumoto untuk menjemput mustika dalam tudung itu”. Keempat orang itu dengan lantang menjawab, “Tidak seorangpun yang kami izinkan menjamah tempat ini apalagi mengambil barang-barang yang ada di sini. Tempat ini adalah milik kami”. Mbu’i Bungale balik bertanya, “Apa buktinya bahwa mata air dan tudung itu milik kalian?” empat orang itu berkata, “Lihatlah sepah pinang di atas tudung itu, itulah buktinya”. Mbu’i Bungale hanya tersenyum dan berkata, “Jika kalian benar menguasai mata air dan tudung itu, cobalah kalian besarkan mata air ini menjadi danau. Kuingatkan pada kalian bahwa dataran dan mata air ini diturunkan oleh Yang Maha Kuasa di dunia ini untuk ditujukan kepada orang-orang yang baik budi pekerti dan tingkah lakunya, baik hubungannya antara sesama manusia dan berkata benar. Bukan diberikan kepada orang-orang yang tamak dan rakus. Tanah ini berada dalam pemberkatan Yang Maha Kuasa, oleh karena itu jagalah jangan kalian cemarkan. Jika benar-benar kalian pemiliknya perbesarlah mata air ini. Jika benar kalian suruhan pemiliknya perluaslah mata air ini. Oleh karena kalian yang mengajak bertikai denganku maka kalianlah yang lebih dahulu memulai. Silahkan keluarkan ilmu-ilmu kalian, aku siap menantangmu!”

Pertama kali yang memperagakan kesaktiannya adalah orang yang dianggap pemimpin dari mereka berempat. Sambil membentangkan tangannya dengan lantang ia berkata, “Wei mata air kami! Meluas dan membesarlah . . . ppssstttt!” demikian pemimpin memperagakan kesaktiannya. Tak ada yang terjadi, mata air tetap begitu saja tak memperlihatkan apa-apa, angin pun tak bergeser sedikitpun. Demikian satu per satu keempat orang asing itu memperagakan kemampuannya hingga orang keempat, mata air tetap tenang-tenang saja tidak bergerak. Hanya peluh mereka yang bercucuran membasahi tubuh seperti orang mandi saja layaknya.

Mbu’i Bungale kembali tersenyum dan berkata kepada mereka berempat, “Ayo keluarkan semua kemampuan kalian, buktikan mata air dan tudung itu milik kalian. Atau mungkin kalian telah menyerah kalah dan mengakui bahwa mata air ini bukan milik kalian”. Pemimpin mereka dengan nafas tersengal-sengal akibat kelelahan kemudian berkata, “Perlihatkan kepada kami jika engkau benar-benar sebagai pemilik mata air ini”. Mbu’i Bungale kemudian bersedekap, merapatkan kedua tangannya di atas dadanya memohon kepada Yang Maha Kuasa, kemudian ia mengarahkan tangannya ke arah mata air sambil berseru, “Woyi, air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki berkah, melebar dan meluaslah wahai mata air para bidadari, membesarlah … wuuuzzz !” Tak lama kemudian terdengarlah gemuruh air, tanah menggelegar, berlahan-lahan mata air itu melebar dan meluas. Mbu’i Bungale dalam sekejab telah berada di atas pohon, sementara keempat orang itu memandang pohon kapuk sekitar hutan dan terpana kagum menyaksikan keajaiban mata air itu.

Air semakin tinggi dan mulai mencapai tempat keempat orang yang berada di atas pohon kapuk itu, dengan berteriak-teriak mereka memohon ampun kepada Mbu’i Bungale. Mbu’i Bungale berkata, “Bagaimana, masihkah kalian mengaku sebagai pemilik mata air ini?” Dengan penuh permohonan mereka berkata, “Kami memohon ampun kepadamu Mbu’i Bungale, kami mengaku salah, engkaulah pemilik tempat ini beserta isinya!” Mbu’i Bungale turun dari pohon kayu dan datang membawa tudung serta mustika yang ada di dalamnya lalu meletakkan di atas tangannya, seperti telur itik putih mulus mustika itu. Dengan kekuasaan tuhan, menetaslah mustika itu dan keluarlah seorang gadis kecil yang sangat cantik seperti bulan bercahaya. Gadis itulah yang kenudian dikenal dengan nama Tolango Hula yang berasal dari Tilango lo Hulalo (cahaya bulan). Tilango Hula inilah yang kelak dikemudian hari menjadi raja Limboto.

Ketika Mbu’i Bungale dan suaminya bersiap kembali ke rumahnya sambil membawa sigadis kecil dan mengajak keempat orang itu, sejenak ia melayangkan pandangannya ke tengah danau yang baru saja diciptakannya. Tiba-tiba ia melihat lima benda terapung-apung yang bentuknya seperti buah. Diraihnya buah-buah itu dicubitnya dan kemudian diciumnya, baunya sangat harum. Setelah menciumnya ia merasakan bau itu seperti bau buah jeruk (limau/lemon) yang ada di negeri kayangan. Ia kemudian memandang sekeliling danau itu kalau-kalau ada pohon jeruk tumbuh di sekitarnya. Ia memanggil suaminya Jilumoto untuk memastikan, “Kanda, perhatikan bukankah buah ini seperti jeruk kayangan, aku merasa yakin akan hal itu dari bau dan bentuk buahnya!” Suaminya mendekatinya, ikut memegang dan mengamati buah itu dan kemudian mengiakan apa yang dikatakan isterinya. Mbu’i Bungale kemudian berkata, “Heran aku, bukankah tidak ada pohon jeruk yang tumbuh di sekitar tempat ini, mengapa buah jeruk ini bisa muncul di danau ini, mungkin ini suatu anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kejadian ini perlu diabadikan sebagai nama danau ini. Danau ini sesuai dengan kejadian yang kita saksikan barusan pantas untuk diberi nama Bulalo lo limu o tutu (danau dari jeruk yang berasal dari kayangan)”. Lama kelamaan akhirnya danau ciptaan Mbu’i Bungale ini lebih dikenal sebagai “Bulalo lo Limutu”.








Janjia Lo U Duluwo (Gorontalo)

Janjia Lo U Duluwo (Gorontalo)

Konon pada abad ke-15, kerajaan Gorontalo dan Limboto diperintah oleh sepasang suami isteri yaitu Raja Wolanga dan Ratu Moliye. Zaman itu di Gorontalo dan Limboto belum dikenal lembaga kerajaan dwi-tunggal yang dikenal pada tahun-tahun sesudahnya. Perkawinan antara pemimpin dua kerajaan ini melahirkan seorang anak laki-laki bernama Polamolo. Ketika Polamolo beranjak dewasa, kedua orang tuanya (Moliye dan Wolanga) bermaksud maju berperang ke Teluk Tomini, menaklukkan beberapa kerajaan kecil untuk menambah jumlah rakyatnya. Pemerintahan atas Gorontalo dan Limboto diserahkan kepada Polamolo. Dengan demikian ia menjadi raja pertama yang memerintah dua kerajaan tersebut sekaligus. Polamolo naik tahta dengan gelar “Olangia Mobalanga” artinya raja yang berpindah-pindah, tujuh hari pertama memerintah Gorontalo dan tujuh hari lainnya di Limboto.

Wolanga dan Moliye bertolak dari Gorontalo dan melakukan perjalanan ke arah Barat dan Selatan. Wolanga mengerahkan angkatan lautnya dan bertolak dari Teluk Gorontalo, berlayar menyusur pantai ke arah Barat. Sedangkan Moliye bertolak dari Sungai Paguyaman yang pada waktu itu berfungsi sebagai pelabuhan Limboto di pantai Selatan, kemudian menyeberang ke pulau-pulau Togian, untuk selanjutnya kembali ke daratan pulau Sulawesi di Tanjung Api. Dari sini kemudian berlayar ke arah Barat dan berjumpa di Sausu dengan Wolanga dan gerombolannya. Pada waktu itu mereka telah berhasil menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan selanjutnya menempuh jalan pulang sambil membawa rampasan perang dan budak-budak.

Rombongan Gorontalo dipanglimai oleh Wulea lo Lipu Bilinggata yang bernama Hilibala, bertindak sebagai Luntudulungo artinya pemimpin, penunjuk jalan atau pelopor. Sedangkan rombongan Limboto dipimpin oleh Wulea lo Tibawa bernama Hemuto, yang terkenal berani dan kejam. Konon dalam perjalanan pulang Hemuto dan Hilibala bertukar kedudukan, Hemuto menjadi Luntudulungo dari raja Gorontalo dan Hilibala menjadi Luntudulungo dari istrinya Ratu Moliye dari Limboto.

Menurut cerita, dalam perjalanan pulang itu Moliye berselingkuh dengan Hilibala sehingga hal ini menjadi sebab utama terjadinya kerenggangan hubungan kedua kerajaan tersebut. Polamolo ketika itu berusaha untuk mencari jalan perdamaian. Ia menyalahkan Wulea lo Tibawa Hemuto sebagai pembawa mala-petaka tersebut. Akibatnya beratus-ratus orang Goromtalo dibunuh dan ditawan oleh orang Limboto. Beratus-ratus tengkorang dari orang Gorontalo yang dipotong kepalanya di gunung Huntulobohu masih merupakan saksi dari peristiwa itu.

Kejadian ini membuat polamolo menjadi sedih, sehingga ia memutusakan untuk pergi mengembara (moleyangi). Beserta dengan pengiring-pengiringnya ia melakukan perjalanan ke barat ia kemudian sampai ke sungai buntayoda’a, yang bermuara di teluk  tomini dekat kampung kecil marissa dan berlayar terus ke hulu sungai. Suatu ketika ia sedang mandi di sungai itu, terlihatlah olehnya melilit di pinggangnya sehelai rambut yang panjangnya kurang lebih setengah depa. Ia mengambil rambut itu dan menyimpannya. Ketika ia melanjutkan pelayarannya menuju hulu sungai, tampaklah oleh dia dan pengiringnya seorang wanita sedang berlari dan seluruh tubuhnya terselubung oleh rambutnya yang amat panjang. Setelah didekati  dan di Tanya bahwa wanita tersebut  adalah seorang purti raja Buhu Ponelo bernama Huyahulawa. Polamolo kemudian kawin dengan anak raja itu dan tinggal beberapa lamanya di negri istrinya itu, sampai dipanggil pulang kembali ke gorontalo. Dari perkawinan mereka lahir seorang anak laki-laki yang karma dinilai memiliki sifat-sifat luar biasa diberi nama Limonu atau jilimonu artinya anak yang luar biasa perawakan dan ketampanannya. Baru saja bayi itu dilahirkan, ia segera di bersihkan di sungai pimpine. Di tengah-tengah sungai ini menjulang sebuah batu karang yang berbentuk sebuah gua. Air didalamnya selalu jernih,walau waktu banjir yang paling besar sekalipun, dan bahkan ayam-ayam sabungan yang dimandikan dalam air menjadi tak terkalahkan. Tidaklah mengherankan bahwa pada umur lima tahun limonu sudah terkenal karna ketangkasannya dalam menangkap burung malewo yang dalam jumlah banyak menetas di pantai Marisa. Ia juga dalam segala macam permainan melebihi ketangkasan kawan-kawannya. Kawan-kawannya sering mengolo-olok dengan mengatakan bahwa sifat-sifatnya luar biasa itu dimilikinya karna ia tidak pernah mempunyai seorang ayah. Dengan sedih limonu menanyakan hal itu pada ibunya. Ibunya akhirnya mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang raja di sebuah kerajaan besar yang letaknya di sebelah timur. Limonu kemudian pamit waktu ibunya, ingin berkelana walau pun usianya masih muda belia, karena pada  waktu itu ia baru berusia sepuluh tahun.

Setelah mengalami banyak penderitaan dalam pengembaraannya, akhirnya limonu sampai juga di kerajaan gorontalo. Kebiasaan yang berlaku di kerajaan ini adalah bahwa pada setiap petang dilakukan permainan “mosepa” (ketangkasan bermain bola keranjang) di halaman istana, yang melibatkan semua penonton yang terdiri dari pembesar dan ponggawa istana. Limonu kemudian mendekati tempat itu dan berkesempatan memperlihatkan kemahirannya yang luar biasa sehingga membuat kagum semua yang hadir dalam peristiwa tesebut. Karna ketangkasannya itu maka ia dipanggil menghadap raja. Setelah saling mengenal, segeralah tenyata bahwa limonu adalah anak kandung raja sendiri tinggallah ia berdiam di kerajaan itu sebagai anak raja.

Setelah tinggal di kerajaan ayahnya, limonu banyak mendengar tentang perlakuan hemuto terhadap rakyat gorontalo. Di sini ia mendengar keganasan-keganasan hemuto yang membuat gorontalo menderita. Untuk membela rakyatnya akhirnya limonu memutuskan untuk menantang hemuto perang tanding dan berangkatlah ia ke kerajaan limboto dengan bersenjatakan Eluto (keris pendek).

Setibanya di limboto didapatinya pemimpin orang itu sedang berada di kebunnya, mencabuti rumput. Seluruh kebun itu di kelilingi pagar dari kayu nibung yang kuat dan tak berpintu. Dengan sepotong bambu, limonu memukul kayu pagar sehingga mengagetkan hemuto. Hemuto kemudian bertanya, “Hai Siapakah yang berani kurang ajar memukul-mukul pagar rumahku?” kemudian menjawablah limonu, “saya cucumu!”. Hemuto kemudian berkata lagi “Kalau engkau benar cucuku, cobalah masuk ke dalam pagar rumahku yamh tak berpintu ini”.

Limonu kemudian melemparkan sebuah batu ke pagar seberang untuk mengalihkan perhatian hemuto, dan dengan sekali melompat ia sudah berada di dalam lingkungan pagar tak berpintu itu, tanpa disadari oleh hemuto. Menyaksikan hal itu hemuto terperanjat, saat itulah ia sadar bahwa seorang yang luar biasa telah bangkit diantara orang-orang gorontalo. Dengan merendah limonu meminta kepada hemuto untuk mengajarnya silat meskipun dalam perasaan ia bermaksud menjajaki kesaktian hemuto. Dalam permainan ini limonu menggunakan eluto yang dibawanya sebagai senjata dan terjadilah perkelahian seru. Akhirnya dalam perkelahian itu limonu behasil memotong sebagian telinga hemuto. Ketika potonga telinga itu di perlihatkan, hemuto menjadi malu sekali hingga akhirnya melarikan diri ke hutan belantara. Hingga sekarang ini jejaknya tidak diketahui orang, apa yang terjadi atas dirinya dan dimana kuburannya tetaplah masih merupakan misteri yang tak terpecahkan. Kekalahan  hemuto sebagai pemimpin balantara limboto atas limonu yang di katakan berasal dari Gorontalo. Selain itu penyebab lainnya (ketiga) juga adalah akibat persaingan yang terjadi antara kedua pemimpin balantara dua negri itu yaitu antara Hilibala dan Hemuto. Menurut kedua cerita kedua wulea ini sekembalinya berperang dari teluk Tomini, saat istirahat mereka membiarkan kerbaunya masing-masing berlaga satu dengan yang lain dengan disaksikan oleh prajurit mereka. Dalam peristiwa laga tersebut kerbau pihak gorontalo menang dua kali dan kerbau Limboto hanya menang satu kali saja. Dengan peristiwa ini akhirnya mereka saling mengejek melemparkan kata-kata bersajak berisi ejekan tantangan pihak-pihak yang kalah, kemudian dibalas pula dengan ejekan bahkan tantangan, bahwa kerbau kan hanya binatang, meskipun ia kalah tapi orang-orangnya belum tentu kalah.

Sebab keempat dan dianggap amatlah berat yang pemicu peperangan kedua belah pihak adalah pembunuh atas raja Polamolo oleh pembesar-pembesar Limboto. Suatu saat raja Polamolo memerintahkan membuat sebuah pondok di Debualolo yang merupakan daerah perbatasan antara Limboto dan Gorontalo. Suatu hari ketika ia sudah menjalankan pemerintahnya selama tujuh hari di Gorontalo, berangkatlah ia menjalankan perintahan di Limboto untuk tujuh hari berikutnya. Tepat saat ia berada di muara sungai Ngango lo Bunggalo di danau Limboto yang sedang tampak olehnya sebuah asap api yang berasal dari tempat orang-orang Limboto yang sedang menebang kayu untuk pembangunan pondok. Karena terkena asap yang hitam dan pekat maka kelihatan kulit mereka menjadi kehitam-hitaman. Polamolo bertanya kepada para Olongia yang mengiringnya “Siapakah orang-orang yang hitam pekat itu?” Pengiringnya berasal dari kerajaan Limboto merasa terhina dengan pertanyaan rajanya itu dan dengan gusar mereka menjawab, “Tidaklah tuanku ketahui bahwa mereka adalah orang-orang Limboto sedang menebang, menyeret dan membakar kayu untuk membangun pondok yang tuan perintahkan dibangun di Dehuaholo”. Mendengar jawaban itu Polamolo tersentak diam. Pengiring-pengiringnya yang terdiri dari para kepala adat menafsirkan bahwa kata-kata yang diucapkan oleh polamolo itu merupakan suatu penghinaan kepada pondok untuk raja, mengapa dihina seperti itu. Terlebih-lebih para olongia yang berasal dari Dunito dan Hungayo mereka sakit hati mendengar kata-kata itu. Menurut mereka bahwa Limboto negeri dari ibunya dihina sang raja, rakyatnya disebut gelap hitam, sedangkan negeri ayahnya Gorontalo disanjung-sanjung  oleh sang raja. Akhirnya Polamolo dibunuh oleh pembesar-pembesar Limboto, kepalanya dikubur di gorontalo dan badannya di Limboto

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun tanpa terasa pertikaian itu telah berlangsung seabad. Ketika itu di Limboto dan Gorontalo telah dikenal adanya pemerintahan dua pihak (dwi-tunggal kerajaan) yang disebut dengan pemerintahan to Huliyalio dan to Tilayo. Seperti misalnya kerajaan Limboto pada waktu itu diperintah oleh dua orang olongia (raja), Olongia to Huliyalo adalah Dulapo dan Olangia to Tilayo yaitu Humonggilu. Masing-masing kerajaan dari tahun ke tahun tetap berusaha menggalang bantuan kepada pihak lain untuk memperkuat kedudukannya. Seperti yang terlihat pada Dulapo, ia mengutus anak laki-lakinya (yang kemudian menggantikannya) Tilahunga ke Ternate meminta bantuan raja Ternate, Ba’abdullah untuk memerangi kerajaan gorontalo. Demikian pula hanya dengan Humonggilu. Hanya berada dengan Dulapo, diketahui ternyata bahwa Olangio to Tilayo lo Limboto ini pernah membantu raja Ba’abdullah dalam suatu perang saudara. Ia kemudian mengawini seorang saudara perempuan raja Ternate itu yang bernama Ju Mu’min. Di Ternate kemudian ia memeluk agama islam dan sekembalinya ke Limboto ia menyebarkan agama itu. Peristiwa tersebut menurut pemberitaan terjadi pada tahun 1562.

Sementara itu di Gorontalo, pemerintahan Dwi-tunggal dipegang oleh Amai sebagai Olongia to Tilayo dan Tuliyabu sebagai Olongia to Huliyalio. Pada salah satu perang penyerbuan ke Teluk Tomini, Amai mengawini seorang anak perempuan raja Kumojolo bernama Owutango, yang dari pihak ibunya adalah keturunan raja-raja Palasa dari Siendeng yang pula bertalian darah erat sekali dengan raja-raja Ternate. Anak laki-laki yang lahir dari perkawinan mereka bernama Matolodula. Matolodula inilah yang selanjutnya menggantikan ayahnya Amai sebagai raja Udik (Olongia to Tilayo). Di bawah pemerintahannya terjadi pengislaman Gorontalo yang juga turut dibantu oleh anggota keluargannya yang berasal dari Ternate.

Dari keterangan di atas tampaklah bahwa kedua kerajaan ternyata sudah memelihara beberapa hubungan dengan Ternate. Diceritakan selanjutnya bahwa rupanya permintaan bantuan Tilahungan, buat sementara waktu belum membawa hasil. Meskipun ternyata diketahui bahwa bantuan itu akhirnya terwujud setelah Tilahunga menggantikan kedudukan ayahnya, Dulapo. Di Gorontalo  Matolodupun sudah digantikan oleh anaknya. Pongokiwu sebagai Olongia to Tilayo, sedangkan isteri Matolodula bernama Wulatileni menggantikannya menjadi ratu di kerajaan to Huliyalio lo Hulantalo. Sementara itu untuk kedua kalinnya Limboto berusaha mendapatkan bantuan dari Ternate dalam rangka memerangi kerajaan Gorontalo. Usaha ini berhasil dilakukan melalui Detubiya, anak raja Humonggilo dan Ju’mu’min putri Ternate. Gorontalo akhirnya dapat dikalahkan dan anak perempuan Matolodula dengan Wulatileni bernama Poheleo atau Mboheleo dibawa ke Ternate sebagai tawanan. Putri ini pun akhirnya kawin dengan raja Ju Mangopa dan karna ia mempunyai nama Ternate yaitu Ju Balu. Ketika ibunya Wulatileni mangkat ia pun diizinkan kembali ke Gorontalo menggantikan ibunya sebagai Ratu Hilir (Olongia to Huliyalio). Ketika itu pun ia ditinggal mati suaminya Ju Mangopa.

Sekembalinya ke Gorontalo, Poheleo yang masih sakit hati akibat kekalahan perang melawan Limboto berminat untuk membalas dendam. Ia tidak menghiraukan meskipun merasa mempunyai pertalian darah dengan Ternate. Saat itu ia memutuskan untuk mengirim Hohuhunya (Patih atau Perdana mentri) bernama Bumulo tidak begitu menyukai tugas ini, mengingat ia sudah membuat rencana dengan Khatibida’a (Penghulu Utama) bernama Eyato untuk mengusahakan perdamaian dengan Limboto. Akan tetapi karna Poheleo mengancamnya untuk tidak memberikan persetujuannya mengawini Duhula, cucu Motadula, maka dengan rasa engan dipenuhinya juga perintah tersebut.

Dengan bantuan Gowa, negeri Limboto dikalahkan. Dua anak permpuan dan seorang anak laki-laki dari Limboto, Momiya yang pada waktu itu telah menggantikan ayahnya Tilahunga, ditawan. Kedua anak perempuan itu masing-masing bernama Ntobango dan Tili’aya dibawa ke Gowa dengan dikawal oleh tiga orang Baate, bernama Mopato Langolo, Mopato Hulita, Mopato Taniyo. Sedang laki-lakinya bernama Pomontolo dibawa ke Manguju (Mandar). Mula-mula kedua orang putri Limboto itu menerima perlakuan yang buruk sekali di Gowa. Konon kabarnya akibat perlakuan tersebut negeri Gowa mengalami musim kemarau yang hebat sekali, semua sumur mengalami kekeringan air. Hanya dengan susah payah, dengan menggunakan tali sepanjang seratus depa orang baru dapat menimba air dan hanya mampu mengisi satu ruas bambu penuh, itu pun hanya bisa diperoleh dari sumur didekat raja.

Suatu hari kedua orang putri itu meminta izin untuk mandi di sumur dekat rumah raja itu, sewaktu akan mandi tiba-tiba air sumur naik hingga melimpah-limpah melalui pinggir sumur. Dengan serta merta mereka menyiram air kepada ke badannya dengan sebuah keranjang, dikarenakan orang tidak memberikan merka timba. Ternyata mereka mandi seolah-olah dengan menggunakan timba, air tidak keluar dari keranjang itu. Mukzijat tersebut membuat raja Gowa kagum, kemudian meminta mereka menurunkan hujan, dan betullan ternyata hujan pun turun setelah mereka memohon sambil mengadahkan tangan ke langit. Setelah kejadian itu putri-putri itu selanjutnya diperlakukan dengan hormat. Meskipun demikian setelah lepas dari musibah satu musibah lain pun datang, wabah-wabah lain masih tetap saja menimpa negeri itu. Akhirnya sang raja memutuskan memulangkan saja putri-putri itu ke Limboto. Maka berangkatlah mereka dengan satu kekuatan angkatan laut yang besar dengan tujuan merampas kembali semua barang-barang dan anak buah yang ditawan oleh orang-orang Gorontalo, dan kemudian bermaksud menaklukan Gorontalo dibawah kekuasaan Limboto. Ketika angkatan laut itu sampai di Tolinggula bertemulah mereka dengan utusan-utusan penjemput dari Limboto yang telah memperoleh berita gembira tentang kembalinya Ntobango dari Tili’aya. Di antara para penjemput itu terdapat Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Pomalo. Disebuah pulau kecil bernama Lihutokalo depan Bolontiyo berhentilah mereka. Disini Popa dan Pomalo berusaha menjalankan misinya, membujuk para pemimpin Gowa tidak bersedia karena merasa belum melaksanakan tugas yang di perintahkan raja mereka.

Sementara itu desas-desus mengenai kedatangan angkatan laut Gowa yang yang besar sudah terdengar di Gorontalo. Hohuhu Bumolu, setelah mendengar desas-desus tersebut menyuruh untuk mengumpulkan dua gantang emas mengirim Khatiibida’a Eyato membawa emas itu mempunyai menemui angkatan laut Gowa dan menbujuk mereka supaya jangan melakukan penyerbuan terhadap kerajaan Gorontalo. Eyato benar-benar berhasi menemui Wulea lo Lipu Pomalo dan Hohuhu Popa, selanjutnya dulohupa pun dilakukan. Dengan tindakan yang bijaksana diperolehlah jaminan dan kesepakatan akan bantuan mereka untuk menciptakan perdamaian di dua negeri yang bersengketa. Mereka menemukan kata sepakat sesudah pemimpin Gorontalo atas jaminan Eyato berjanji akan mengembalikan semua harta rampasan kekerajaan Limboto. Kemudian mereka menjalankan strategi untuk menghalau pasukan angkatan laut Gowa ke Gorontalo. Sambil membagi-bagikan emas kepada karaeng-karaeng Gowa tersebut, Eyato Dengan disaksikan oleh pembesar Limboto menerangkan bahwa Gorontalo akan menaklukan diri pada Limboto. Setelah memperoleh penjelasan tersebut maka akhirnya pasukan angkatan laut Gowa tersebut setuju untuk kembali ke Gowa. Sememtara itu kedua orang puteri Limboto dengan selamat akhirnya kembali ke Limboto didampingi oleh para baate masing-masing. Demikian pula Pomontolo, saudara lelaki mereka berhasil di bebaskan oleh baate Mopatu Taniyo.

Usaha mendamaikan kedua negeri yang bertikai mengalami kemajuan. Hal ini berkat peranan dan strategi yang dijalankan oleh pembesar kedua negeri terutama oleh Khatibida’a Eyato dan Hohuhu Bumulo dari pihak Gorontalo, dan Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Pomato dari pihak Limboto. Konon perdamaian itu telah jauh-jauh hari sebelumnya mereka rencanakan. Diceritakan suatu ketika Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Polamalo diperintahkan oleh ratu mereka mencari bala bantuan kerajaan Gowa. Akan tetapi dalam perjalanan dicegat oleh Khatibida’a Eyato. Eyato meminta kepada para pembesar Limboto itu untuk tidak tergesa-gesa dan sedapat mungkin memperlambat perjalanan, rupanya dengan maksud mengusahakan perdamaian antara Gorontalo dan Limboto sebelum angkatan laut tiba.akhirnya mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan. Ketika kembali ke Gorontalo dengan maksud akan menjalankan rencannya membujuk ratu kerajaan tersebut, kehadirannya di tempat itu ditolak. Sebagai Khatibida’a dia tidak berhak berbicara dalam siding pembesar Negara. Akan tetapi dengan kelihainannya akhirnya Eyato berhasil menarik perhatian bahkan meyakinkan kedua pimpinan Gorontalo, Sehingga diizinkan masuk ke Bantayo (ruang sidang)untuk memberikan penjelasan Bumulo, anak dari Hohuhu Hungilo (Buyobudu) saat itu bertindak sebagai perantara. Eyato memeparkan rencananya dalam sidang itu yang pada dasarnya ingin mendamaikan kedua kerajaan Gorontalo dan Limboto. Rencana ini akhirnya mendapatkan persetujuan kedua ratu Gorontalo, Moliye dan Poheleo. Diputusakan juga pada saat itu bahwa Boyubodu demi mendukung kepentingan Bomulo, sekaligus menyerahkan jabatan kepada anaknya itu sebagai Hohuhu Hungilo. Sementara itu Eyato juga menggantikan pamannya Patilama sebagai Hohuhu Lupoyo, dengan tujuan kedua orang tua muda itu bisa bekerja sama untuk dan atas nama kerajaan Gorontalo melaksanakan rencana mereka. Eyato berlayar menyusul Hohuhu Popa dan akhirnya mencapai kata sepakat.

Untuk mewujudkan perdamaian sebagai mana yang telah disepakati atas maka para pembesar Limboto dengan di antar oleh Eyato selanjutnya selanjutnya secara bersama-sama mengdakan perjalanan ke Gorontalo. Pusat kerajaan Gorontalo ketika itu terletak Lupoyo seorang diantara orang Limboto Palingga sambil berdiri diatas perahunya berseru sambil mengumandangkan tuja’I sebagai berikut :

Tomupa loli Dotula               Orang turun dari perahu disungai (Lupoyo)
Mai mohibintua                      Datang bertanya-tanya
Malongongolipua                    Sudah bersama-sama satu negeri
Ode hinteyalihua                    Menuju saudara seibu

Konon kabarnya selama tiga hari berturut-turut tuja’I ini di ulangi tiga kali dalamm sehari. Setelah menerima pesan ini pembesar-pembesar Gorontalo kemudian untuk mencari seorang yang bergelar Lebidi’a, satu-satunya orang yang dianggap mengerti makna tuju’i tersebut. Akan tetapi barulah pada hari ketiga orang yang dicari tersebut muncul. Sambil berdiri di bawah sebatang pohon tintilo ditepi danau dekat Pentadio sekarang ini, Lebida’a membalas tuja’i tersebut dengan kata-kata sebagai berikut :
Tupalai to
; Silahkan masuk ke sungai
Mahipo bintua-bintua             Sedang bertanya-tanya
Odeo hintea lihua                    Bagaikan barang yang dimandikan
Tilola lulu’ubuwa                    Ditinggalkan cucu perempuan
Wolo du’alo yiluwa                 Dengan do’a-do’a selamanya
Lipunto biye lahuwa               Negeri yang kita nyanyikan (idamkan)
Molinggadu lo dutuwa            Terletak berdampingan
Ma tomoliyatuwa                    Sudah hendak bersatu badan
Modame moponuwa               Berdamai berkasih-kasihan.

Sesudah memperoleh jawaban yang menyenangkan hati, dua kerajaan yang telah lama berseteru itu, akhirnya saling merapatkan barisan armadanya. Ketika di hadapan keduanya seraya berkata : “Sikarayi kalili huwangga lo olongia lo Hulanto to hilawo moputi” (Senjata dari karaeng yang terpilih kepunyaan raja Gorontalo pada hati yang putih). Maksudnya adalah agar keris (Huwangga) ini diberikan kepada raja Gorontalo sebagai bukti kehendak hati yang ingin berdamai. Selanjutnya Hohuhu Popa dengan cara yang sama menghadap ratu Limboto, Momiyo dan Ntihedu (putrid Detubiya) mencabut kerisnya dan meletakannya dihadapan mereka seraya berkata : “Sikarayi kalili huwanga lo olongia lo Limutu tide alinaya” (senjata dari karaeng yang terpilih, kepercayaan raja Limboto tidak menganiyaya) yang juga maksudnya kurang lebih sama dengan pernyataan sebelumnya.

Sejak dilakukan ikrar bersama di sungai Lupoyo itu maka usaha untuk menggalang perdamaian secara menyeluruh pun dilakukan, yang antara lain diwujudkan dengan cara saling mengunjungi antara pembesar kedua negeri yang berttikai. Akhirnya diputuskan unutk merundingkan secara lebih jauh hasilnya melalui perjanjian yang disepakati bersama di atas sumpah. Ketika akan melakukan perjanjian tersebut Ratu to Huliyalio tolo Limboto, Momiyo telah digantikan oleh putranya Pomontolo, yang selanjutnya berangkat ke Gorontalo untuk berunding (lo duudula) dengan pembesar Gorontalo. Ia didampingi oleh Hohuhu Popa, Wulea lo Lipu Pomalo serta pembesar-pembesar kerajaan lainnya. Sesampainya di Lupoyo (Gorontalo) mereka menyampaikan salam melalui tuja’i sebagai berikut :

Baate-baate Loti’alo                Baate-baate sudah berpindah Haluan
Lo Limutu Hulontalo                Dari Limboto Gorontalo

Wuudionto dulalo                    Kehormatan dibawa bersama
Wameti tayuyuwalo                Terimalah dan angkatlah

Tuja’i ini dibalas oleh bate-bate Gorontalo :

Baate-baate lo ti’alo               Baate-baate sudah berpindah haluan

Wuudionto dilelo                    Kehormatan dibawa bersama

Wametalo talaalo                  Terimalah dan jagalah

Tayuyuwo lo dudulalo            Terimalah, angkatlah berdampingan

Bangango lolahepo                Terangilah segalanya

Kemudian raja Pomontolo turun dari perahunya mengambil tempat duduk di atas babulowangga (tandu) dan berangkatlah dengan pengiring-pengeringnya ke tempat kediaman raja to Huliyalio Bumulo yang sementara itu sudah menggantikan Poheleo. Sesudah pembesar-pembesar kedua kerajaan itu mengambil tempat duduk masing-masing, bersama-sama mereka mengucapkan tuja’i yang berikut :

Hibulo’a hidulitu                     Duduk teratur
Mopayu wu’udu lipu               Berlaku kehormatan negeri
Mojanji bidu motipu               Berjanji tidak ada lagi putus ujungnya
Hidulitu hihulo’a                     Beraturan duduk
Dunggolo de mobu’a              Mudah-mudahan tidak bercerai
Tujuh hari lamanya Pomontolo dengan pengiring-pengiringnya berada di Gorontalo untuk merundingkan isi persekutuan antara kedua kerajaan, setelah itu barulah ia pulang ke Limboto. Sementara itu berangkatlah pula raja to Tilayo lo Hulontalo Eyato yang sementara itu telah menggantikan isterinya untuk mengadakan kunjungan balasan ke Limboto beserta pengiring-pengiringnya di antaranya Hohuhu Male dan Wulea to Lipu Uwabu.

Sesampainya di Lintalo, yang merupakan pusat kedudukan kerajaan Limboto waktu itu mereka mengucapkan tuja’i maksudnya kurang lebih sama dengan tuja’i di atas. Selesai acara membalas tuja’i oleh para Baate kedua kerajaan tersebut, Raja Eyato kemudian turun dari perahunya, diambilnya tempat duduk di dalam Babulowangga yang disediakan dan selanjutnya menuju ke tempat kediaman raja to Tilayo lo Limboto (Ilato) yang juga telah menggantikan ibunya Ntihedu, ketika masuk ke dalam istana dan dipersilahkan duduk berdampingan dengan raja Limboto, dengan penuh keakraban mereka mendengarkan tuja’i-tuja’i dan kata-kata sanjungan yang disampaikan oleh baate-baate kedua negeri.

Sama halnya dengan Pomontolo ketika berada di Limboto, raja Eyato pun beserta pengiring-pengiringnya merundingkan perdamaian dengan para pembesar Limboto selama tujuh hari lamanya. Akhirnya saat itu telah dapat dicapai kesepakatan damai, yang dirayakan dengan kenduri diiringi hidangan lemak kerbau dan saling bersumpah. Adapun perjanjian kedua negeri tersebut kurang lebih seperti berikut:

Pertama, kedua kerajaan tidak akan melakukan tindakan kekerasan yang satu terhadap lainya, pelanggaran terhadap ketentuan ini adalah merupakan kutukan yang akan ditimpakan kepada pembesar dan seisi negeri. Kedua, mereka tidak akan saling melemparkan fitnah (fitnah-memfitnah) orang, dan bagi yang akan melakukan ini dan ingin menimbulkan perpecahan antara kedua kerajaan juga akan ditimpa kutukan. Ketiga, bukan saja masing-masing pihak dilarang melakukan perbuatan tercela kepada yang lain, akan tetapi juga terhadap kerajaan-kerajaan yang lain, ataupun orang-orang lain yang bukan penduduk Limboto dan Gorontalo. Tidak akan dimulai sesuatu tindakan, sebelum diadakan perundingan bersama terlebih dahulu. Keempat, kesulitan di masing-masing kerajaan tidak boleh diselesaikan sendiri. Dalam hal kesulitan di Limboto pembesar-pembesar Gorontalo akan ikut merundingkannya dan mencari penyelesaiannya, demikian pula sebaliknya. Kelima, dalam acara-acara persidangan yang dilakukan oleh sesuatu negeri harus mengikutsertakan pembesar dari kerajaan lain, mulai dari Raja, Jogugu, Kapitan Laut, Hakim atau salah seorang dari Wulea Lo Lipu. Jika dalam perkara diputuskan denda maka negeri penyelenggara pengadilan hanya mengambil sepertiga bagian dari denda tersebut, sedang dua pertiga bagian dari denda itu diberikan kepada negeri tamu. Keenam, rencana-rencana besar seperti pembangunan sebuah kota baru, dikerjakan dengan bantu-membantu. Ketujuh, utusan kerajaan lain tidak pernah diterima sendiri-sendiri, akan tetapi selalu oleh pembesar kedua kerajaan secara bersama-sama. Kedelapan, kalau ada anak buah Limboto yang memberontak maka mula-mula Limboto akan berusaha sendiri untuk menundukkan mereka. Kalau usaha ini tidak berhasil maka Limboto dan Gorontalo akan maju bersama-sama, demikian pula sebaliknya. Jika barang rampasan dikembalikan kepada negeri yang ditaklukkan pengembalian itu haruslah dilakukan bersama-sama oleh Limboto dan Gorontalo. Kesembilan, kedua kerajaan sepakat untuk meminta upeti dari rakyatnya masing-masing atau penduduk daerah taklukkannya yang tidak terlampaui haknya. Kalau seseorang yang diperintahkan untuk memungut upeti, meskipun ia raja sendiri, anak raja yang ditaklukkan membayar upeti maka Negara yang dimintai bantuan harus mendapatkan dua per tiga. Apabila terdapat Wulea lo lipu atau pembesar-pembesar menagih terlalu banyak atau terlalu sedikit maka ia akan didenda oleh suatu pengadilan bersama. Kesepuluh, penduduk di Teluk Tomini yang takluk kepada kedua kerajaan diambil dengan ketetapan bahwa batas pengaruh lingkungan masing-masing adalah Kepulauan Sausu-Masabuku dan Tamalate, masuk dalam lingkungan Gorontalo, sedangkan kepulauan Togian dan Nyuala termasuk dalam kerajaan Limboto.




duniadongeng.com

Lakipadada (Toraja)

Lakipadada, adalah bangsawan toraja yang jadi paranoid terhadap maut, sehingga berusaha mencari mustika tang mate supaya dia bisa hidup kekal, tanpa dihantui kematian (mirip cerita Nabi Sulaiman). Lakipadada didalam legenda itu diceritakan kehilangan orang2 tersayangnya, ibu, saudara perempuan, saudara laki-laki, bahkan pengawal dan hamba2nya satu demi satu meninggal dunia. Kemudian Lakipadada menjadi paranoid, berusaha menegasikan kemungkinan kematian juga datang padanya.

Pergilah dia mengembara dengan tedong bonga nya mencari mustika tang mate yang bisa mengekalkan kehidupannya, diantaranya mengarungi ke teluk bone dengan buaya sakti (yang barter service dengan imbalan tedong bonga), mencari Pulau Maniang, tempat yang dianggapnya dihuni oleh seorang kakek tua sakti berambut dan jenggot putih yang diceritakan memiliki mustika itu.

Karena kekurang sabarannya, Lakipadada gagal memenuhi persyaratan yang diajak si tua sakti; puasa makan minum dan tidur selama tujuh hari tujuh malam. Akhirnya gagal usahanya mendapatkan tang mate. Tapi dari sini Lakipadada mendapat hikmah yang menyadarkannya bahwa menghindari kematian sama halnya dengan menantang kuasa Tuhan. Tidak ada yang bisa melawan takdir Tuhan, walau kadang kejam kata Dessy Ratnasari. Lakipadada, kemudian mengembara lagi dengan menumpang bergelantungan di cakar burung Garuda yang membawanya ke negeri Gowa. Disana Lakipadada, yang sudah tercerahkan, menyebarkan hikmah kebajikan dan berhasil mendapat simpari Raja, mengobati dan membantu permaisuri raja melahirkan. Lakipadada diangkat menjadi anak angkat dan Putra Mahkota.

Diakhir cerita diceritakan Lakipadada yang memperistri bangsawan Gowa, kemudian diangkat menjadi raja Gowa, penguasa baru yang bijak. Dia memiliki tiga orang anak, yang kemudian menjadi penerusnya dan mengembangkan kerajaan-kerajaan lain di jazirah sulawesi. Putra sulung, Patta La Merang menggantinya di tahta Gowa. Putra kedua, Patta La Baritan ditugaskan ke Sangalla, Toraja dan menjadi raja disana. Putra bungsu, Patta La Bunga, menjadi raja di Luwu.

Akulturasi damai. Lakipadada yang berasal dari Toraja berdamai dengan tiga suku lain; belajar hikmah dari Bugis/Bajo (kakek sakti di pulau Maniang), menjadi raja di pusat budaya Makassar, dan mengirim anaknya menjadi Datu di Luwu. Akulturasi ini lah yang mengabadikan darah dan silsilahnya, juga cerita legenda yang mengantarkannya pada kita saat ini, mungkin inilah mustika tang mate yang dimaksudkan, keabadian melalui cerita/legenda.







HANG TUAH (Melayu)

Alkisah, Di pantai barat Semenanjung Melayu, terdapat sebuah kerajaan bernama Negeri Bintan. Waktu itu ada seorang anak lakik-laki bernama Hang Tuah. Ia seorang anak yang rajin dan pemberani serta sering membantu orangtuanya mencari kayu di hutan.

Hang Tuah mempunyai empat orang kawan, yaitu Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Lekiu dan Hang Kesturi. Ketika menginjak remaja, mereka bermain bersama ke laut. Mereka ingin menjadi pelaut yang ulung dan bisa membawa kapal ke negeri-negeri yang jauh.  Suatu hari, mereka naik perahu sampai ke tengah laut. Hei lihat, ada tiga buah kapal! seru Hang Tuah kepada teman-temannya. Ketiga kapal itu masih berada di kejauhan, sehingga mereka belum melihat jelas tanda-tandanya.  Ketiga kapal itu semakin mendekat. Lihat bendera itu! Bendera kapal perompak! Kita lawan mereka sampai titik darah penghabisan! teriak Hang Kesturi. Kapal perompak semakin mendekati perahu Hang Tuah dan temantemannya.

Ayo kita cari pulau untuk mendarat. Di daratan kita lebih leluasa bertempur! kata Hang Tuah mengatur siasat. Sesampainya di darat Hang Tuah mengatur siasat. Pertempuran antara Hang Tuah dan teman-temannya melawan perompak berlangsung sengit. Hang Tuah menyerang kepala perompak yang berbadan tinggi besar dengan keris pusakanya.  Hai anak kecil, menyerahlah. Ayo letakkan pisau dapurmu! Mendengar kata-kata tersebut Hang Tuah sangat tersinggung. Lalu ia melompat dengan gesit dan menikam sang kepala perompak. Kepala perompak pun langsung tewas. Dalam waktu singkat Hang Tuah dan teman-temannya berhasil melumpuhkan kawanan perompak. Mereka berhasil menawan 5 orang perompak. Beberapa perompak berhasil meloloskan diri dengan kapalnya. Kemudian Hang Tuah dan teman-temannya menghadap Sultan Bintan sambil membawa tawanan mereka.  Karena keberanian dan kemampuannya, Hang Tuah dan temantemannya diberi pangkat dalam laskar kerajaan.

Beberapa tahun kemudian, Hang Tuah diangkat menjadi pimpinan armada laut.  Sejak menjadi pimpinan armada laut, negeri Bintan menjadi kokoh dan makmur. Tidak ada negeri yang berani menyerang negeri Bintan.  Beberapa waktu kemudian, Sultan Bintan ingin mempersunting puteri Majapahit di Pulau Jawa. Aku ingin disiapkan armada untuk perjalanan ke Majapahit, kata Sultan kepada Hang Tuah. Hang Tuah segera membentuk sebuah armada tangguh. Setelah semuanya siap, Sultan dan rombongannya segera naik ke kapal menuju ke kota Tuban yang dahulunya merupakan pelabuhan utama milik Majapahit. Perjalanan tidak menemui hambatan sama sekali. Pesta perkawinan Sultan berlangsung dengan meriah dan aman.  Setelah selesai perhelatan perkawinan, Sultan Bintan dan permaisurinya kembali ke Malaka. Hang Tuah diangkat menjadi Laksamana. Ia memimpin armada seluruh kerajaan.  Tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena para perwira istana menjadi iri hati. Para perwira istana menghasut Sultan. Mereka mengatakan bahwa Hang Tuah hanya bisa berfoya-foya, bergelimang dalam kemewahan dan menghamburkan uang negara.  Akhirnya Sultan termakan hasutan mereka. Hang Tuah dan Hang Jebat di berhentikan. Bahkan para perwira istana mengadu domba Hang Tuah dan Hang Jebat. Mereka menuduh Hang Jebat akan memberontak. Hang Tuah terkejut mendengar berita tersebut. Ia lalu mendatangi Hang Jebat dan mencoba menasehatinya. Tetapi rupanya siasat adu domba oleh para perwira kerajaan berhasil.  Hang Jebat dan Hang Tuah bertengkar dan akhirnya berkelahi. Naas bagi Hang Jebat. Ia tewas ditangan Hang Tuah.

Hang Tuah sangat menyesal.  Tapi bagi Sultan, Hang Tuah dianggap pahlawan karena berhasil membunuh seorang pemberontak.  Kau kuangkat kembali menjadi laksamana, kata Sultan pada Hang Tuah. Sejak saat itu Hang Tuah kembali memimpin armada laut kerajaan.  Suatu hari, Hang Tuah mendapatkan tugas ke negeri India untuk membangun persahabatan antara Negeri Bintan dan India. Hang Tuah di uji kesaktiannya oleh Raja India untuk menaklukkan kuda liar. Ujian itu berhasil dilalui Hang Tuah.  Raja India dan para perwiranya sangat kagum. Setelah pulang dari India, Hang Tuah menerima tugas ke Cina.  Kaisarnya bernama Khan. Dalam kerajaan itu tak seorang pun boleh memandang langsung muka sang kaisar.  Ketika di jamu makan malam oleh Kaisar, Hang Tuah minta disediakan sayur kangkung.  Ia duduk di depan Kaisar Khan. Pada waktu makan, Hang Tuah mendongak untuk memasukkan sayur kangkung ke mulutnya.  Dengan demikian ia dapat melihat wajah kaisar.  Para perwira kaisar marah dan hendak menangkap Hang Tuah, namun Kiasar Khan mencegahnya karena ia sangat kagum dengan kecerdikan Hang Tuah.  Beberapa tugas kenegaraan lainnya berhasil dilaksanakan dengan baik oleh Hang Tuah. Hingga pada suatu saat ia mendapat tugas menghadang armada dari barat yang dipimpin seorang admiral yang bernama D Almeida.  Armada ini sangat kuat.  Hang Tuah dan pasukannya segera menghadang.

Saat itulah Hang Tuah gugur membela tanah airnya.  Ia tewas tertembus peluru sang admiral.  Sejak saat itu, nama Hang Tuah menjadi terkenal sebagai pelaut ulung, laksamana yang gagah berani dan menjadi pahlawan di Indonesia dan di Malaysia.  Sebagai bentuk penghormatan, salah satu dari kapal perang Indonesia diberi nama KRI Hang Tuah. Semoga nama itu membawa "tuah" yang artinya adalah berkah.



Semua warga negara Indonesia boleh mencontoh jiwa dan semangat kepahlawanan Hang Tuah yang gagah berani, tangkas, cerdik dan pantang menyerah.



Kategori

Kategori