Di suatu pagi Lahilote seperti biasanya keluar, mengembara mencari binatang buruan. Ia tiba-tiba dikejutkan oleh suara rebut-ribut. Suara itu kadang-kadang lemah, kadang-kadang keras. “Suara apakah gerangan itu?” demikian pertanyaan Lahilote dalam hatinya. Dengan hati yang berdebar-debar, perlahan-lahan ia menuju ke tempat asal suara tersebut. Dalam perjalanan menuju asal suara itu, nampak terdengar olehnya suara itu seperti suara manusia, tetapi siapakah manusia tersebut, belum diketahuinya.
Setelah tiba di tempat suara itu Lahilote mengintip dari tempat yang cukup jauh. Ia melihat tujuh orang wanita sedang mandi di kolam. Semuanya cantik-cantik. Selesai mandi para wanita tersebut kemudian memakai pakaiannya dan tak lama kemudian terbang dan menghilang ke angkasa. Semua kejadian itu tak lepas dari penglihatan Lahilote. Nyatalah baginya bahwa wanita-wanita tersebut adalah Putri lo Owabu (putri kayangan/bidadari) yang turun ke bumi untuk mandi di kolam itu. Memang di hutan itu terdapat sebuah kolam yang airnya jernih dan bening, tetapi tak disangka bahwa kolam itu ternyata digunakan oleh putri kayangan sebagai tempat pemandian mereka.
Setelah mengetahui bahwa putri-putri kayangan sering berdatangan mandi di kolam itu, Lahilote kemudian berusaha selalu datang dan mengintip untuk mencari tahu kapan lagi mereka datang ke tempat itu. Tepat pada hari ke tujuh tibalah nampak oleh Lahilote dari angkasa tujuh buah titik hitam yang melayang-layang di udara. Titik-titik itu makin lama makin jelas, akhirnya turun menuju kolam. Mereka sama-sama menanggalkan sayapnya dan masing-masing terjun ke dalam kolam. Dengan riang gembira sambil bercanda ria mereka timbul tenggelam mandi di kolam itu. Lahilote pun belum menampakkan dirinya dari tempat persembunyian dirinya. Ia masih tetap mengintip dari balik semak-semak. Ia khawatir jangan sampai kepergok oleh mereka dan menyebabkan mereka takut Lahilote tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ia berupaya mencari akal untuk menahan salah seorang gadis itu sekaligus mempersuntingnya sebagai isteri. Setelah menemukan akal, Lahilote dengan kesaktiannya kemudian mengubah diri menjadi seekor ayam hutan jantan kemudian berjalan mengais-ngaiskan kakinya mendekati tempat tumpukkan pakaian dan sayap para putri kayangan kemudian mencuri salah satu dari tujuh sayap itu. Dengan tanpa diketahui oleh putri-putri kayangan ayam yang tadinya sedang mengais-ngais di dekat kolam itu tiba-tiba menghilang dan membawa pulang salah satu sayap mereka.
Setelah mendapatkan pakaian itu Lahilote segera kembali ke rumahnya dan menyembunyikan pakaian tadi di dalam lumbung padi di bagian bawah rumahnya. Kemudian Lahilote kembali ke kolam untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya.
Dilihatnya para gadis itu sudah berkemas naik ke darat dengan berebutan mengambil pakaian masing-masing. Alangkah terkejutnya salah seorang di antara gadis itu ketika menyaksikan pakaiannya tidak ada lagi di tempatnya, sementara temannya satu demi satu berangkat melayang meninggalkannya karena takut ketahuan oleh manusia. Sang gadis dengan hati sedih kemudian mulai mencari pakaiannya. Hampir semua batu dan semak dijelajahinya namun hasilnya nihil, pakaiannya tidak kunjung ditemukannya
Betapa sedihnya gadis itu ditinggal sendirian, sementara teman-temannya terpaksa pergi meninggalkannya terbang ke angkasa. Ia menangis tersedu-sedu hatinya risau mengenang nasibnya yang malang itu. Kejadian itu tak luput dari perhatian Lahilote. Setelah melihat gadis itu sendirian ia kemudian keluar dari persembunyiannya mendekati sang gadis. Ia mulai mencoba merayu dan memikat hati gadis itu dan bertanya “Mengapa Dinda sesedih ini?” Gadis itu tak menjawab, menolehpun tidak, bahkan tangisnya semakin menjadi-jadi. Lahilote kemudian menghibur dan melanjutkan pertanyaannya “Wahai Dinda siapakah namamu, dan dari manakah engkau datang?”. Gadis yang ditanya membisu dan tiada berkata sepatah pun. Ia terus menangis dan menangis. Hatinya sedih memikirkan bagaimana nasibnya kelak.
Lahilote tiada berputus asa, ia tetap menyampaikan kata-kata rayuannya, “Wahai Dinda! Mungkin sudah kehendak Tuhan engkau akan bernasib seperti ini. Tuhan Yang Maha Kuasa telah melaksanakan apa yang telah dikehendaki-Nya. Tidaklah Dinda ridha atas kehendak Tuhan? Kehendak-Nya telah berlaku, mengapa Adinda bersedih dan menyesali diri?” Rupanya kata-kata Lahilote yang terakhir ini termakan di hati sang gadis. Ia menyesal telah menolak kehendak Tuhan yang mungkin sebagai ujian bagi dirinya. Dengan menyadari itu semua, ia kemudian mencoba tersenyum dan secara perlahan menoleh ke arah Lahilote dengan memperlihatkan ekspresi wajah memohon pertolongan. Betapa gembiranya Lahilote, ketika menyaksikan sang gadis tersenyum dan menoleh kepadanya. Lahilote pun seakan mengerti arti pandangan tersebut, dan kemudian tanpa sungkan-sungkan selanjutnya melontarkan pertanyaan, “Siapakah Adinda? Darimana Adinda datang?” Gadis itu kemudian menjawab, “Nama saya Boilode Hulawa, berasal dari kayangan”. Dengan nada menghibur Lahilote pun selanjutnya berkata, “ Wahai Boilode Hulawa, putri kayangan engkau tidak perlu merasa bersedih tinggal di bumi, negeri ini bukan negeri terasing bagimu, aku Lahilote dengan senang hati akan menghibur dan menolong dirimu”. Boilode menjawab, “Wahai Kanda, sesungguhnya negeri ini sangat asing bagiku, aku di sini tidak mempunyai sanak dan tidak mempunyai saudara, tidak beribu, dan tidak berbapak. Aku tidak berkeluarga dan oleh karenanya aku sedih sekali. Tetapi aku cukup mengerti dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, aku pasrah pada nasibku oleh karenanya aku sangat berterima kasih kalau Kanda mau menolongku”. Keduanya pun kemudian berangkat menuju rumah Lahilote. Saat menuju ke rumahnya, Lahilote kemudian menyampaikan keinginannya untuk melamar dan menikahi Boilode Hulawa. Setelah mendengar kata Lahilote itu maka menjawablah Boilode, “Wahai Kanda, tidak beralasan Dinda menolak keinginan Kanda sebab menurut Dinda, mungkin inipun suatu ketentuan yang digariskan Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa hamba akan berjodohkan Kanda. Di negeri yang asing ini aku tidak menemukan seseorang yang dapat mempertanggung jawabkan nasib hidupku ini selain diri Kanda”. Sambil berkata-kata itu tanpa terasa sampailah mereka ke tempat tujuannya.
Atas persetujuan kedua belah pihak, terjalinlah perkawinan yang bahagia dari dua insan yang berasal dari dua negeri yang berjauhan yakni pemuda Lahilote dari Bumi dengan Boilode Hulawa dari kayangan. Mereka mendayung bahtera rumah tangga baru dengan rukun dan damai. Lahilote setiap hari melaksanakan tugasnya sebagai petani dan berburu. Boilode Hulawa pekerjaannya memasak, mencuci pakaian dan urusan rumah tangga lainnya.
Lahilote berusaha agar usaha pertaniannya kian bertambah maka ia bekerja sepanjang hari. Menyaksikan dan merasakan hal itu Boilode mulai berfikir betapa berat hidup di bumi, semua harus dikerjakan sendiri, harus mencari nafkah sendiri jika tidak demikian akan kelaparan. Setelah hidup di dunia ia pun sebagai putri kayangan turut terlibat dalam melaksanakan tugas-tugas yang berat itu. Kadang kala ia terkenang pada negeri asalnya, di sana ia tidak perlu bersusah-susah semuanya serba tersedia. Sedangkan disini ia harus bekerja keras, menyapu halaman, mencuci piring, dan lain-lain yang hal tersebut tidak pernah dilakukannya di negeri kayangan. Hal-hal seperti inilah yang sering terlintas dalam pikiran Boilode Hulawa. Dengan memikirkan kesusahan di bumi ini, Boilode tak henti-hentinya merindukan negeri kayangan, kampung halamannya yang dicintainya, tetapi bagaimana cara untuk kembali masih sulit untuk dipecahkannya, sementara itu kolam untuk pemandian mereka tak pernah dikunjungi lagi oleh saudara-saudaranya. Terpaksalah Boilode harus melaksanakan pekerjaan itu walau bagaimana pun beratnya. Ia telah rela kawin dengan orang bumi dan harus mengabdikan diri sebagai seorang isteri dari suaminya itu, bukankah keadaannya ini adalah sudah merupakan kehendak Yang Maha Kuasa. Menyadari akan hal itu maka Boilode pun berusaha membantu dan meringankan beban suaminya. Dengan kesaktiannya sebagai putri kayangan ia pun dapat dengan satu butir beras saja bisa memasak untuk mencukupi makan dia dan suaminya, tanpa diketahui oleh sang suami.
Pada suatu hari sang suami berfikir, “Beberapa bulan telah berlalu, aku diberi makan dengan secukupnya, tetapi apa sebabnya padi di lumbung tidak berkurang? Dan mengapa pula isteriku tidak pernah menumbuk padi ketika akan memasak, seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang di bumi? Jika seandainya ia menumbuk dengan tanpa aku ketahui, mana dedak sisa hasil menumbuk padi tersebut?” Demikian tanya Lahilote dalam hatinya. Oleh karenanya timbullah niatnya untuk mengamati keadaan isterinya sehari-hari.
EmoticonEmoticon